Terletak di deretan rak tertinggi di lapak penjual dvd bajakan yang saya kunjungi. The Mentalist membuat dahi sedikit berkerut ketika saya pertama kali menatap cover serial yang membuat Simon Baker masuk nominasi Emmy Awards itu. Kerut yang sebenarnya muncul dari rasa penasaran laten saya tentang seberapa besar sebenarnya kekuatan good looking face dalam mendukung kemampuan seseorang mempengaruhi orang lain. Tapi saya pikir cerita seorang teman tentang serial ini memang cukup provokatif dan selembar uang bergambar I Gusti Ngurah Rai pun saya tukarkan dengan tujuh keping cd bergambar laki-laki berambut pirang dengan setelan jas abu-abu.
Laki-laki itu, Patrick Jane, adalah sosok sanguin, yang seringkali dicap sebagai orang 'berdarah dingin' karena gaya bicaranya yang straight, keluar dari kelaziman, dalam raut muka datar tanpa terpengaruh emosi yang berada disekitarnya. Sebuah karakter yang tampaknya memang sempurna sebagai representasi seseorang yang bekerja dengan mengandalkan ketajaman mental, hipnosis dan manipulasi pikiran/perilaku. Dan ketika Bruno Heller menghadapkan Jane pada berbagai macam karakter antagonis maupun protagonis maka The Mentalist sesungguhnya disitulah kekuatan terbesar The Mentalist. Tentang bagaimana menghadapi realitas ragam persona yang akan selalu kita hadapi di dunia nyata, walaupun mungkin secara praksis tidak seluruhnya bisa diterima sebagai konsensus luas.
Sayangnya -s.d akhir season pertama- sebagai sebuah film seri yang sejatinya dilatarbelakangi konflik masif tentang masa lalu sang tokoh utama, bangunan alur The Mentalist terkesan mengambil jalur yang sama dengan serial beraroma penegak hukum lainnya CSI atau NCIS. Dan karenanya amat rentan terjebak kedalam konflik parsial identik. Terlebih dengan dominannya peran Jane dalam menemukan solusi setiap konflik parsial yang ditawarkan dibanding keempat partnernya yang terkesan terpinggirkan.
Lebih penting lagi, adalah interaksi Jane yang minim dengan Red John, sosok pembunuh berantai yang menghabisi istri dan anaknya. John adalah hantu yang menjadi kryptonite terhadap karakter sempurna Jane. Sosok antagonis utama yang seharusnya diberi porsi lebih dari sekedar beberapa dialog mitos tentangnya, kelebat bayangan, visualisasi logo khas Red John dan suara misterius dari balik telepon. Hal yang rasanya akan mengingatkan anda yang pernah menelusuri alur cerita Conan Edogawa dan kawanan berjubah hitam.
Roberk McKee menuturkan bahwa nilai suatu karakter protagonis berbanding lurus dengan konflik yang ia hadapi. Dan, konflik antara Jane dengan Red John-lah sudah seharusnya mendapat porsi eksplorasi yang lebih jika The Mentalist tak ingin terjebak pada sinetronisasi.
Jane, seperti setiap orang, butuh mendapat kesempatan yang sama untuk menjadi lebih sempurna lewat pertunjukan sisi kerapuhan emosi, konflik yang membangun kelas diri, dan bukannya semata rutinitas yang menyudutkan, pun kesempurnaan yang bias.
#Mentalist : Someone who use mental acuity, hypnosis and/or suggestion a master manipulator of thoughts and behaviour
No comments:
Post a Comment