[ Demo yang tepat teman, negeri ini butuh kepercayaan, bukan kerusuhan ] |
Pada saat saya menulis ini, saya yakin polemik mengenai rencana kenaikan harga bahan bakar minyak sudah menjadi isu politik, bukan lagi semata soal perekonomian negara. Ada orang-orang yang semula menyarankan agar harga bbm dinaikkan, kini berbalik 100%, dan sebaliknya. Ada orang yang awalnya diam saja, tiba-tiba muncul dengan segepok pengetahuan tentang seluk beluk anggaran nan penuh kebohongan. Ada juga orang-orang yang membela kenaikan BBM dengan argumen yang justru memicu pertanyaan. Entahlah, saya terlalu jauh dari data-data untuk bisa menganalisa.
Yang jelas terlintas, saya yakin pada akhirnya bahan bakar minyak yang ujung-ujungnya selalu bikin bingung masyarakat memang harus ditinggalkan. Sudah terlalu sering kita menghabiskan energi untuk hal ini. Setiap presiden pada akhirnya juga dihadapkan pada situasi yang serupa, dilema tentang harga.
Energi baru yang terbarukan jangan lagi dijadikan mimpi jangka panjang karena rakyat butuh solusi cepat. Tingginya tekanan harga minyak dunia harus menjadi titik kesadaran. Kesempatan bagi mereka yang sudah bosan membolak-balik angka anggaran untuk menyesuaikan. Karenanya investasikan sumber daya manusia dan modal dalam jumlah yang berlipat dibanding sebelumnya. Negeri ini saya yakin punya lebih dari cukup otak-otak cerdas yang bisa mewujudkannya. Negara harus menjalankan fungsi fasilitasinya dengan lebih baik dalam hal ini.
Dan tentang urgensitas anggaran dan ekonomi jangka pendek, saya berpendapat bahwa seharusnya jika pun harus naik, apakah tidak mungkin BBM yang dinaikkan sementara adalah yang diperuntukkan bagi konsumsi mobil pribadi saja...??
Mereka yang menggunakan mobil pribadi, saya yakin bukan orang yang pantas mengaku tersedak karena harga minyak. Jangankan 6000, saya pikir mereka yang menggunakan mobil pribadi malah justru harus dilarang sekaligus untuk membeli BBM bersubsidi. With greater power, comes greater responsibility, tutur Paman Ben pada keponakannya, Peter Parker.
Sedang sepeda motor, walaupun memang pertumbuhan jumlah dan prosentase konsumsi BBM bersubsidi-nya makin besar, pada akhirnya memang masih menjadi jalan bertahan bagi sebagian besar strata masyarakat menengah ke bawah di negeri ini. Iya, menengah ke bawah yang berpotensi menjadi miskin ketika salah satu aset terbesar mereka terlumpuhkan karena kenaikan biaya operasional dan efek dominonya pada harga-harga bahan pokok yang praktis juga akan terpengaruh karenanya. Maka jikapun nantinya tetap harus naik, seyogyanya lakukan secara bertahap dan janganlah terlalu tinggi besarannya.
Bagaimana dengan kendaraan umum?
Mereka seyogyanya ada di peringkat terakhir pihak yang harus mengalami kenaikan harga bahan bakar minyak.
Tak kalah penting dengan ide menaikkan harga BBM bersubsidi, saya pikir efisiensi anggaran di tingkat pusat dan daerah yang banyak dituntut mereka yang kontra terhadap rencana pemerintah tentang minyak ini memang sesuatu yang nyata bisa dilakukan. Permasalahannya, mau tidak para birokrat yang memegang kendali anggaran di Pusat dan Daerah repot-repot untuk mengevaluasi anggarannya. Dalam kacamata awam nan sempit saya di kedinasan, memang masih banyak kok kegiatan yang bisa ditunda pelaksanannya. Jika 1 SKPD di 1 Daerah bisa menghemat 50 s.d 100 juta, bayangkan total anggaran yang bisa dihemat di seluruh Indonesia. Bayangkan lagi jika kita bisa menyetop kebocoran-kebocoran anggaran di banyak pos pengeluaran.
Selain dua hal itu, saya pikir orang-orang yang memiliki cukup pengetahuan, semacam Mahasiswa dan Pegawai Negeri harus pula berkontribusi nyata dalam mengurangi konsumsi energi minyak negeri. Sungguh seringkali terheran saya ketika melihat kampus-kampus dan perkantoran penuh sesak dengan kendaraan pribadi, dan kemacetan timbul di sekitar lokasi yang seharusnya menjadi pelopor masa depan.
Jika memang, dan memang transportasi publik saat masih belum bisa diharapkan kehandalannya, kenapa tidak mahasiswa menginisiasi gerakan berangkat ke kampus bersama. Carter kendaraan umum untuk dinaiki sesama rekan satu almamater. Selain melatih disiplin waktu, siapa tahu ketemu jodoh di dalam angkot itu? Hal serupa juga seharusnya dapat dicontohkan dalam sistem berangkat berkantor bagi pegawai negeri. Reduksi kesulitan transportasi massal dalam komunitas-komunitas. Sementara para pimpinan bisa mengembangkan dengan 'sedikit' paksaan atau insentif positif. Jika perlu, tambah porsi berjalan kaki. Berangkat bersama-sama pasti lebih romantis. Toh kos-kosan pasti tak jauh dari pusat pendidikan bukan...?
Saya menamainya transportasi komunitas. Entah apa sebenarnya nama yang tepat... ^^
No comments:
Post a Comment