Thursday, August 8, 2013

1434

Pada masa ketika interaksi sebagian besar kita berputar dalam lingkup dan kecepatan lokal, lebaran adalah waktunya berkeliling sembari mencicipi kue demi kue yang disajikan empunya rumah.  Mereka yang cukup dekat kadang tinggal lebih lama untuk menikmati opor atau sroto sambil bertukar kisah setelah saling meminta maaf. 

Lalu nyaris bersamaan dengan dimulainya ledakan ketertarikan kita pada kendaraan pribadi, datanglah telepon genggam yang menawarkan penawar kemacetan mudik yang menyebalkan dan lebaran pun berlalu meninggalkan kue-kue kering yang tak tandas dalam toples gelas.   

Menumpuknya jumlah nomer telepon yang tersimpan membuat sementara pemiliknya memilih memanfaatkan kecanggihan teknologi dan harga promo pesan singkat operator seluler untuk mengetik untaian maaf nan indah dan seragam, lalu mengirimnya ke berpuluh tujuan di satu waktu, layaknya jenderal yang mengirimkan bala tentaranya ke medan laga.  Waktu menjadi terlalu singkat untuk satu persatu pesan singkat itu.  Beberapa waktu lalu seorang teman saya yang jengah berkeluh kesah tentang hal itu.  "..saya tak mau membalas sms seperti itu..".  Saya tertawa dalam diam karena saya juga melakukannya lebaran tahun itu, hanya kebetulan saja saya lupa mengirimkan pesan serupa padanya.

Ketika layanan seluler pemintas jarak itu makin tersedak oleh media sosial yang 'seolah' tak menyoal ongkos berbual, sementara kita mulai menemukan lagi cara lain menyucikan diri dari kesalahan antara kita.  Prosedur "ketik maaf-cari buku telepon-tambahkan penerima-kirim" masihlah terlalu inefisien.  Maka berduyun-duyun sosialita (mungkin kita diantaranya) mulai mengecat permohonan maaf di tembok-tembok biru yang nyaris seragam itu.  Tinggal "ketik-post" saja maka sontak ada peluang ratusan atau ribuan sahabat dan kerabat yang melintas di depan tembok rumah akan sempat membaca permohonan maaf itu, lalu menerima lalu berkomentar atau membalas kicauan kita.  Keyakinan yang barangkali lahir karena pikir kita, pada dasarnya sang pelintas sependapat bahwa ketulusan memang harus menemukan cara untuk beradaptasi terhadap dunia yang bergerak lebih cepat dalam seratus empat puluh karakter dan bencana hobi transportasi pribadi yang kini membuat dunia terlalu naif untuk dikatakan hanya selebar celana kolor.   Saya sungguh ingin tahu pendapat kawan saya tadi, tentang itu... 

Bagi yang mengalami, mungkin ini adalah masa dimana kunjungan lebaran menjadi terlalu mahal untuk sekedar meminta maaf dan beberapa biji kue kering.  Toples gelas di rumah makin tak terjamah karena makin banyak tamu yang memilih menjadi tuan rumah. 

Hari ini kita lebaran lagi.  Beberapa kawan sudah mengirimkan pesan singkat lewat telepon seluler. Saya sendiri belum membalas atau menghaturkan maaf kemana-mana hingga saat ini kecuali pada orang tua dan mertua.  Malam takbiran terlanjur berlalu saya habiskan menunggui si kecil yang sedikit kembung dan rewel menjelang lebaran kali pertamanya, namanya juga bayi.  Tapi saya telah berjanji untuk membalas mereka satu persatu walau mungkin tak dalam satu waktu.  Karena lebaran, barangkali memang bukan sekedar memuaskan hasrat meminta maaf.  Ada hubungan yang tak ingin tertinggal diantaranya. 

Selamat berlebaran. semoga kita didekatkan pada ramadhan tahun depan, menemukan cara terbaik untuk saling memaafkan dan mempererat persaudaraan, dan dijauhkan dari keinginan menyimpan buruk sangka... 

Karena dunia sudah terlalu pengap dengan metana dan karbondioksida.... 



Purwokerto, 8 Agustus 2013

No comments:

Post a Comment