Wednesday, September 22, 2010

even crowe made wrong turn

Sodoran cara pandang yang berbeda seharusnya membuat sesuatu yang telah basi terlihat kembali menarik. Apalagi jika cara pandang itu disampaikan oleh seorang yang lebih ahli dari kita. Tapi sayang, niat menghadirkan perspektif baru itu justru kadang menjadi terlalu politis. Robin Hood (2010) adalah salah satunya.

Nama Ridley Scott, Russel Crowe dan Cate Blanchett (juga Brian Grazer) seharusnya menjadi jaminan bahwa Robin Hood akan tidak berbeda jauh dari Gladiator. Namun ternyata yang saya dapat adalah sebuah filem yang secara aneh berisi konsep intrik semacam The Sopranos, dialog Star Wars, dan Crowe yang sering terjebak menjadi Maximus. Russel Crowe is A Beautiful Mind, He also a fantastic Gladiator, but for sure he failed to be Robin.


"Steal from the rich, and give to the poor…"


Adalah kredo yang populer dari legenda seorang pencuri baik hati yang berkeliaran di sekitar Nottingham. Setidaknya sebelum Ridley Scott mencoba menunjukkan Robin dalam perspektif persona lain, "Don't retreat, reload."


Bagi saya, ini seperti sebuah rencana menanti pagi dengan paket Alanis morisette, Gerimis yang membentuk alur halus di kaca, dan secangkir kopi pahit, yang mendadak buyar karena sebuah telepon berita duka. Oh ya, satu lagi, anda juga mungkin akan mengalami dejavu adegan pendaratan kapal perang dalam Saving Private Ryan. Semuanya harus anda alami dalam 2 jam 20 menit film yang mungkin justru akan terlihat lebih menarik dengan selingan tarian india didalamnya.


Tapi tetap ada yang bisa disyukuri bukan dari setiap kejadian buruk sekalipun?


Cate Blanchett ga buruk-buruk amat dan yang utama, saya sangat bersyukur ini adalah film pertama dari enam keping yang akan saya tonton. And it wont get worst I guess.. Hehe…

Tuesday, September 21, 2010

HUJAN HARI RABU

Hujan turun lagi kemarin walau tak seganas hujan hari minggu.

Di sebuah bagian utara kota, dalam sebuah warung, sekelompok orang yang tak semuanya saling kenal, datang dengan tujuan yang sama, semangkuk kehangatan.

Sepasang kekasih berdiri paling depan, memegang kendali atas gerobak bakso bakar yang dikerumuni beberapa orang lainnya. Sang wanita memilihkan satu-persatu menu untuk pasangannya, pria yang begitu awas pada sekitarnya. Tampak ingin memastikan tak satu lelaki pun dalam kerumunan itu menyentuh wanita itu. Mungkin pria itu sadar, perbedaan kadar cinta diantara mereka kasat mata.

Tapi akhirnya ia tak bisa berbuat apa-apa, ketika mendadak dari arah dalam warung berlarian dua orang anak kecil. Menyeruak sambil memamerkan suara mereka yang menggelegar, berat layaknya pria yang sudah lama menghadapi kerasnya hidup, kedua anak itu segera mengambil alih kekuasaan atas gerobak bakso itu.

Pasangan itu menyingkir, masuk kedalam warung. Sementara orang-orang hanya bisa tertawa walaupun tak lama sebagian dari mereka berkerut mendengar diksi anak-anak tambun itu yang berubah dari lucu menjadi kasar. Hidup sepertinya terlalu mencukupkan segalanya bagi keduanya, lalu mereduksi tata krama kedalam urutan yang kesekian.

Lalu datang seorang ibu dan anaknya mendesak kedepan. Tinggi besar perawakan wanita paruh baya dengan outfit mahal itu, yang sejurus kemudian berteriak-teriak pada tiga orang karyawan, meminta pesanannya dipercepat seolah ia telah menanti dalam hitungan jam. Entah kampungan atau memang belum semua orang kaya pernah merasakan bakso bakar.

Di sudut belakang gerobak, seorang lelaki dalam pakaian coklat yang setengah basah berdiri terpojok. Raut mukanya yang masih menyimpan kesal pasca perdebatan bodoh dengan atasannya lambat laun semakin cerah. Sementara aroma daging terbakar menghangatkan tubuhnya, hujan badai dan kerumunan itu berkonspirasi mendinginkan kepalanya yang tak henti menangkap pikiran disekitaran. Keinginan-keinginan memang sungguh memabukkan, sumber penderitaan kata bang iwan...

Tuesday, September 14, 2010

Premonition

“…..Tak peduli aku sepakat atau tidak, hirau atau tidak, hidup tetap mengirimkan pertanda padaku seperti sahabat pena satu arah yang bersikeras mengirim surat meski aku tak ingin membalas, apalagi meminta….. (dee)”

******


Telah kusiapkan kata-kata yang mulai terfikir beberapa waktu yang lalu. Tapi hari ini tidak satupun kata yang keluar. Mungkin firasat tentang hari ini telah mengambil porsi terlalu banyak. Pada akhirnya aku menyerah, terdiam, lalu meraih tubuhnya yang bergetar pelan. Mengikuti alur yang seakan memutar ulang mimpi dua minggu kemarin. Tak lagi mencoba membelokkan adegan, although it feels like watching sixth sense, already knowing bruce willis is a ghost.

Menolak firasat kupikir hanya akan mereduksi fungsinya untuk menghindari dalil “timbangan cinta baru terukur ketika kita kehilangan”. Menerimanya, mungkin bisa membuatku tak perlu menunggu selama itu...

Maka lima menit sakral itu pun lenyap dalam pelukan erat. Kami saling menitipkan pesan pada udara yang perlahan menghangat karena emosi. Kusandarkan wajahku di tulang selangka-nya yang tampak. Giliran aku yang bergetar memeluk pinggangnya yang berkurang drastis semenjak pertemuan terakhir kami.

Seperempat abad cukup untukku mengenal banyak adegan perpisahan.

It tends to be like this, but still, it never happened like today.

Tuhan pasti tahu aku mencintainya tanpa pesaing…

Dan kurasa dia juga tahu…

*****

selamat hari raya temans, jangan sia-siakan waktu…