Friday, March 2, 2012

B U W U H

Tanggal muda, bulan Maret. di meja sudut kantor, istri saya menulis nama kami berdua di pojok kiri atas amplop yang saya sodorkan. Ada agenda ‘buwuh’ sunatan teman kantor siang ini dan amplop tentu saja menjadi bagian dari preparasi kami. Awalnya saya ingin memisahkan amplop masing-masing, walaupun akhirnya saya pikir buang-buang kertas saja. Kenapa saya ingin memisahkan?

Ada satu hal yang menarik tentang pemberian amplop berisi sejumlah sumbangan uang bagi penyelenggara hajatan. Sejak lama, saya selalu penasaran mengapa sebagian besar orang yang saya temui cenderung menuliskan namanya diatas amplop ‘buwuh’ tersebut. “..Untuk memudahkan sang pemilik hajatan membalas budi...” atau “..biar bisa bebas dari rasa tidak enak untuk makan sampai puas..”, demikian jawaban beberapa orang yang saya tanyakan asal muasal ‘penamaan amplop’ itu.

Istri saya termasuk salah satu yang memberikan jawaban senada. Sedang saya, sejak pertama kali mendapat undangan sebuah acara hajatan, justru tidak pernah menuliskan nama saya di amplop. Menurut saya, adalah aneh, sebuah pemberian diserahkan dengan embel-embel ‘harapan suatu saat ketika kita ganti memiliki hajatan, nominal itu akan dikembalikan’. Suatu ketika saya malah sempat emosi ketika saat itu, karena berhalangan hadir, saya bermaksud menitipkan sebuah amplop ‘buwuh’ pada seorang teman, namun ia memaksa saya untuk menuliskan nama saya diatas amplop, hanya karena menurutnya itu sudah menjadi tradisi.

Sementara itu beberapa orang lain berasumsi bahwa dengan memberikan nama diatas amplop, seseorang akan bisa melegitimasi kelas sosialnya atau memenuhi ambang batas kewajaran sebuah kedudukan. Seorang pimpinan misalnya, akan merasa tidak nyaman jika memberikan amplop kurang dari 100 ribu rupiah untuk sebuah acara sunatan. Istri saya juga pernah bercerita bahwa salah seorang temannya, mendapat amplop kado pernikahan berisi uang 3 juta dari supervisornya. Dalam kasus lain, seorang bawahan merasa tidak enak ketika datang ke hajatan pimpinannya tanpa memasukkan selembar uang 100 ribuan kedalam amplopnya. Relatif memang volumenya, namun keduanya sama, diberi nama dan akhirnya membuat pemilik hajatan melegitimasi kelas si pemberi amplop.

Jadi, berapa isi amplop yang ‘pantas’ diharapkan dari seorang pegawai negeri golongan IIIA semacam saya dan istri saya? 25 ribu? 50 ribu? 100 ribu? Atau lebih?

Lantas, akankah ketika nanti misalnya saya menjadi pimpinan sebuah institusi, apakah saya harus berkaca pada posisi sebelum memberi?

Sejauh ini, saya merasa tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Dan karenanya saya yakin, pilihan membiarkan amplop kosong adalah yang terbaik, untuk saya. Saya pernah memberikan amplop berisi uang 25 ribuan saja pada seorang yang anggaplah teman dekat bagi saya. Posisi yang mungkin seharusnya ‘menuntut’ saya memasukkan nominal lebih. Apakah itu berarti saya pelit dan tak menulis nama hanya karena malu?

Entahlah, yang jelas di dompet saya saat itu memang cuma tersisa uang total 50 ribu, saya tak punya prospek pendapatan dan harus makan untuk seminggu kedepan.

Sebaliknya, suatu ketika saya pernah mengisi amplop berisi 100 ribu dalam sebuah hajatan teman yang tak terlalu saya kenal. Lantas, apakah saya sudah memiliki kelas lebih saat itu?

Sama seperti amplop untuk teman saya, amplop itu juga tanpa nama.

Menurut saya, apapun yang telah saya masukkan kedalam setiap amplop ‘buwuh’ itu, tak pernah lagi saya harapkan akan kembali, dalam nominal yang sama, apalagi lebih. Dalam banyak kesempatan, saya menentukan nominalnya karena secara logis, itulah angka yang saya bisa sediakan saat itu.

Pada akhirnya, amplop bagi saya adalah bagian dari penghormatan pada si empunya acara, bukan segala-galanya. Tak ada pentingnya nama diatas amplop saya. Entahlah jika mereka tidak bersungguh-sungguh dengan tulisan..
“..kehadiran anda adalah yang utama..”

Oh ya, ini tetap MENURUT SAYA, tak harus menjadi SEHARUSNYA....

No comments:

Post a Comment