Thursday, August 8, 2013

1434

Pada masa ketika interaksi sebagian besar kita berputar dalam lingkup dan kecepatan lokal, lebaran adalah waktunya berkeliling sembari mencicipi kue demi kue yang disajikan empunya rumah.  Mereka yang cukup dekat kadang tinggal lebih lama untuk menikmati opor atau sroto sambil bertukar kisah setelah saling meminta maaf. 

Lalu nyaris bersamaan dengan dimulainya ledakan ketertarikan kita pada kendaraan pribadi, datanglah telepon genggam yang menawarkan penawar kemacetan mudik yang menyebalkan dan lebaran pun berlalu meninggalkan kue-kue kering yang tak tandas dalam toples gelas.   

Menumpuknya jumlah nomer telepon yang tersimpan membuat sementara pemiliknya memilih memanfaatkan kecanggihan teknologi dan harga promo pesan singkat operator seluler untuk mengetik untaian maaf nan indah dan seragam, lalu mengirimnya ke berpuluh tujuan di satu waktu, layaknya jenderal yang mengirimkan bala tentaranya ke medan laga.  Waktu menjadi terlalu singkat untuk satu persatu pesan singkat itu.  Beberapa waktu lalu seorang teman saya yang jengah berkeluh kesah tentang hal itu.  "..saya tak mau membalas sms seperti itu..".  Saya tertawa dalam diam karena saya juga melakukannya lebaran tahun itu, hanya kebetulan saja saya lupa mengirimkan pesan serupa padanya.

Ketika layanan seluler pemintas jarak itu makin tersedak oleh media sosial yang 'seolah' tak menyoal ongkos berbual, sementara kita mulai menemukan lagi cara lain menyucikan diri dari kesalahan antara kita.  Prosedur "ketik maaf-cari buku telepon-tambahkan penerima-kirim" masihlah terlalu inefisien.  Maka berduyun-duyun sosialita (mungkin kita diantaranya) mulai mengecat permohonan maaf di tembok-tembok biru yang nyaris seragam itu.  Tinggal "ketik-post" saja maka sontak ada peluang ratusan atau ribuan sahabat dan kerabat yang melintas di depan tembok rumah akan sempat membaca permohonan maaf itu, lalu menerima lalu berkomentar atau membalas kicauan kita.  Keyakinan yang barangkali lahir karena pikir kita, pada dasarnya sang pelintas sependapat bahwa ketulusan memang harus menemukan cara untuk beradaptasi terhadap dunia yang bergerak lebih cepat dalam seratus empat puluh karakter dan bencana hobi transportasi pribadi yang kini membuat dunia terlalu naif untuk dikatakan hanya selebar celana kolor.   Saya sungguh ingin tahu pendapat kawan saya tadi, tentang itu... 

Bagi yang mengalami, mungkin ini adalah masa dimana kunjungan lebaran menjadi terlalu mahal untuk sekedar meminta maaf dan beberapa biji kue kering.  Toples gelas di rumah makin tak terjamah karena makin banyak tamu yang memilih menjadi tuan rumah. 

Hari ini kita lebaran lagi.  Beberapa kawan sudah mengirimkan pesan singkat lewat telepon seluler. Saya sendiri belum membalas atau menghaturkan maaf kemana-mana hingga saat ini kecuali pada orang tua dan mertua.  Malam takbiran terlanjur berlalu saya habiskan menunggui si kecil yang sedikit kembung dan rewel menjelang lebaran kali pertamanya, namanya juga bayi.  Tapi saya telah berjanji untuk membalas mereka satu persatu walau mungkin tak dalam satu waktu.  Karena lebaran, barangkali memang bukan sekedar memuaskan hasrat meminta maaf.  Ada hubungan yang tak ingin tertinggal diantaranya. 

Selamat berlebaran. semoga kita didekatkan pada ramadhan tahun depan, menemukan cara terbaik untuk saling memaafkan dan mempererat persaudaraan, dan dijauhkan dari keinginan menyimpan buruk sangka... 

Karena dunia sudah terlalu pengap dengan metana dan karbondioksida.... 



Purwokerto, 8 Agustus 2013

Thursday, June 6, 2013

Isra' Mi'raj - 060613

Kelak, pada saatnya akan kuceritakan padamu tentang isra' mi'raj dan betapa beruntungnya kami bahwa Alloh memilih mengirimkanmu pada malam peringatan kejadian istimewa itu.

Nanti, akan kukenalkan padamu, Muhammad, nama manusia yang kau dengar setelah tangisan pertamamu. Lalu, setelahnya, akan kuceritakan banyak lagi, tentang bagaimana aku mengenal ibumu, tentang istimewanya kakek dan nenekmu, dan tentu saja akan kuceritakan padamu manchester united nak...

Tapi sekarang, bagaimana jika sementara kuucapkan saja..

SELAMAT DATANG NAK...!

| littlepanda | purwokerto | 060613 | 3,00kg | 50cm

 

 

Monday, April 1, 2013

Dengar Kami Malang

Empat belas tahun yang lalu saya jatuh cinta dengan kota ini, yang dinginnya membuat saya tidak harus mandi sebelum kuliah pagi. Sesuatu yang sekarang sulit terjadi. Suhu bumi meningkat dan yang kita lakukan setiap harinya di Kota ini bisa jadi berkontribusi terhadapnya. Barangkali suatu hari saya akan menjadi apatis, tapi untuk sekarang, berpikir positif dan berbuat nyata untuk kota ini masih yang terbaik. Berada di lingkaran pemerintahan, walau di level bawah, saya bisa melihat masih banyak birokrat yang menjadikan perubahan sebagai tekad. Sementara di luar, saya tahu ada banyak kekuatan dalam ragam komunitas hijau yang ingin menyelamatkan ruang hidup yang layak. Malang yang lestari itu memang tidak mudah, tapi bukan tidak mungkin.... Dirgahayu Kotaku, semoga engkau segera mendapatkan transportasi publik yang layak, RTH yang memberi nilai tambah kehidupan, dan kemajuan ekonomi yang bersahabat dengan bumi...

Saturday, March 16, 2013

Antri Obat

Alhamdulillah, beberapa tahun terakhir saya jarang butuh berobat dan sebagai konsekuensinya, saya juga tidak punya cukup banyak pengalaman personal tentang pelayanan kesehatan.  Tapi namanya manusia, akhirnya ada juga saatnya harus pergi ke fasilitas pelayanan kesehatan.  Untuk kasus saya, adalah istri yang memaksa pergi karena batuk yang saya alami ketika kedinginan dan dimulai dari sejak terekspos blower AC bus di perjalanan luar kota terakhir telah seminggu ini mengganggu.

Jujur, saya terkesan dengan kecepatan pengurusan administrasi di Puskesmas yang saya datangi.  Sistem yang digunakan masih manual dan sebagai seorang yang baru pernah memeriksakan diri di tempat tersebut, saya sempat khawatir akan ditanya macem-macem data dan fotokopi ini itu.  Tapi tidak, hanya butuh waktu lima menit untuk sang ibu mencatat data yang dibutuhkan and thats it.  Saya bisa mengantri pemeriksaan dokter.

Pemeriksaan dokter juga berjalan cukup lancar dan komunikatif.  Saya baru mengernyitkan dahi ketika sejam setelah pemeriksaan dokter tersebut, saya masih saja duduk di bangku antrian penukaran resep dengan obat gratis.  Saya adalah antrian nomor dua dan setelah saya, masih banyak lagi yang menunggu.  Beberapa remaja yang menemani neneknya dan ibu muda yang mengantri obat untuk anaknya mulai tidak sabar dan beberapa kali bangkit dari bangku antrian, melongok ke jendela layanan yang diatasnya ditempel kalimat ini...

MERACIK OBAT
Membutuhkan
Waktu dan Ketelitian
Mohon kesabarannya 
Untuk menunggu

Tak ada yang salah dengan kalimat itu.  Rasa ingin tahu saya adalah apa benar butuh selama itu untuk memproses resep yang sempat saya baca terdiri dari tiga macam obat generik standar, bukan racikan kapsul?

Hari itu hari Jumat. Puskesmas seperti halnya instansi pemerintahan lainnya, sepertinya terjebak dengan situasi pagi hari yang diisi aktivitas olahraga untuk stafnya.  Pengalaman pribadi di kantor saya menunjuk angka 9 sebagai waktu jam pelayanan baru efektif dimulai di hari Jumat.

Inilah kultur yang perlu dirubah. Dan saya pikir mempercepat pelayanan tidak sulit, barangkali hanya dengan mengukur ulang waktu olahraga staf dan menata kembali jumlah petugas yang menangani satu tugas tertentu.  Terlalu banyaknya petugas di ruang pelayanan resep membuat potensi mereka untuk menghabiskan waktu bersama makin tinggi.

Menunggu petugas meracik obat itu memang wajar bersabar.   Tapi sabar jelas kata yang sulit, ketika melihat dari balik kaca bahwa para petugasnya bercengkrama dengan asyik dan panjang lebar sementara membiarkan resep menumpuk?

Saturday, February 23, 2013

Sama Rasa

Awan-awan keabuan pengantar hujan mulai bergerak pelan menepikan nuansa biru dan putih di langit.   Sisa terik sabtu siang bercampur angin kencang menerjang jalanan yang padat kendaraan.  Kemacetan di jalur utama kota memang sudah beberapa bulan terakhir menjadi rutinitas akhir pekan.  Potret kemajuan ekonomi dan daya tarik kota kilah sementara pembesar.  Sedang orang-orang yang mengalaminya seringkali berpendapat berbeda.  Terlebih jika orang-orang yang terjebak dalam kemacetan itu menemui situasi dimana persamaan hak mereka di jalan raya ditantang beberapa orang yang ingin diutamakan.

Saya adalah salah satu yang sangat terganggu dengan pengutamaan segelintir orang tadi siang.  Terjebak macet sejak di bawah Fly Over A Yani, saya tiba-tiba mendengar sirene dari arah belakang yang meraung mendekat.  Terpikir awalnya bahwa ada ambulans mendekat, orang-orang yang terjebak macet disekitar saya pun sepertinya berpikiran sama, bergerak mencoba memberi jalan.  Namun ketika suara itu semakin dekat dan tercampur dengan bunyi klakson khas, saya tahu itu mobil polisi yang biasa melakukan pengawalan. 

Ketika itu posisi saya berada di samping sebuah dump truck kuning pengangkut material, persis di bibir jalan sehingga sebenarnya sejak awal tidak ada lagi kemungkinan memberi jalan.  Maka menjadi sangat tidak menyenangkan ketika mobil polisi dan rombongan yang dikawalnya itu terus menyeruak, mencoba memaksa truk di samping saya bergeser.  Menyadari bahwa ada beberapa pengendara motor di sisi kirinya, si pengemudi truk awalnya enggan segera meminggirkan kendaraannya.  Tapi bunyi klakson keras dan berulang dari mobil polisi akhirnya memaksanya mengalah, yang tentu saja membuat saya dan antrian sepeda motor dibelakang semakin terdesak dan susah payah berhenti diantara jepitan truk dan mobil-mobil dibelakangnya. 

Setelah berhasil memposisikan motor di belakang truk, saya melihat salah satu polisi itu dari dalam mobil menunjuk-nunjuk dan mengumpat berkali-kali pada sopir truk sebelum akhirnya bergerak melaju mendesak kendaraan lain di depannya yang masih terjebak antrian satu kilometer-an.  Di belakangnya mengular beberapa kendaraan mewah, plat merah luar kota dengan sedikit angka, khas kendaraan pejabat dengan strata beberapa tingkat diatas pegawai biasa seperti saya. 

Berusaha melanjutkan perjalanan, saya terkejut dengan tingkah salah satu dari kendaraan rombongan itu, sebuah toyota landcruiser hitam mengkilat yang membuka kaca kiri depannya.  Dari kaca itu, sang penumpang dengan setelan jas, mengeluarkan tripod kamera, separuh panjangnya. 

Entah apa maksudnya, mungkin mereka pikir bahan metal tripod itu akan memaksa kendaraan-kendaraan di depannya memberi lebih lebar jalan.   Pikiran memberi jalan pada saat itu telah hilang sepenuhnya dalam benak saya.   Dan ketika pada beberapa saat kemudian kecepatan rombongan itu kembali terhambat kemacetan dan saya berhasil meliukkan motor bersisian dengan fortuner tadi, saya melihat empat orang didalamnya.  Satu orang berpakaian batik dan tiga orang bersetelan jas sedang tertawa-tawa sambil terus mengacungkan tripod itu di samping saya.  

Beberapa detik kemudian secara resmi saya kirimkan beberapa umpatan dan kutukan untuk mereka. Lega rasanya saat itu walau perasaan menyesal timbul setelah saya sampai di rumah dan menyadari bahwa umpatan itu adalah sebuah kesia-siaan.... 

Di rumah saya mencoba mencari dasar dan menemukan bahwa dalam Peraturan Pemerintah No 43/1992, disebutkan bahwa semua orang adalah setara dalam hak dan kewajiban memanfaatkan jalan.  Sebuah pernyataan yang seharusnya menjadikan kita equal, sama rasa ketika ada di jalan raya.  Rombongan arogan siang tadi rasanya jauh dari kategori pengecualian kendaran yang wajib didahulukan, sebagaimana disebutkan dalam pasal 65 ayat 1 :
  1. Pemadam kebakaran yang sedang melaksanakan tugas
  2. Ambulans yang mengangkut orang sakit
  3. Kendaraan untuk memberi pertolongan pada kecelakaan lalu lintas
  4. Kendaraan Kepala Negara (Presiden dan Wakil Presiden) atau Pemerintah Asing yang menjadi tamu negara
  5. Iring-iringan pengantar jenazah, konvoi, pawai atau kendaraan orang cacat
  6. Kendaraan yang penggunaannya untuk keperluan khusus atau mengangkut barang-barang khusus.

Maka semoga anda semua yang masuk rombongan arogan tadi dijauhkan dari jabatan dan kemampuan mempengaruhi negara serta anda diberikan kesempatan sebesar-besarnya menikmati macet seperti saya dan warga negara lainnya rasakan....  Karena ketidakmampuan para pejabat dalam memahami hal-hal 'remeh' seperti inilah yang membuat Indonesia kesulitan memenuhi potensinya. 

Sunday, February 17, 2013

Menjual Mimpi

Setiap kali nonton tsubasa, setiap itu pula terpikir bahwa saya kekurangan cerita lokal yang 'menarik sekaligus menjual' mimpi untuk anak-anak.  Legenda dan dongeng semacam si kancil, unyil, sangkuriang, dan roro jonggrang, walaupun penuh nilai, namun rasanya miskin proses dan tujuan.  Atau setidaknya demikianlah kisah tersebut diceritakan turun temurun... 

***


Different Saturday

"Hari yang baik adalah hari dimana kita mendapat ilmu yang menyadarkan akan kekurangan pengetahuan yang kita miliki kemarin"


Beberapa waktu lalu saya bercerita pada seseorang, teman yang meminta saran tentang kehidupan pernikahan.  Salah satu hal yang saya singgung adalah tentang berkurangnya frekuensi saya melakukan perjalanan panjang keluar kota.  Hal itu sebenarnya samasekali tidak saya rencanakan, karena justru travelling bersama pendamping justru menjadi salah satu resolusi saya menjelang menikah dulu.  Tak jelas bagaimana awalnya, kehidupan rumah tangga dan padatnya aktivitas kantor (cari kambing hitam) memang akhirnya menguras waktu. Tapi saya lantas berkata pada teman tersebut, bahwa pernikahan tidak seharusnya terhalangi oleh kekhawatiran akan kehilangan momen-momen perjalanan atau tergerusnya porsi hobi di masa-masa sendiri.  Marriage is much more than that.  Bagi saya, frasa tersebut semakin akrab di masa-masa kehamilan istri saya yang sudah memasuki pekan ke 26 (semoga setiap pasangan dikaruniai kebahagiaan yang sama).  

Kami 'merayakannya' dengan melakukan sesuatu yang berbeda di akhir pekan ini.  Bukan perjalanan jarak jauh, tapi hanya beberapa trip singkat ke beberapa tempat di kota malang.  Dan ini sebenarnya lebih seperti pemenuhan janji yang tertunda untuk istri saya.  

Pagi itu kami bergegas bangun pagi untuk menuju rumah sakit islam dekat kantor yang menawarkan senam hamil gratis.  Ya, hari ini adalah hari olahraga pertama untuk si panda kecil.   Istri saya kelihatan menikmati benar senam yang berlangsung satu setengah jam, terlihat dari antusiasnya cara dia bercerita. Well, actually, she always did. hehe... Pada intinya, dia gembira karena telah diajari beberapa cara relaksasi untuk mengatasi pegal-pegal dan lelah yang sering dirasakannya di trimester kedua ini.  Salah satu caranya, katanya adalah dengan sering-sering meluruskan kaki hingga punggung telapak kaki.  Saya mendorongnya untuk mencatat semua gerakan itu di buku catatan dan ia pun menyetujui untuk melakukannya setelah sarapan.

Kami memang lupa (kesiangan, actually) dan tak sempat mengecap beberapa suap nasi sebelum berangkat pagi ini.  Maka jadilah kami meluncur ke Warung Pecel Madiun di daerah belakang sardo.  Ini memang salah satu tempat makan favorit saya dan istri.  Bahkan jauh sebelum menikah, saya rutin makan disini setidaknya seminggu sekali dengan salah seorang sahabat saya, my fellow jombloers, that time... Nasinya pulen dan hangat, pecelnya enak, dan tentu saja murah meriah!.    

Jam menunjukkan pukul 9.30 ketika kami selesai sarapan dan beranjak menuju tempat 'sasaran' berikutnya, PPPA Daarul Quran.  Tujuannya cuma satu, memenuhi janji kami pada Alloh untuk mengajak si tole, panda kecil, amanah dari-Nya ini mengaji pertama kalinya.  Kami ingin ia menjadi manusia yang lebih baik dari bapak ibunya.  Dan untuk itu kami telah sepakat bahwa mengenalkannya pada Al-Quran semenjak dalam kandungan adalah salah satu prasyarat terpenting.  Maka jadilah kami menemui Ust. Habib Mustofa, pria muda dengan bacaan Al-Quran yang indah (subhanallaah).    

Di ruangan musholla kecil ukuran 2x2 itu, dalam iringian murottal Quran yang mengalun lembut dari speaker yang digantung di sudut langit-langit ruangan, kami dijelaskan bahwa sesi pertama adalah pengenalan tentang apa yang akan dilakukan untuk membuat si tole menjadi ahli Quran.  Ust. Habib Mustofa menganalogikannya dengan upaya kita kala ingin membeli mobil, butuh kerja keras untuk mengumpulkan dananya.  Maka apalagi jika yang kita ingin 'beli' adalah seorang anak yang mudah menghafal dan mengamalkan Al-Quran.  Setelah sesi taushiyah yang berjalan selama 45 menit, kami disodori buku panduan riyadhoh dan dzikir, dua mata uang untuk 'pembelian' itu yang harus kami lakukan setiap hari.  Buku itu akan bermanfaat untuk satu bulan ke depan sebelum digantikan dengan buku lain yang berisi panduan berikutnya.  Rasanya ingin menangis ketika menyadari bahwa apa yang sebelumnya saya pikir sudah cukup untuk mempersiapkan si panda kecil, ternyata masih jauh.  Masih banyak yang harus dikejar dan hari itu adalah hari yang baik.  Hari dimana kita mendapat ilmu yang menyadarkan akan kekurangan pengetahuan yang kita miliki kemarin.  Dan untungnya, di PPPA Daarul Quran, kami diberi ceklist yang harus kami lakukan setiap harinya.  Maka kami pun menutup sesi dengan janji dalam hati untuk saling mengingatkan pasangan akan janji kita pada si panda kecil....  

Bahwa diantara alunan mozart dan cerita-cerita inspiratif yang kami bagikan padanya setiap malam, dan diantara kesibukan pekerjaan yang menekan, ada porsi lebih besar yang perlu kami sediakan untuk cerita tentang Tuhan dan Al-Qurannya yang perlu ia dapatkan.  

And suddenly, it has been a different saturday....

Alhamdulillah...




 


 
    

Saturday, January 26, 2013

Messenger

Its been a while since i used messenger as a daily social media.  Since that time, facebook, twitter and whatsapp have been more effective.  Yet, today, after reading a few writings about 'old fashioned way of communications' i suddenly miss my messenger along with its stories which became history.  And so i installed it again to check if its still there, my friend, my contact.  So far, i found one contact still on the line.  the other fifty three are offline.  Well, i'll wait them for a while....

Get online 'old mates'! And let us found each other again!   :D

Sunday, January 20, 2013

Langkah Pertama

Melihat tawa riang anak-anak dan ibu-ibu yang menikmati desir angin pelepas lelah, adalah bayaran lunas untuk jam-jam lembur lalu yang melelahkan.

Ya, ini memang hanyalah satu keping awal. Tapi semoga menjadi titik dimana kita akan mulai menemukan kembali cukup ruang untuk BERMAIN di kota yang indah ini. Lalu semoga, tak peduli sadar atau tidak, kita akan LESTARI bersama. Karena pada akhirnya, hanya dengan jalan inilah kita bisa BERKEMBANG....

Ayo, main ke Taman Merjosari :D
 



 
 
 

Saturday, January 19, 2013

Sang Pengantar

Sudah jalan hidupnya untuk menyusuri jalanan. Ia adalah pengantar segalanya, tak hanya kebahagiaan yang konon diaku bisa diantarkan botol-botol soda kaya glukosa. Ia antarkan ayam-ayam muda, ia sampaikan kardus-kardus beraneka rupa, dan ia pertemukan manusia dari segala ras dan strata, laki-laki dan perempuan, dengan tempat-tempat terindah pun termistis di negeri ini.

Di waktu-waktu antaranya, ia pulang dengan senyum bahagia dan beberapa lembar uang hasil keringatnya. Kadang, ia pulang dengan sebungkus ayam goreng dan tempe bacem. Di lain waktu kepulangannya, ia menenteng cerah sekotak mainan baru untuk anaknya. Diserahkannya semua bersama beberapa potong baju kotor, pada perempuan yang selalu menunggunya di depan pintu rumah. Lalu ia bersihkan diri dan tenggelam dalam dengkurnya yang panjang.

Di waktu senggangnya itu, rumah adalah surga baginya. Berdiam dan saling goda dengan istrinya ketika mereka bercerita pada anak-anaknya masa-masa muda mereka. Tentang siapa yang lebih dulu menabur cinta. Entahlah, keduanya selalu punya versi masing-masing. Begitulah kesukaannya. Sedang dengan kawannya, ia memang jarang bicara panjang lebar. Ia lebih sering memilih mendengar atau menjadi bagian koor tawa ketika salah satu kawannya melontarkan canda. Paling-paling ketika terpancing perdebatan kawan tentang mesin dan kutak-katik benda elektrik. Itupun tak lama. Kawan-kawannya rata-rata adalah perokok dan peminum kopi berat. Sedang ia tak pernah bersahabat dengan keduanya.

Maka biasanya, ia lalu memilih pulang ke surganya. Surga yang ia bangun dan tinggali puluhan tahun. Dimana air hujan kadang menyelusup bocor diantara atapnya dan pengerat menjadi musik pengantar tidurnya, adalah juga surga dimana ia dan istrinya mendesain cara untuk mengantarkan kebahagiaan tanpa soda bagi anak-anaknya.

Pada akhirnya butuh lima puluh enam tahun baginya untuk bisa menuntaskan tugas-tugas desain itu. Telah ia antarkan anak-anaknya sampai ke podium tempat mereka menyungging senyum dalam topi bertali dan jubah hitam. Telah ia antarkan anak-anaknya ke panggung penuh bunga yang jumlahnya jauh lebih banyak ketika ia menyunting kekasih hidupnya. Telah cukup ia bekali istrinya dengan tempat berlindung dan kuda untuk mengantar sang istri pergi. Semua rancangannya telah lengkap dan pikirnya, kini waktunya aku melihat bagaimana rencana itu berhasil. Hanya saja, ada satu yang ia tak bisa kendalikan. Bukan soal melihat atau tidak. Tapi soal dimana ia akan duduk dan melihatnya.

Ia berencana tinggal lebih lama di surga bocor miliknya, tapi rupanya, katanya, ada tempat yang lebih baik untuknya. Surga yang tak mungkin bocor. Maka setahun pasca rampungnya semua rencana miliknya, pulanglah ia kesana.

Sang pengantar sudah menuntaskan perjalanannya. Begitu banyak orang berterimakasih padanya di hari kepulangannya. Mereka semua berkata pada saya, ia adalah orang yang baik, yang tak pernah terlihat meluap dalam amarah, yang tak pernah runtuh dengan keluh kesah akan apa saja yang dilontarkan jalanan kehidupan padanya.

Dan saya beruntung bisa puluhan tahun memanggilnya BAPAK.

Bapak yang hanya sekali dalam lima puluh tujuh tahun, tujuh bulan dan tiga belas hari hidupnya memarahi anaknya..

Bapak yang tak pernah berkata tidak ketika saya meminta tambahan uang kuliah...

Bapak yang tak lepas dari senyum hingga saat anaknya memandikannya...

Sunggguh, engkau adalah Bapak yang tak sempurna namun tak ada tandingannya di dunia....



Selamat jalan pak, baik-baik ya disana....






In memoriam, Soepono
29 Mei 1955 - 11 Januari 2013

Tuesday, January 1, 2013

Flight

Sudah lama sejak terakhir kali Denzel Washington memerankan karakter yang memiliki implikasi lebih dari sekedar baku tembak.  Dan FLIGHT rupanya jawaban untuk kerinduan saya.