Pada tahun 2002, seorang General Manajer sebuah institusi
dari kota kecil ‘terpaksa’ kehilangan tiga orang 'petugas' terbaiknya karena
tawaran yang lebih menggiurkan dari para kompetitor dari kota-kota
metropolitan. Tak terelakkan memang jika melihat bujet institusinya yang
hanya seperempatnya. Sebuah tantangan pelik karena besarnya tuntutan
publik akan perbaikan kinerja institusinya yang menjadi simbol kebanggaan
lokal.
Dalam kegalauannya, entah di kantor atau di rumah, tak
jarang ia diam. Pencarian solusinya terkadang berakhir pada cuplik-cuplik
rekaman jalan hidup yang telah ia pilih sendiri sejak usia 18 tahun itu.
Cuplik itu ‘menawarkan’ penyesalan akan kegagalan berkelanjutan ketimbang
keberhasilan. Potensi yang dimilikinya dan membuatnya mengesampingkan
pilihan studi di Universitas ternama, ternyata tak berbuah manis. Belum
lagi kegagalan rumah tangga yang akhirnya membatasi interaksinya dengan sang
putri.
Masa muda pria itu, Billy Beane, adalah sebuah contoh
afirmasi bahwa potensi pada akhirnya memang sebuah konsep samar-samar. Sebagian
menyadarinya. Sebagian tidak. Bahwa potensi akan tergerus bersama waktu, entah
berkembang atau menghilang. Bahwa bisa menjadi anugerah, beban, atau
keduanya.
Digadang-gadang sebagai anak muda dengan potensi besar
sebagai salah satu pemain baseball paling komplit di generasinya, rupanya
tekanan besar tak sanggup ia tanggung dan akhirnya Beane hanya tumbuh sebagai
pemain medioker. Beruntung bahwa ia bukanlah seorang yang pantang
menyerah. Sadar bahwa ia tak lagi mampu berkompetisi, ia meniti jenjang
karir baru di bidang yang sama. Ia terlanjur jatuh cinta pada
baseball. Dan akhirnya setelah beberapa tahun, jadilah ia General Manajer
A’s, sebuah klub baseball berbujet kecil, namun juga salah satu institusi
kebanggaan Oakland.
Setelah serangkaian kegagalan, tahun 2002 itu ia bertemu
dengan seorang pria bernama Bill James. Pria tambun berkacamata itu
tak memiliki latar belakang sebagai pemain baseball. Ia ‘hanyalah’
seorang sarjana ekonomi yang memiliki teori luar biasa unik tentang model
statistik dan baseball (kala itu). Keunikan cara pandang Bill James-lah
akhirnya membuat Beane yakin bahwa ia telah menemukan cara untuk memperpendek
jurang kesenjangan antara tim kecil semacam A’s dengan tim raksasa semacam
Yankees dan Red Sox.
Berdua, mereka meninggalkan patron tradisional.
Dicerabutnya segala romantisme tentang seleksi pemain berdasarkan pada
kecepatan kaki atau otot besar, untuk secara sederhana berpulang menilik
mekanika dasar tubuh seseorang. Sesuatu yang beruntungnya dalam dunia
baseball tercatat lengkap dalam statistik setiap pemain. Sebuah paradigma
yang lantas dikenal sebagai Moneyball.
Moneyball terdengar sederhana, tetapi pada saat itu
memberikan tim Beane suatu jenis keuntungan yang selalu dicari pebisnis,
efisiensi biaya. Sementara klub lain mengincar pemain glamour, mereka
justru mencari pemain gendut, pemain tua atau pemain cedera – tipe-tipe pemain
berharga murah namun masih bisa melakukan fungsi yang konon terpenting penting
dalam Baseball, yakni mencapai base pertama. Taktik ini mentransformasi
A’s dari sebuah tim papan bawah hingga menjadi kuda hitam liga. Hingga
pada suatu waktu, John W Henry, pemilik Boston Red Sox tertarik dan menyodorkan
kontrak GM terbesar kepadanya.
Kelanjutan ceritanya sudah jelas dan lengkap
terpublikasi. Red Sox meraih dua gelar World Series semenjak 2003 dan
Billy Beane masih saja berkutat dengan obsesinya untuk memenangkan pertandingan
terakhir musim.
Kesuksesan Oakland A’s di musim 2002 membuktikan bahwa sains
bisa menjadi jalan alternatif bagi institusi yang tak memiliki anggaran untuk
membeli nama besar. Dan implikasi metode Moneyball bukan hanya terasa di
dunia baseball.
John W Henry, sang pemilik Red Sox, semenjak perhatiannya
beralih ke sepak bola Inggris, mencoba meletakkan basis perekrutan pemain
Liverpool pada teknik yang sama. Downing, Henderson dan Adam, adalah 3
dari 12 gelandang dengan statistik tertinggi di Liga Primer. Sementara
Gareth Bale dan Luka Modric adalah beberapa transfer yang terjadi di era Damien
Comolli, direktur olahraga Spurs waktu itu, yang bersahabat dan masih sepaham
dengannya tentang analisis sibermetrik semacam moneyball.
Menilik lebih jauh, Arsene Wenger, the Professor, tidak
mengejutkan, adalah salah satu manajer yang paling awal dan sering
mengintegrasikan informasi statistik kedalam strateginya. Pada awal
2000-an ia seringkali mengganti Dennis Bergkamp di atas menit ke-70 karena ia
percaya data statistik yang memperlihatkan tren penurunan kecepatan sprint sang
striker legendaris itu pada seperempat akhir pertandingan.
"Jika saya tahu bahwa seorang pemain rata-rata
membutuhkan waktu 3,2 detik untuk menerima bola dan lalu mengumpankannya, lalu
secara tiba-tiba waktunya bertambah hingga 4.5 detik, maka saya bisa mengatakan
padanya, 'Dengar, Anda terlalu banyak memegang bola'. " (Arsene Wenger)
Namun rasanya tak seorang pun di sepak bola Inggris
keranjingan dan meletakkan prioritas tertinggi akan penggunaan teknologi dan
informasi ilmiah seperti Sam Allardyce (kini melatih West Ham). Tahun
2001 ia secara langsung menemui Billy Beane dan dibawanya pelajaran dari
Amerika itu kedalam delapan tahun era kepelatihannya di Stadion Reebok.
Allardyce lantas membawa tim medioker itu menempati
peringkat keenam, kedelapan dan dan ketujuh di Liga Premier. Mereka juga
mencapai Final Piala Carling dan berlaga di Eropa. Dan ia melakukannya
dengan merekrut veteran. Youri Djorkaeff, Ivan Campo, Fernando Hierro, dan
Jay-Jay Okocha, adalah contoh pemain-pemainnya yang dinilai rendah oleh pasar,
namun secara statistik memenuhi kriteria yang dibutuhkan dan tentu saja berada
dalam bujet Bolton kala itu. Persis seperti apa yang dilakukan Beane di
Oakland A’s.
Tapi dengan semua kemiripan aplikasi tersebut, apakah
statistik dalam sepakbola telah mampu memberikan dasar utama sebagaimana apa
yang bisa disajikan data pemain bisbol?
Jawaban singkat terhadap pertanyaan di bagian atas
pembicaraan ini adalah, Tidak..
Tidak sekarang.....
Pertama karena baseball adalah mimpi statistik.
Jumlah data untuk setiap pemain terekam begitu banyak, lengkap dan
rapi tersusun. Seorang General Manager klub Baseball seperti Beane,
asisten atau para scout-nya bisa melihat juara potensial dari data yang
diposting pemain sejak bermain di perguruan tinggi atau liga bisbol yang lebih
rendah.
Dia tidak perlu melakukannya dengan pergi menonton mereka,
seperti yang terjadi di masa lalu, namun dengan sekedar menghitung rasio
langkah hingga data strikeout, atau angka-angka yang seringkali terpendam,
kedalam model-model kalkulasi potensi.
Kedua, dibanding baseball, sepakbola adalah olahraga yang
lebih rancu untuk dianalisis, walaupun tidak berarti hal tersebut tidak mungkin
dilakukan.
Di Liga Premier misalnya, pengenalan perangkat lunak pelacak
pemain seperti Opta dan Prozone, terdengar seperti lonceng kematian untuk
pemain Matt Le Tissier dan Paul Gascoigne, yang secara statistik dapat
diketahui bahwa keterampilan olah bolanya tidak diimbangi dengan etos kerja
mereka.
Sekarang, tersembunyi dalam setiap pertandingan, deretan
kamera milik Prozone atau Opta yang disewa setiap klub melacak setiap unsur
gerakan pemain, jarak yang ditempuh, bertenaga tinggi berjalan dan posisi
defensif. Jarak tempuh keseluruhan pemain tidak lagi menjadi statistik
kunci untuk orang-orang yang mencoba menemukan beberapa persen tambahan peluang
antara menang dan menjadi yang kedua. Melihat data-data tersebut, anda
mungkin akan terkejut tentang siapa-siapa saja pemain yang berstatistik tinggi
dan sebaliknya kemahalan di liga primer inggris. Saya mencari data serupa
terkait pemain indonesia, namun rupanya tak ada yang ditemukan tertera di mesin
pencari...
Baseball adalah permainan yang bagi saya tidak memiliki
variasi perubahan strategi sebanyak sepakbola dan karenanya lebih mudah
menetapkan cara untuk mencapai tujuan. Pukul sejauh-jauhnya, atau Lempar
secepat dan sesulit mungkin. Itu saja rasanya. Statistik
sepakbola mungkin saja akan menjadi sangat efektif ketika suatu saat nanti,
model analisis permainan telah mencapai level real time analisis dan bukannya
pre/post match. Ketika seorang asisten pelatih bisa membuka pc-tablet nya
dan langsung melihat perubahan data pemain di bangku cadangan dari menit ke
menit saat pertandingan dimainkan.
Dan lagi, tidak seperti baseball yang relatif ‘olahraga
lokal’ amerika, sepakbola adalah permainan paling digemari di seluruh
dunia. Ia melintasi batas geografis yang karenanya lantas menciptakan
perbedaan budaya, karakter individu pemain, dan tentu saja kemampuannya
beradaptasi dengan gaya permainan di negara lain. Ada batas-batas budaya
yang bisa jadi mereduksi beberapa statistik menonjol seorang pemain impor.
Dukungan pengetahuan psikologis, insting talenta atau
pelajaran pengalaman menghadapi situasi-situasi kritis yang tak semuanya
terdokumentasi dalam angka akan menjadi luar biasa ketika disandingkan dengan
statistik dan sains terapan.
Beane dan moneyball-nya, dalam aspek kompetitif mungkin saja
telah kehilangan keuntungannya sebagai pioneer. Seperti halnya klub-klub
sepakbola kecil yang harus bersaing dengan besarnya dana klub besar yang kini
juga dialokasikan untuk pengembangan statistik pemain. Dalam
kacamata kemenangan di lapangan, Beane memang masih saja gagal mencapai gelar
tertentu. Tapi rasanya ia adalah salah satu stereotip persona sebagaimana
kriteria quote ini...
“Innovation distinguishes between a leader and a
follower.” (Steve Jobs)
Dan terlepas dari keputusannya terhadap tawaran Red Sox, ia
telah membuatnya memenangkan perjuangan lain. Sebuah romantisme seorang
bapak terhadap kerinduan akan suara indah sang putri...
After all, Life isn’t always about winning
competition, right....??
*****
|
|
Billy Beane, suatu ketika pemuda yang ambisius,
kini ayah
yang memilih anaknya atas uang dan pencapaian pribadi
|
gambar diambil dari wikipedia.com
No comments:
Post a Comment