Pagi ini saya mendapat berita duka tentang ibunda seorang teman. Teman yang buat saya istimewa. Dalam setahunan kedekatan persahabatan kami, tak sekalipun rasanya saya melihat dia kesulitan mengeluarkan senyum. Bahkan dalam situasi terjepit keperluan pribadi pun ia selalu terlihat ceria dan sulit menolak permintaan tolong dari kawannya, termasuk saya.
Saya tidak mengenal ibunya selain tentang penyakit yang dideritanya cukup lama hingga 'kepulangannya' hari ini. Tapi saya yakin orang yang telah melahirkan dan mendidik anak sebaik teman saya itu pastilah ibu yang istimewa pula.
Maka saya lalu membalas pesan pendek berita duka itu dengan doa. Lalu kadang ada situasi dimana kalimat '..innalillaahi wa inna ilaihi roji'un...' itu tidak semudah mengetiknya dan setelah tombol send tertekan, saya terdiam...
Saya sedang mudik dua hari. Tapi ketimbang mericuhkan perkara lain yang mencegah saya untuk tinggal di rumah lebih lama dalam long wiken kali ini, apa yang terjadi pagi ini membuat saya mencermati kembali tentang esensi mudik....
Bagian terbaik dari mudik adalah mencium tangan orang tua, yang ekspresi excited-nya selalu maksimal, tak terpengaruh oleh panjang pendeknya skala waktu kepergian kita. Dan saya sungguh bersyukur masih bisa merasakan suasana itu kemarin pagi. Bagian tentang bisa mencecap lagi kenikmatan soto terenak sedunia, gorengan tempe paling maknyus, dan manisnya gudeg jogja pada akhirnya hanyalah bonus.
..
Sementara bagian terburuknya adalah ketika dalam malam hujan deras, mereka melambaikan tangan ke kita yang kembali tersekat jendela kereta. Tangan yang baru kemarin mengusap kepala anaknya, sesaat lalu semakin samar sebelum akhirnya hilang tertinggal dibelakang ular besi yang kembali berlari.
Saya tahu mereka sebenarnya belum rela ritual mudik empat bulanan itu berakhir begitu cepat, begitu pula saya yang harus kembali merantau.
Merantau memang panggilan lelaki. Tapi untuk pulang pada mereka yang menjadi definisi terbaik tentang kata sayang, adalah juga sebuah kewajiban.
Kita, adalah anak-anak yang kadang memperumitnya dengan rasa malu pada pertanyaan kesuksesan di perantauan atau ledekan tentang kehidupan percintaan. Sementara ibu dan ayah hanya ingin melihat tangan kita, para perantau yang tak cukup waktu untuk bertemu disetiap pagimu.
Maka pulanglah teman, lakukanlah sesering sempatmu mereguk rizki Tuhan yang menetes dari tangan mereka, karena tak semua seberuntung kita, tak selamanya pula kita bisa....
sayur tempe buatan ibu, makanan nomer satu di dunia
No comments:
Post a Comment