Tuesday, March 27, 2012

Stop Bikin Bingung Masyarakat

[ Demo yang tepat teman, negeri ini butuh kepercayaan, bukan kerusuhan ]

 Pada saat saya menulis ini, saya yakin polemik mengenai rencana kenaikan harga bahan bakar minyak sudah menjadi isu politik, bukan lagi semata soal perekonomian negara. Ada orang-orang yang semula menyarankan agar harga bbm dinaikkan, kini berbalik 100%, dan sebaliknya.  Ada orang yang awalnya diam saja, tiba-tiba muncul dengan segepok pengetahuan tentang seluk beluk anggaran nan penuh kebohongan.  Ada juga orang-orang yang membela kenaikan BBM dengan argumen yang justru memicu pertanyaan.  Entahlah, saya terlalu jauh dari data-data untuk bisa menganalisa.

Yang jelas terlintas, saya yakin pada akhirnya bahan bakar minyak yang ujung-ujungnya selalu bikin bingung masyarakat memang harus ditinggalkan.  Sudah terlalu sering kita menghabiskan energi untuk hal ini.  Setiap presiden pada akhirnya juga dihadapkan pada situasi yang serupa, dilema tentang harga. 

Energi baru yang terbarukan jangan lagi dijadikan mimpi jangka panjang karena rakyat butuh solusi cepat.   Tingginya tekanan harga minyak dunia harus menjadi titik kesadaran.  Kesempatan bagi mereka yang sudah bosan membolak-balik angka anggaran untuk menyesuaikan.  Karenanya investasikan sumber daya manusia dan modal dalam jumlah yang berlipat dibanding sebelumnya.  Negeri ini saya yakin punya lebih dari cukup otak-otak cerdas yang bisa mewujudkannya.  Negara harus menjalankan fungsi fasilitasinya dengan lebih baik dalam hal ini. 

Dan tentang urgensitas anggaran dan ekonomi jangka pendek, saya berpendapat bahwa seharusnya jika pun harus naik, apakah tidak mungkin BBM yang dinaikkan sementara adalah yang diperuntukkan bagi konsumsi mobil pribadi saja...?? 

Mereka yang menggunakan mobil pribadi, saya yakin bukan orang yang pantas mengaku tersedak karena harga minyak.   Jangankan 6000, saya pikir mereka yang menggunakan mobil pribadi malah justru harus dilarang sekaligus untuk membeli BBM bersubsidi.    With greater power, comes greater responsibility, tutur Paman Ben pada keponakannya, Peter Parker.

Sedang sepeda motor, walaupun memang pertumbuhan jumlah dan prosentase konsumsi BBM bersubsidi-nya makin besar, pada akhirnya memang masih menjadi jalan bertahan bagi sebagian besar strata masyarakat menengah ke bawah di negeri ini.  Iya, menengah ke bawah yang berpotensi menjadi miskin ketika salah satu aset terbesar mereka terlumpuhkan karena kenaikan biaya operasional dan efek dominonya pada harga-harga bahan pokok yang praktis juga akan terpengaruh karenanya.  Maka jikapun nantinya tetap harus naik, seyogyanya lakukan secara bertahap dan janganlah terlalu tinggi besarannya. 

Bagaimana dengan kendaraan umum? 


Mereka seyogyanya ada di peringkat terakhir pihak yang harus mengalami kenaikan harga bahan bakar minyak.  


Tak kalah penting dengan ide menaikkan harga BBM bersubsidi, saya pikir efisiensi anggaran di tingkat pusat dan daerah yang banyak dituntut mereka yang kontra terhadap rencana pemerintah tentang minyak ini memang sesuatu yang nyata bisa dilakukan.  Permasalahannya, mau tidak para birokrat yang memegang kendali anggaran di Pusat dan Daerah repot-repot untuk mengevaluasi anggarannya.  Dalam kacamata awam nan sempit saya di kedinasan, memang masih banyak kok kegiatan yang bisa ditunda pelaksanannya.  Jika 1 SKPD di 1 Daerah bisa menghemat 50 s.d 100 juta, bayangkan total anggaran yang bisa dihemat di seluruh Indonesia.  Bayangkan lagi jika kita bisa menyetop kebocoran-kebocoran anggaran di banyak pos pengeluaran.  

Selain dua hal itu, saya pikir orang-orang yang memiliki cukup pengetahuan, semacam Mahasiswa  dan Pegawai Negeri harus pula berkontribusi nyata dalam mengurangi konsumsi energi minyak negeri.  Sungguh seringkali terheran saya ketika melihat kampus-kampus dan perkantoran penuh sesak dengan kendaraan pribadi, dan kemacetan timbul di sekitar lokasi yang seharusnya menjadi pelopor masa depan. 

Jika memang, dan memang transportasi publik saat masih belum bisa diharapkan kehandalannya, kenapa tidak mahasiswa menginisiasi gerakan berangkat ke kampus bersama.  Carter kendaraan umum untuk dinaiki sesama rekan satu almamater.  Selain melatih disiplin waktu, siapa tahu ketemu jodoh di dalam angkot itu?  Hal serupa juga seharusnya dapat dicontohkan dalam sistem berangkat berkantor bagi pegawai negeri.   Reduksi kesulitan transportasi massal dalam komunitas-komunitas.  Sementara para pimpinan bisa mengembangkan dengan 'sedikit' paksaan atau insentif positif.  Jika perlu, tambah porsi berjalan kaki.  Berangkat bersama-sama pasti lebih romantis.   Toh kos-kosan pasti tak jauh dari pusat pendidikan bukan...? 

Saya menamainya transportasi komunitas.  Entah apa sebenarnya nama yang tepat... ^^



Friday, March 16, 2012

Kelas, Respek, Cinta

Mereka yang mengukur respek berdasarkan kelas sosial tertentu, maksimal, hanya akan berakhir pada sekedar penghormatan.  Sedang, mereka yang tidak memandang kelas dalam hubungan sosial berarti memberikan kesempatan bagi mereka tumbuh sebagai pribadi yang dicintai.  Keduanya bukan soal benar salah, hanya soal pilihan apakah seseorang ingin dihormati? atau dicintai...?

Wednesday, March 7, 2012

One Day

Beberapa hari lalu, istri saya, diantara cengkerama kami, meminta saya mendefinisikannya dalam tiga kata.  Saya menjawabnya dengan REAKTIF, PERSISTEN dan MUDAH TERSENTUH.  Satu penggal situasi dalam One day, tadi malam, adalah contoh paling akhir tentang bagaimana ia, dibalik kengototan prinsip yang seringkali diperlihatkannya, adalah tetap saja wanita yang mudah tersentuh dengan visualisasi. ^^




Friday, March 2, 2012

B U W U H

Tanggal muda, bulan Maret. di meja sudut kantor, istri saya menulis nama kami berdua di pojok kiri atas amplop yang saya sodorkan. Ada agenda ‘buwuh’ sunatan teman kantor siang ini dan amplop tentu saja menjadi bagian dari preparasi kami. Awalnya saya ingin memisahkan amplop masing-masing, walaupun akhirnya saya pikir buang-buang kertas saja. Kenapa saya ingin memisahkan?

Ada satu hal yang menarik tentang pemberian amplop berisi sejumlah sumbangan uang bagi penyelenggara hajatan. Sejak lama, saya selalu penasaran mengapa sebagian besar orang yang saya temui cenderung menuliskan namanya diatas amplop ‘buwuh’ tersebut. “..Untuk memudahkan sang pemilik hajatan membalas budi...” atau “..biar bisa bebas dari rasa tidak enak untuk makan sampai puas..”, demikian jawaban beberapa orang yang saya tanyakan asal muasal ‘penamaan amplop’ itu.

Istri saya termasuk salah satu yang memberikan jawaban senada. Sedang saya, sejak pertama kali mendapat undangan sebuah acara hajatan, justru tidak pernah menuliskan nama saya di amplop. Menurut saya, adalah aneh, sebuah pemberian diserahkan dengan embel-embel ‘harapan suatu saat ketika kita ganti memiliki hajatan, nominal itu akan dikembalikan’. Suatu ketika saya malah sempat emosi ketika saat itu, karena berhalangan hadir, saya bermaksud menitipkan sebuah amplop ‘buwuh’ pada seorang teman, namun ia memaksa saya untuk menuliskan nama saya diatas amplop, hanya karena menurutnya itu sudah menjadi tradisi.

Sementara itu beberapa orang lain berasumsi bahwa dengan memberikan nama diatas amplop, seseorang akan bisa melegitimasi kelas sosialnya atau memenuhi ambang batas kewajaran sebuah kedudukan. Seorang pimpinan misalnya, akan merasa tidak nyaman jika memberikan amplop kurang dari 100 ribu rupiah untuk sebuah acara sunatan. Istri saya juga pernah bercerita bahwa salah seorang temannya, mendapat amplop kado pernikahan berisi uang 3 juta dari supervisornya. Dalam kasus lain, seorang bawahan merasa tidak enak ketika datang ke hajatan pimpinannya tanpa memasukkan selembar uang 100 ribuan kedalam amplopnya. Relatif memang volumenya, namun keduanya sama, diberi nama dan akhirnya membuat pemilik hajatan melegitimasi kelas si pemberi amplop.

Jadi, berapa isi amplop yang ‘pantas’ diharapkan dari seorang pegawai negeri golongan IIIA semacam saya dan istri saya? 25 ribu? 50 ribu? 100 ribu? Atau lebih?

Lantas, akankah ketika nanti misalnya saya menjadi pimpinan sebuah institusi, apakah saya harus berkaca pada posisi sebelum memberi?

Sejauh ini, saya merasa tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Dan karenanya saya yakin, pilihan membiarkan amplop kosong adalah yang terbaik, untuk saya. Saya pernah memberikan amplop berisi uang 25 ribuan saja pada seorang yang anggaplah teman dekat bagi saya. Posisi yang mungkin seharusnya ‘menuntut’ saya memasukkan nominal lebih. Apakah itu berarti saya pelit dan tak menulis nama hanya karena malu?

Entahlah, yang jelas di dompet saya saat itu memang cuma tersisa uang total 50 ribu, saya tak punya prospek pendapatan dan harus makan untuk seminggu kedepan.

Sebaliknya, suatu ketika saya pernah mengisi amplop berisi 100 ribu dalam sebuah hajatan teman yang tak terlalu saya kenal. Lantas, apakah saya sudah memiliki kelas lebih saat itu?

Sama seperti amplop untuk teman saya, amplop itu juga tanpa nama.

Menurut saya, apapun yang telah saya masukkan kedalam setiap amplop ‘buwuh’ itu, tak pernah lagi saya harapkan akan kembali, dalam nominal yang sama, apalagi lebih. Dalam banyak kesempatan, saya menentukan nominalnya karena secara logis, itulah angka yang saya bisa sediakan saat itu.

Pada akhirnya, amplop bagi saya adalah bagian dari penghormatan pada si empunya acara, bukan segala-galanya. Tak ada pentingnya nama diatas amplop saya. Entahlah jika mereka tidak bersungguh-sungguh dengan tulisan..
“..kehadiran anda adalah yang utama..”

Oh ya, ini tetap MENURUT SAYA, tak harus menjadi SEHARUSNYA....