Awalnya saya pikir kucing adalah makhluk yang tak meninggalkan anak yang baru dilahirkannya. Premis itu rupanya keliru ketika tiga hari lalu saya dan istri saya mendengar tiga suara kecil di loteng rumah. Istri saya sebenarnya takut kucing, sementara saya juga tidak ingin bermasalah dengan protozoa toksoplasma pada saat-saat kami sedang memprogram kehamilan. Ditambah minimnya pengetahuan kami tentang merawat bayi kucing, kehadiran tiga makhluk kecil lucu itu awalnya membuat kami ragu.
Toh akhirnya kami tak sanggup melepaskan mereka begitu saja di luaran. Tidak ketika usia mereka belum genap sebulan, belum lengkap fungsi indera pendengaran dan penglihatan sehingga kumis masih menjadi alat bantu memahami keadaan sekitaran. Maka akhirnya jadilah mereka bertiga kami anggap sebagai berkah. Tamu sekaligus Hadiah untuk kami belajar mencintai makhluk hidup lain. Latihan untuk saya yang penidur ini agar bisa terjaga sewaktu-waktu ketika nanti misalnya datang tanggung jawab panda-panda kecil yang kami rindukan.
Sementara istri saya membuat susu formula, saya yang bertugas menyuapi mereka. Tidak mudah memang menyuapi anak-anak kucing ini. Lepek, dot, sendok dan kapas telah kami coba. Yang terakhir katanya yang terbaik agar asupan susu tak masuk ke paru-paru. Lebih tidak mudah lagi ketika saya mencoba memandikan mereka kemarin setelah membaca bahwa anak-anak itu perlu dibersihkan dua kali seminggu.
Tapi yang tersulit rupanya memberi mereka nama. Hehe...Panggilan adalah hal krusial untuk ketiganya merasa nyaman dan mau makan atau menerima perawatan. Interaksi dengan kucing lebih lama ketimbang jalinan manusia dan anjing. Istri saya awalnya mengusulkan tono, toni, dan tini untuk tiga bersaudara ini. Pada akhirnya kami sepakat memanggil mereka si putih '..LEE..', si coklat '..KEN..', dan si belang cantik '...ZOEY...'. Ken paling doyan makan, lee paling senang bermain, sementara zoey paling gampang tertidur.
So here, meet our kitty.... ^^
Sunday, April 29, 2012
Thursday, April 12, 2012
W.I.L.L
Sore kemarin istri saya membacakan 'cerita pengantar tidur'
yang rupanya memiliki pesan tentang beberapa kejadian setelahnya.
Adalah cerita Sunaryo Adhiatmoko tentang Misno dan Sikem, sepasang suami
istri yang tinggal di sebuah desa pegunungan selatan Jawa Timur yang
masyarakatnya masih mengkonsumsi tiwul sebagai makanan pokok.
Kehidupan
sederhana mereka jalani dengan menjejakkan telapak kaki tanpa alas,
diatas jalan berbatu dan aspal yang panas saat matahari membakar setiap
kali mereka berdua berjalan kaki menuju pasar yang jaraknya tigapuluh
kilometer dari desa mereka. Misno dan Sikem adalah penjual rinjing
(kerajinan dari bambu). Rinjing-rinjing tersebut bukanlah buatan Misno
dan Sikem, melainkan produk apara tetangganya. Mereka berdua hanyalah
perantara yang membantu keluarga-keluarga miskin tersebut mendapat
penghasilan.
"..Tidak usah berhitung kalau mau membantu orang.
Gusti Allah mboten sare (Allah tidak tidur).."
Begitulah
filosofi mereka tentang aktivitas berangkat berjalan kaki sejak pukul
tiga pagi hingga tiba di pasar jam sebelas malam, lalu tidur di emperan
pasar sembari menunggu pembeli yang berniat membeli dagangan tetangga
mereka itu. Barang-barang yang setelah seharian untungnya tak lebih
dari dua puluh ribu perak. Dan sebagian keuntungan itu, sepulang dari
pasar, disisihkannya untuk membeli tulang-tulang sisa daging racikan
dari warung-warung soto sepanjang jalan. Mereka membelinya di banyak
tempat agar tak terlalu malu. Ini oleh-oleh mewah untuk dimakan
bersama tetangga mereka katanya. Begitu terus berulang selama dua puluh
tahun.
Dini
harinya, ribuan kilometer di barat desa tempat tinggal Misno dan Sikem,
di belahan dunia dan kisah lain, muncul sebuah semangat yang sama
besar. Dalam suasana DW Stadium yang dipenuhi 18 ribuan penduduk kota
kecil tersebut, dipimpin Roberto Martinez, sebuah tim kecil melakoni
misi mustahil yang seringkali dipadangkan dengan alur cerita The Great
Escape.
Pasca
kekalahan kontroversial di Stamford Bridge, ditambah rekor 14 kali
pertemuan sebelumnya yang tak pernah sekalipun menghasilkan angka,
kualitas individu yang kalah jauh, tertekan situasi di jurang klasemen
dan rentetan pertandingan berat yang menguras energi membuat hampir
semua pengamat menghapus peluang mereka untuk menang.
Tapi
sepakbola adalah pertandingan sebelas manusia lawan sebelas manusia.
Semua angka statistik pertemuan masa lalu yang kadung terekam di atas
kertas bisa tak lagi berarti ketika bola mulai digulirkan. Hanya mereka
yang menihilkan diri sendiri akan harapan peluang yang masih terbilang.
Dan Roberto Martinez jelas bukan salah satunya. Pria Spanyol pecinta passing football
ini, rupanya mengerti betul bagaimana Athletic Bilbao dan Basel
berhasil mengeksploitasi kelemahan cara bertahan United menghadapi
formasi yang fluid dan terus menekan sepanjang pertandingan. Karenanya,
Shaun Maloney, James McCarthy, Victor Moses dan Mohamed Diame
difungsikannya begitu mobil. Toh semua strategi butuh sesuatu yang lain
untuk bisa dieksekusi. Dan Shaun Maloney dkk pagi tadi memiliki apa
yang dibutuhkan untuk mewujudkan skema permainannya, ENERGI. Tujuh
tembakan harus diterima De Gea, satu diantaranya melengkung indah ke
pojok kiri atas mengakhiri catatan clean sheetnya yang sudah terentang
lima pertandingan.
Sebaliknya, tak siap dengan bagaimana lawan
mereka bermain, para pengejar gelar tertampar. Bahkan Ryan Giggs yang
kenyang pengalaman pun tak luput dari serangkaian kesalahan umpan.
Hanya dua tembakan sepanjang pertandingan melawan sebuah tim papan bawah
jelas tidak bisa diterima oleh perfeksionis seperti Alex Ferguson.
Fergie
seusai pertandingan berujar bahwa ini hanyalah satu dari sedikit malam
dimana segalanya menjadi buruk. Namun lebih dari itu, kentara sekali
bahwa jika United nantinya benar-benar meraih gelar, maka tanggal 8
januari 2012 lalu akan dikenang sebagai salah satu tanggal terpenting
yang mengubah peta persaingan juara musim ini. Paul Scholes kembali
dari pensiunnya hari minggu itu dan dua belas pertandingan setelah ia
kembali, Manchester United meraup 11 kemenangan dan 1 kali imbang. Pagi
tadi, tanpa Scholes yang diistirahatkan, Carrick tak mampu sendirian
mengontrol ritme dan persaingan gelar juara yang tiga hari lalu seperti
tinggal sebuah prosesi, kini kembali meninggi. Pagi tadi juga sekali
lagi sebuah alarm yang akan menghantui Fergie jika di musim panas nanti
ia tak bisa menemukan sosok muda pengganti setara sang pangeran jahe.
Tapi
lupakan dulu tentang gelar dan ambisi tinggi lainnya yang terdampak
situasi pagi tadi. Sejenak biarlah kesempatan ini ada lebih untuk
mengapresiasi permainan Wigan. Benar, dengan QPR menuai hasil positif
juga semalam, hasil ini belum tentu membuat Wigan bertahan di liga
primer. Benar, bahwa jadwal tandang berat selanjutnya di Emirates
Stadium bisa jadi akan kembali menghempaskan mereka ke jurang
degradasi. Toh untuk satu malam mereka telah memberi penonton pelajaran
tentang perjuangan. Menggali jauh kedalam batas-batas normal, Wigan
menemukan energi yang bisa jadi timbul dari rasa ingin berkorban untuk
orang-orang yang mencintai klub kecil yang tak banyak ambisi ini.
Sama
seperti apa yang menjadi landasan Misno dan Sikem merelakan diri
melakoni peran Mbah Rinjing tanpa mimpi tinggi untuk menjadi pahlawan
perbaikan perekonomian. Sekedar pemahaman bahwa begitu berarti
keuntungan kecil yang bisa didapat keduanya bagi para tetangga sehingga
jika Misno dan Sikem tak berjualan sekali saja, maka tetangganya tak
bisa makan, Gaplek!
Pernah dalam sebuah kesempatan mereka sakit
dan tak bisa berjualan, lalu datanglah seorang tetangganya yang kala
itu bermaksud meminjam gaplek...
"..sudah ambil saja, kasihan anak-anakmu kalo tidak makan.."
Demikian kata Sikem pada tetangganya itu walau ia sendiri sebenarnya tak memiliki cukup persediaan untuk keluarganya.
Mengerti situasi, sedikit segan, sang tetangga balik bertanya "..lha sampeyan bagaimana nanti?.."
"..Tidak usah dipikir, biar Gusti Allah yang mikirin saya..",
tandas Sikem bernas. Ia memenuhi pesan Tuhan untuk mencintai orang lain sebagaimana ia mencintai diri sendiri.
Kekuatan
hati semacam itu telah membuat Sikem bertahan, bahkan ketika ia hampir
saja runtuh menghadapi kepergian Misno-nya tercinta. Hanya untuk
kemudian ia bangkit bersama wasiat Misno untuk terus berjualan demi
tetangganya. Sendirian ia susuri kembali jalan-jalan panas yang dulu
dilaluinya berdua seakan Misno tak pernah pergi dari sampingnya.
Enam
tahun kemudian, Sikem pulang untuk berkumpul kembali dengan Misno-nya
tercinta. Tak ada lagi Mbah Rinjing, tapi apa yang dilakukannya tetap
ada dan dikenang mereka yang tersentuh karenanya. Istri saya pun hampir
menangis membaca cerita pengantar tidur ini. Dalam dunia yang berbeda,
kemenangan bersejarah Wigan atas United juga suatu saat bisa jadi tak
lagi berarti banyak menghadapi kerasnya persaingan. Namun sikap dan
cara mereka berjuang akan lekang bagi penduduk kota kecil mereka.
Misno, Sikem, Roberto Martinez dan para pemain Wigan menemukan hal yang
sama....
KEKUATAN KEINGINAN, ADALAH PINTU HARAPAN UNTUK BERTAHAN...
#NOWPLAYING : HIDUP ADALAH PERJUANGAN/DEWA
Subscribe to:
Posts (Atom)