Monday, June 20, 2011

Mereka yang Menerka Kehidupan Setelah Kematian

"...Aku ingin hidup seribu tahun lagi..."


Saya tahu ada yang lebih dalam dari hal diatas. Tapi kata-kata yang digunakan Chairil Anwar ini secara harfiah seperti bercerita tentang mimpi banyak manusia. Sebagaimana diceritakan Al-Baqarah 96, bahwa (sementara) manusia memang menyimpan keinginan untuk hidup selama itu. Beragam alasannya, tapi umumnya dapat dikatakan bahwa pembicaraan tentang kematian seringkali bukanlah sesuatu yang dianggap menyenangkan oleh manusia.

Manusia menyaksikan bagaimana kematian tidak memilih usia atau tempat, tidak pula menangguhkan kehadirannya sampai terpenuhi semua keinginan. Minggu lalu, kabar duka tentang seorang sahabat muncul di beranda facebook. Begitu mendadak kabarnya sehingga saya nyaris tak percaya. Rasanya baru kemarin dia menepuk pundak saya dari belakang lalu kami berbincang di sebuah taman hiburan....

Tak ada kabar sedikitpun tentang kesehatannya yang rupanya memburuk tak lama setelah pertemuan terakhir kami sehingga pasca berita duka, yang tersisa hanyalah doa dan sebersit keingintahuan yang dipicu kematian. Tentang penyakit jarang yang dideritanya. Tentang bagaimana sungguh dekatnya kematian dengan kehidupan yang sudah hampir tiga dekade saya jalani. Dan tentang beberapa ayat Al-Quran yang menceritakan apa akan saya hadapi ketika nanti setelah mati dan menunggu hari perhitungan.

Dan kebetulan saya memutar sebuah koleksi film yang ceritanya nggak jauh-jauh juga dari kematian...

The Lovely Bones....

Ketika membaca novel karangan Alice Sebold, Peter Jackson, pria New Zealand yang menelurkan mahakarya bernama Trilogi Lord Of The Ring mengaku ia sampai menangis. Tapi yang menarik ia akhirnya memilih menyadurnya dan menggambarkan kematian Susie, sang tokoh utama dalam The Lovely Bones, dalam nuansa yang berbeda. Masih tegang memang sebagai sebuah adegan bergenre thriller, namun miskin darah, bahkan tak ada visualisasi perkosaan yang mengawalinya dan pembunuhan itu.

The Lovely Bones akhirnya menjadi seperti surealisasi kehidupan pasca kematian yang 'diceritakan' indah. Peter Jackson dengan kegilaannya pada CGI berulang kali memperlihatkan bahwa situasi dimana ketika hati Susie gembira menyaksikan apa yang terjadi di keluarganya, maka penggambaran yang terlihat tentang sebuah dunia setelah kematian adalah seorang anak yang berlarian di padang hijau dengan langit cerah berwarna, dan berbagai ornamen bahagia nan menarik. Sebaliknya suasana bisa sontak berubah kelam dan susie seringkali terkepung ranting-ranting yang mengering atau hujan deras ketika amarah dan ketakutan mewarnai hatinya.



Dunia pasca-kematian di The Lovely Bones adalah tempat yang unik. Penghuninya yang notabene Arwah Gentayangan-nya Sussie, digambarkan masih bisa berkomunikasi dengan orang-orang hidup dengan cara tertentu. Catat sebuah quotenya yang bagi saya lucu..

"....I was slipping away, that's what it felt like, life was leaving me, but I wasn't afraid; then I remembered: "There was something I was meant to do; somewhere I was meant to be...."

Disini kehidupan setelah kematian dimaknakan bahwa orang mati sebenarnya masih tinggal bersama kita, melihat apa yang kita lakukan seperti menonton televisi (meskipun runyam juga membayangkan orang-orang mati menonton kita sepanjang hari dan tidak bosan, wong kita saja kadang bosan dengan hidup kita sendiri). Bahkan ia bisa mengirimkan petunjuk dalam bentuk firasat-firasat yang bisa dirasakan orang-orang dekat yang diinginkannya. Dengan lembut, The Lovely Bones menampilkan argumen bahwa kematian bukanlah akhir melainkan hanya menjadi batas dua dunia berbeda penanda. Ia sama sekali tak bicara ganjaran seperti yang yang dilampiaskan dalam ceramah-ceramah agama semit.




Tentu saja lucu, karena sineas-sineas barat memang senang sekali memenuhi hasrat diri dan (pada dasarnya) manusia memang memiliki keingintahuan tentang sesuatu yang diluar nalar seperti kehidupan setelah kematian. Banyak yang menjadikan sesuatu yang niscaya ini sebagai misteri. Nyaris sama seperti pencarian kehidupan di luar angkasa, kemungkinan perjalanan antar waktu dan kematian itu sendiri. Memvisualisasikannya dalam berbagai nada, entah drama, komedi, horror, bahkan romantisme. Namun kadang, obsesi melampaui nalar membuat manusia lupa untuk mengacu pada apa yang telah diceritakan oleh Tuhan tentang kematian pada umatnya.

Sementara tentang alur cerita, rasanya bagi yang belum membaca novelnya tentunya sependapat bahwa film ini sangat menarik untuk dibahas sebagai sebuah drama-thriller. Namun visualisasi yang unik tersebut nampaknya akan membuat para penggemar novel aslinya berkerut dan kecewa. Mereka akan kesulitan menentukan apakah harus menghadapi film ini sebagai sebuah pelajaran yang mencerahkan kematian atau justru menghilangkan drama tragis yang menjadikannya sebuah buku laris.

Saya..??

Walaupun sedikit aneh, buat saya setidaknya seperti inilah seharusnya jika ada yang benar-benar merasa perlu menceritakan tentang arwah gentayangan. Tidak harus dengan efek hebat, tapi setidaknya memberi oleh-oleh pulang dari bioskop yang lebih bermanfaat ketimbang pengetahuan tentang macam-macam setan nusantara dan beberapa bentuk payudara indah yang diperlihatkan setengah-setengah.... :D

*****

"....Ketika aku menemukan kehidupan (duniawi) kutemukan bahwa akhir kehidupan adalah kematian, namun ketika aku menemukan kematian, aku pun menemukan kehidupan abadi. Karena itu, kita harus prihatin dengan kehidupan (duniawi) dan bergembira dengan kematian. Kita hidup untuk mati dan mati untuk hidup...." (Socrates)

No comments:

Post a Comment