Thursday, April 29, 2010

KOMPROMI

Pencerita yang baik adalah dia yang bisa bertutur, bahkan dalam kekosongan, begitu ungkapan yang pernah saya baca. Hal itu kembali terngiang di kepala ketika menyadari bahwa sudah hampir 22 hari sejak saya benar-benar menulis untuk terakhir kalinya, hahaha, terlalu lama.

Terlepas dari kesibukan pekerjaan, pada dasarnya saya memang masih tergantung pada inspirasi saat berniat menulis dan sayangnya perjalanan hidup saya akhir" ini sedang mendatar. Persis seperti air yang tergenang, tidak ada riak dan arus yang cukup besar untuk membua adrenalin saya terpompa. Tadinya saya berharap ada gejolak dalam pekerjaan, tapi sayangnya yang terjadi pada periode kemarin adalah sekedar rutinitas. Hal-hal diluar pekerjaan pun sayangnya tidak ada yang cukup menggairahkan otak dan pada akhirnya saya seperti seorang penunggu setia halte yang entah kapan akan memutuskan melanjutkan perjalanan.

.....sampai akhirnya datang hari kemarin, 28 April 2010, hari dimana sebuah perjalanan singkat bisa menginspirasi........

Perlu diketahui bahwa saya bukan orang yang mudah terganggu atau mabuk perjalanan. tapi aroma yang dibawa penumpang wanita dalam perjalanan singkat ke kota leluhur kemarin pagi rupanya asing bagi 'pertahanan diri' saya. Penumpang tersebut, entah lapar atau memang terbiasa, naik di jok belakang travel dan tak lama kemudian mulai membuka bungkusan makanan yang begitu beraneka ragam aromanya. Penciuman saya mendefinisikannya sebagai bali telur, pentol bakso, kering tempe, mie goreng dan sepertinya sambel goreng ati. Makanan yang menggoda selera sebenarnya tapi ternyata memiliki dampak negatif ketika dikunyah didalam travel ber-AC yang sedang melintasi kelok demi kelok jalur malang-batu-kediri. Lama kelamaan suasana kabin kendaraan pun sulit dibedakan dengan sebuah dapur dengan hiburan lagu-lagu dangdut yang mengalun keras dari speaker telepon seluler penumpang wanita itu.

Lucunya, walaupun berada pada titik dimana gangguan perokok di angkutan umum menjadi tidak seberapa dibanding situasi yang terjadi kemarin, toh saya akhirnya memutuskan untuk berkompromi dengannya. Bahkan ketika dengan 'maknyus-nya' hidung saya mencerna bau tak sedap lain dari jok belakang, kentut rasa sambel goreng ati sepertinya.

Ya, saya memilih berkompromi karena harus diakui saya tak mampu menemukan cukup kosakata yang tepat untuk merubah situasi tersebut. Ketika sumbu sedang pendek, saya memang orang yang cenderung memilih untuk diam dan mencari alternatif lain ketimbang membuat konflik yang merusak suasana lebih parah. Hari itu saya menyandarkan harapan pada sekotak minuman dingin beraroma kelapa dan doa tiada henti agar perjalanan ini cepat berakhir.

Beberapa teman mengatakan kebiasaan berkompromi ini tidak baik, bagi kesehatan setidaknya karena mungkin mereka menganggap hal tersebut sebagai emosi yang tidak tersalurkan. Tapi bagi saya, kompromi adalah bagian rutin dari hidup dan salah satu cara menyalurkan emosi. Selama saya merasa nilai-nilai kebenaran yang saya yakini tidak terusik, maka saya terbuka untuk hal tersebut dan saya pikir kita semua, sadar tidak sadar, juga melakukannya. Kompromi tidak senantiasa dimaknai abu-abu. Kompromi terhadap sejumlah kenyataan hidup adalah juga salah satu jalan untuk merubah apa yang sebelumnya tak terpikirkan.

Kompromi juga yang mungkin ada dalam benak Jose Mourinho ketika dia mulai memikirkan bagaimana mempertahankan keunggulan dua gol Inter Milan atas Barcelona malam tadi. Ia tahu tujuan utamanya adalah mencapai apa yang terakhir kali dicapai Inter 38 tahun yang lalu. Puasa gelar di kancah tertinggi eropa bagi Inter Milan sudah terlalu lama dan harus diakhiri secepatnya, bahkan jika harus merelakan cap permainan pragmatis dan defensif disematkan pada dirinya. Dia adalah sosok yang begitu percaya diri, satu-satunya yang mungkin mampu menanggung beban sebagai penerus Sir Alex Ferguson dan strategi yang dipilihnya tadi malam membuat saya teringat pada sebuah ungkapan Russel Crowe kala memerankan karakter seorang pialang saham “berdarah dingin” dalam The Good Year, “..Winning is not everything, it’s the only thing…”. Dan yang terjadi akhirnya memang Mourinho kembali berkesempatan merayakan kemenangan sensasionalnya secara intimidatif di lapangan, layaknya drama di Old Trafford 2004, sementara sebagian besar penonton mengutuki apa yang gaya bermain mereka.

Jangan salah, saya bukannya mendukung gaya bermain Inter untuk terus merajalela di kelak kemudian hari. Sepakbola terbaik memang tetaplah sepakbola menyerang dan bukannya mereka yang menumpuk sembilan pemain di belakang, namun permainan ini telah berkembang jauh dibandingkan masa-masa Pele dan Maradona dulu. Sepakbola bergerak begitu cepat dan melahirkan kredo efektifitas dan keseimbangan yang sama pentingnya dalam memenangkan pertandingan. Sepakbola bagi klub-klub besar juga menjadi sebuah institusi bisnis yang bergelimang uang dan mensyaratkan manajemen terbaik untuk bisa bertahan dan berprestasi. Dan dimana ada pertaruhan uang besar, kebenaran rasanya menjadi sumir untuk disematkan secara mutlak pada salah satu pihak yang juga berbisnis didalamnya.

Saya jadi teringat tulisan Martin Samuel tentang dominasi Barcelona dan Real Madrid yang diprotes banyak klub spanyol lainnya. Klub-klub kecil dan medioker tersebut percaya bahwa diberikannya kebebasan pada setiap klub untuk mengatur sendiri kontrak hak siar menghasilkan jurang perbedaan financial yang nyata dan berimbas pula pada keleluasaan kedua klub besar tersebut dalam mendatangkan pemain terbaik. Dari hak siar, Barcelona dan Madrid meraup 103,4 juta pounds sementara Valencia, klub peringkat ketiga saat ini hanya mendapat 38,7 juta pounds dan lihatlah selisih 25 poin di klasemen antara mereka.

Benar bahwa Barcelona bisa berargumen mereka memiliki La Masia, akademi sepakbola terbaik saat ini yang membuat mereka tak perlu jor-joran membeli pemain dan secara tidak langsung menyematkan pandangan negatif itu pada Real Madrid. Tapi adalah fakta juga bahwa mereka pun jika mau bisa saja membeli satu pemain seharga 70 juta euro hanya untuk terlihat bodoh dalam dua pertandingan semifinal yang telah tuntas tadi malam. Barcelona toh sebenarnya tidak berbeda seperti hanya klub-klub besar lainnya. Di akhir tulisannya Martin Samuel sempat berkelakar, bahwa seandainya kebebasan hak siar yang sama diterapkan di Inggris, mungkin akan lama sebelum publik bisa melihat nama juara lain selain Manchester United.

Jadi benarkah bahwa Barcelona, hanya karena mereka mengumpan dan menguasai bola lebih baik dibandingkan tim sepakbola lain didunia, layak diagungkan sebagai standar moral, sosok protagonis paling baik sementara klub lain -seperti Inter Milan- otomatis menjadi tersangka pemicu matinya sepakbola??

Seperti halnya, ketidaknyamanan perjalanan hari kemarin yang rupanya menjadi jalan Tuhan untuk merecharge otak saya, membuatnya tersedak inspirasi-inspirasi kecil yang datang mendadak. Maka dengan berkompromi pada kenyataan, menerima bahwa tidak segala sesuatunya terlihat berjalan seperti yang diinginkan, maka Barcelona dan tim-tim lain bisa mulai berpikir kedepan tentang bagaimana sekali lagi “membunuh” bibit-bibit catenaccio.

Sunday, April 25, 2010

"Sekali" Menyenangkan Wanita

Lelaki Memang Menyusahkan....

Jika kamu memperlakukannya dengan baik, dia pikir kamu jatuh cinta padanya.

Jika tidak, kamu akan dibilang sombong.

Jika kamu berpakaian bagus, dia pikir kamu sedang mencoba untuk menggodanya.

Jika tidak, dia bilang kamu kampungan.

Jika kamu berdebat dengannya, dia bilang kamu keras kepala.

Jika kamu tetap diam, dia bilang kamu nggak punya otak.

Jika kamu lebih pintar dari pada dia, dia akan kehilangan muka.

Jika dia yang lebih pintar, dia bilang dia paling hebat.

Jika kamu tidak cinta padanya, dia akan mencoba mendapatkanmu.

Jika kamu mencintainya, dia akan mencoba untuk meninggalkanmu.

Jika kamu beritahu dia masalahmu, dia bilang kamu menyusahkan.

Jika tidak, dia bilang kamu tidak mempercayai mereka.

Jika kamu cerewet pada dia, kamu dibilang seperti seorang pengasuh baginya.

Tapi jika dia yang cerewet ke kamu, itu karena dia perhatian.

Jika kamu langgar janji kamu, kamu tidak bisa dipercaya.

Jika dia yang ingkari janjinya, dia melakukannya karena terpaksa.

Jika kamu merokok, kamu adalah cewek liar!!!

Tapi kalo dia yang merokok, dia adalah seorang gentleman, WUIIHHH…

Jika kamu menyakitinya, kamu dibilang perempuan kejam.

Tapi jika dia yang menyakitimu, dia bilang itu hanya karena kamu terlalu sensitif dan terlalu sulit untuk dibuat bahagia!!!

Jika kamu mengirimkan ini pada cowok-cowok, mereka pasti bersumpah kalau ini tidak benar.

Tapi jika kamu tidak mengirimkan ini pada mereka, kamu akan kehilangan kesempatan untuk mengatakan mereka egois!!!

Jadi… Jadi… kirimkan ini pada semua teman lelakimu di luar sana … dan juga pada semua teman cewekmu untuk berbagi tawa bersama

Sunday, April 4, 2010

PEDIH

Malam minggu, setelah euphoria dan kecemasan dalam hidup datang silih berganti dalam seminggu, adalah wajar ketika saya pergi ke café dengan harapan bakal mengakhiri minggu dengan kebahagiaan, melihat MU bangkit dan menundukkan Chelsea. Tapi ternyata harapan saya tidak terkabul malam itu. MU kalah, benar-benar kalah dan bukan semata gara-gara wasitnya geblek…

Pedih tapi begitulah selamanya sebagian dari cinta…

Dan berita kurang baik ternyata belum usai malam itu, ketika sebuah telepon dari rumah mengabarkan bahwa ayah saya, ayah terbaik sedunia itu mendadak jatuh sakit…

Get well soon dad, I love you…

Saturday, April 3, 2010

April

Menahun sudah aku mengenalmu

diantara sudut-sudut kota yang menjebak romantika

pun disungkurkan pedih di sudut lainnya

pada akhirnya...

cinta memang tentang cerita

Lalu ketika hari itu kuceritakan

bahwa aku akan mengikat janji denganmu

Mereka bilang aku beruntung

dan kupikir memang iya...

siapa yang tidak?

Thursday, April 1, 2010

100 mg ENVY

Since the draw for tonight’s game was officially decided, all pundit, media and most football lovers around the world turn into the same volume. All speak that the long awaited Barcelona-Arsenal tie will go down as one the most beautiful game of the year, billed like Da Vinci against Michelangelo, Senna versus Schumacher. And, thankfully those two well respected man who stand on the touchline didn’t change their way and the game suddenly fulfilled its destiny.

Labelled as a professor, Arsene Wenger often “unfairly” criticized for staying on his own philosophy about the game and unbelievably not able to deliver even a single prizes when it matter most. Mourinho (and Fergie) undeniably can claim a lot more victorious night since Wenger lose his “invincibles” about six years ago. But for tonight, His (and of course Guardiola) way of football gave us just about heroic saves, “extraterrestrial” passing accuracy display, delightful finish, late penalty followed by dubious red card decision, and all other drama could offered in a football match.

This is surely what Mourinho still couldn’t (perhaps won’t) match them no matter how special he is. Perhaps all that missing from the night was this “unluckily” only a quarterfinal game. One game that will perish in most of tonight viewer’s memory once the music of Queen’s “We Are The Champions” conclude a night in Madrid this May. Unless maybe if its turn out to be Arsene Wenger destiny to silence the critics and crowned as the European champions.

As a dead stick Manchester United fans, its been so long since i have to felt “envious” about others club game, especially at time when my heart wait in vain for rooney’s injury news. Hence, I’ve been strangely cherished a bit by seeing others (adversaries in time) playing a game as beautiful as it could be. So compelling this Barcelona-Arsenal game that I (almost) left to curse the fourth official when he raised the injury time board. It is perhaps the same exact feeling when last year I found out that Pixar’s UP sadly have an end.

But once again, this “enviousness” doesn’t have to go into distraction of love….

Just like when a normal married man met beautiful stranger down the road, get a chance to say a thing or two, get connected and suddenly learn that she is really admirable. Yet, in the end of the day, good man will always come back to the place he already choose to love and always felt to be loved in cheerful nights or dispute times of his relationship.

A place we used to call it home….