Sunday, May 16, 2010

" FORGET DJAKARTA "

malem minggu,….
entah jam berapa #lupa waktu#

Saya lagi lemburan tapi kepikiran terus sama beberapa hal lain yang sama pentingnya dan beberapa lagi yang sepertinya nggak penting. Nggak penting itu karena saya nggak bisa melakukan apa-apa dan sedikit usil sebenarnya dengan hal-hal itu. And yes, the winner is "hal-hal yang nggak penting"... hwahahhahh...

Dalam sebuah essainya, Marco Kusumawijaya menggambarkan Jakarta sebagai kota yang tak pernah punya cukup waktu untuk benar-benar menyelesaikan masalahnya dengan tindakan nyata. Kemacetan paling-paling hanya berpindah, seperti halnya ketidaknyamanan yang hanya bergeser. Di kota yang “dibenci tapi dirindu” ini senja selalu tiba-tiba datang menjelang, ketika pekerjaan rasanya baru akan dimulai dan pagi pun selalu tiba-tiba membentang, ketika rencana-rencana belum tuntas direnungkan.

Ilmu yang saya punyai terlalu terbatas untuk memikirkan solusi sesungguhnya bagi “kota monster” ini. Yang paling sering terpikir adalah seandainya ibukota dan segala urusan pemerintahan pusat berpindah, mungkin kota ini bisa sedikit menarik nafas ditengah sesaknya udara yang dipenuhi karbon dari knalpot-knalpot bobrok dan kepala-kepala yang mendidih direbus target.

Hal yang kedua yang saya pikirkan ya kenapa masih banyak saja mereka yang bertangan kosong sampe sarjana-sarjana yang berotak jauh lebih cemerlang dibanding orang kebanyakan, yang lebih tertarik nyemplung ke tempat (yang katanya)“kawah candradimuka” itu ketimbang merasakan ketimpangan keadaan di daerah dan mengabdi pada orang-orang di kampungnya….

Seluruh negeri, bukan cuma Jakarta yang butuh dokter, insinyur, akuntan dan pengacara berintegritas. Kasian lho Jakarta. Jadi sebelum memutuskan kesana, kenapa nggak bertanya seribu kali sebelumnya dengan terlebih dahulu mengeliminir jawaban standar yang sudah disiapkan otak untuk pertanyaan ini, "Ngapain pada ke jakarta??"

# brasa kampanye transmigrasi, hè8x #



I’m waiting in line to get to where you are
Hope floats up high along the way
I forget Jakarta
All the friendly faces in disguise
This time, I’m closing down this fairytale

And I put all my heart to get to where you are
Maybe it’s time to move away
I forget Jakarta
And all the empty promises will fall
This time, I’m gone to where this journey ends

But if you stay, I will stay
Even though the town’s not what it used to be
And pieces of your life you try to recognize
All went down

~Forget Jakarta~
lagunya Adhitia Sofyan, salah satu yang memprovokasi ini
selain beberapa percakapan sebulan terakhir~

Friday, May 7, 2010

" EMPAT "

Saya mau empat anak!!!...

Begitu pernyataan saya kapan hari yang lantas dibalas teman saya dengan pertanyaan...

“ngatasi ta?”…

Belum pernah dicoba memang, tapi setidaknya aku masih menjaga mimpi sepuluh tahun dari sekarang bakal punya rumah yang ramai dengan tangis anak-anak kecil yang bertengkar karena origami, mainan bongkar pasang dan berlomba menyusun puzle demi buku-buku cerita yang kuhadiahkan setiap bulan.

Ketika tak lama kemudian keempat anak itu berkembang menjadi remaja yang penuh rasa ingin tahu, aku dan istriku sadar bahwa inilah saat mereka akan benar-benar meretas jalan menuju mimpi yang telah tertanam dalam benak masing-masing. Saat itu kami tahu dunia telah berkembang dengan kecepatan yang luar biasa, dunia 3.0. Sebuah tuntutan yang harus aku dan istriku -dua orang tua yang sama-sama disibukkan dengan aktivitas pekerjaan- jawab dengan terus berusaha menyempatkan diri, disela-sela acara makan bersama, melakukan kewajiban mengajarkan kejujuran. Juga mempersilakan keempat amanah Tuhan itu bertanya apa saja tentang hidup yang kami tahu.

Semuanya telah kami lakukan demi hari ini…..

Tiga puluh lima tahun dari sekarang, di penghujung bulan ramadhan tahun itu. Hari dimana, aku yang pensiunan pegawai negeri kota yang indah ini bisa duduk santai bersama seorang wanita keriput, bidadari paling sempurna yang telah memutuskan untuk khilaf seumur hidup bersamaku.

Hari itu, duduk bersama kami Yasmin, seorang penulis muda yang mewarisi kecantikan dan bakat seni dari ibunya. Dan ia pun berkali-kali tertawa lebar kala mencermati celoteh kami, kedua orang tuanya yang riuh mengenang masa-masa pacaran dulu.

Mengelilingi meja kecil di teras yang dilingkupi alunan suara ayat-ayat suci Al-Quran dari masjid depan rumah, kami bertiga menghabiskan sesorean menanti ketiga arjuna muda rumah ini pulang mudik. Galih, putra sulung kami baru satu jam yang lalu menelepon, menyampaikan bahwa ia sekeluarga tak langsung pulang dari Rumah Sakitnya di Yogyakarta, tapi memutuskan mampir dulu menjemput Muhammad, adiknya yang sudah setahun mengabdikan dirinya di sebuah sekolah dasar di pinggiran kota tempat tinggal kami.

Dan Lintang??... aahh, bungsu kami itu masih dalam perjalanan pulang dari Manchester dan mungkin baru tiba esok hari. Mendapat ijin libur lebaran memang lebih sulit baginya disaat kompetisi junior di negeri itu telah mulai bergulir. Tapi toh rasa sayang menuntunnya untuk selalu menyempatkan pulang.

Yah, terkadang sangat berat memang berpisah sering dengan ketiganya. Tapi sebagaimana perasaan yang pernah diceritakan ayah dan ibu kami dulu, dalam berbagai situasi, mengejar mimpi memang memerlukan pengorbanan yang tak kecil. Yang bisa kami lakukan hanyalah menjadi sepasang kakek nenek yang setia menanti setiap kepulangan mereka, empat anugerah besar Tuhan yang melengkapi dan mencukupkan hidup kami….


Uhmm… namanya juga cita-cita, jangan dulu dianggap kenyataan yang absurd. Pada setiap saatnya saya toh juga akan bertanya terlebih dahulu pada istri saya...
“Ngatasi taaahh....???” :D