Friday, September 18, 2009

Laskarku

Setahun yang lalu saya tidak pernah membayangkan akan mengalami satu lagi "perjalanan" yang menakjubkan. Ketika kini saya mencoba berpikir kembali, maka saya menemukan banyak hal, cerita tentang individu-individu yang saling mengingatkan atau bersama-sama mencoba.
Dan seperti saat pertama kita membuat origami sederhana, entah perahu atau pesawat kertas, maka semua dimulai dengan lipatan yang mempertemukan dua sisi yang tadinya berlawanan arah. Selanjutnya setiap kejadian, pahit, manis, aglomerasi dan friksi jelas adalah konsekuensi dari setiap pilihan kita yang memutuskan untuk terus melipat dan menekuk kertas kecil itu menjadi bentuk yang diinginkan.

"Seperti udara, aku mencintaimu, selalu terikat ruang. Seperti cuaca, aku menyayangimu selalu terikat waktu. Seperti hujan, aku membencimu, sewaktu-waktu."

Lantas ketika semua lipatan yang dibutuhkan sudah dilakukan, maka yang tampak takkan lagi semua, walau kertas kita tak berkurang. Hanya tekukan takdir yang menentukan bahwa sebagian harus ada di sisi yang lain, memainkan peran lain yang menguatkan namun tak lagi mengizinkan eksistensi fisik. Sama persis seperti yang kita akan hadapi entah besok, beberapa bulan, setahun, sewindu, atau mungkin tak perlu. Dan kita hanya akan punya satu pilihan untuk menerima. Seperti hati yang akan berusaha selalu menyimpan walau mata terkadang miskin tatapanmu dan kering akan senyummu. Then, thats simply what i hope, the reason we've met for, coz it takes forever than the moment we share....

Taqabalallaahu Minna Wa Minkum
Minal Aidin Wal Faidzin

"...selamat melahap jamuan terakhir ramadhan tahun ini, selamat berhari raya esok nanti, dan maafkan saya teman, sahabat, saudara, adik, kakak, inspirasi hidup...."

Friday, September 11, 2009

Wartel Dewi dan Kejujuran

Tahukah bahwa dua hal itu ternyata memiliki persamaan?? Yepp... sama-sama makin susah dicari!!!. Wartel, yang dulu seolah menjadi entitas simbol kejayaan telekomunikasi era 2000-an memang sudah kena gusur sama outlet-outlet isi ulang pulsa seluler. Sebuah hal yang sama sebenernya ketika wartel-wartel itu "merubuhkan" kotak-kotak telepon umum yang dulu menjadi saksi bisu kisah cinta bermodal recehan gambar wayang jaman SMP/SMA. Jaman itu, ngantri setengah jam demi 10 menit didalam "kotak keramat" itu pun dibela-belain, hahaha..mengakulah kalian!!!.

Beberapa tahun lalu, ketika wartel makin menjamur, saya mengalami kesulitan mencari telepon umum yang berfungsi normal di Indonesia, i mean: pesing, suka nelen receh, dan ada iklannya semacam "...budi was here...", "...adi sayang arif...(lho?!*%)", ato "..telpon aq ya 64 73 80 (tomi)...". hehehe.... Dan ya, ternyata kemaren saya mengalami kesulitan yang identik pas nyari wartel!!! Lima wartel di Kerto-kertoan (daerah kosan mahasiswa brawijaya) yang di awal-awal kuliah menjadi tempat andalan saya mengadu nasib dengan jodoh, ternyata semuanya sudah berubah fungsi. Yang dua masih ada plang wartel tapi begitu saya deketin, eh lha koq ruangannya penuh dengan mesin cuci. Jangan-jangan ini inovasi baru box telepon yap?? wangi euy.. hehe...
Trus dua wartel selanjutnya yang saya datangi, baru dilihat dari kejauhan saja udah keliatan almarhum. Dan yang satunya lagi malah jadi kos-kosan.. (lho?!*%) hehehe, maksud saya wartel yang terakhir ada tulisannya "TERIMA KOS PUTRA". Yaa, masih mendingan lah daripada jadi WC umum kan?!. Beruntung, akhirnya, di ujung sebuah jalan saya menemukan guna lahan wartel yang belum mengalami deviasi dan masih berfungsi sebagaimana mestinya, namanya WARTEL DEWI...!!! *bukan anaknya pak haji*

Lantas kenapa saya kemaren repot-repot nyari wartel padahal ada HP?? Alasannya rumit dan panjang ceritanya, tapi intinya semua berawal dari masalah pulsa HP..!!! :D. Kenapa rumit, karena teman baik (dan sedikit aneh) yang ingin saya hubungi itu hanya punya telepon rumah dan HP yang beda operator dan dari yang sudah-sudah pembicaraan kami dijamin bakal ngelantur. Jadi nelpon lama ke HP-nya bakal jadi salah satu cara bunuh diri paling efektif.. Hehe, Penurunan tarif interkoneksi antar operator yang sempat heboh kapan hari itu memang masih belum terasa nyata dalam beberapa kondisi tertentu. Mungkin operator lebih fokus bikin macem-macem trik telpon dan sms murah tapi kadang ribet, plus promosi tarif gprs, nebeng kesuksesan fesbuk mobile dan messenger.

Nah, sama seperti nyari wartel, mencari kejujuran ternyata juga makin sulit. Yang lucu kadang orang seringkali yakin bahwa dirinya terpaksa berbohong karena itu demi kebaikan, Just like what Adam Sandler did against his meanmachine team in the longest yard movie. Dalam skala kejadian nyata, kebetulan temen saya belum lama ini sempat cerita mau bikin SP3 buat pegawainya. Entah sudah keberapa kalinya dia bikin SP3 sampe-sampe saya heran. Ketika saya tanya kenapa, dia bilang "...aku bisa ngajarin dia jadi lebih pinter, tapi aku ga bisa ngajarin orang jadi jujur...". Yepp, ada benarnya juga sih, kejujuran memang tidak bisa diajarkan semudah membuat orang mengerti bahwa se-relatif apapun cara pandang kita, 64 tetap tidak akan sama dengan 65 dan lampu merah itu artinya berhenti bukan?!.
*Uppss, yang terakhir agak sulit juga si diajarin buat sebagian orang hehe...*

Intinya, walaupun setiap orang saya yakin fitrahnya suka dengan kejujuran, tapi hal tersebut sebagaimana nilai-nilai penting lainnya harus ditumbuhkan dari awal. Kadang bahkan dengan cara-cara yang keras namun tetap penuh kasih sayang, terus menerus, dan tentunya dicontohkan dalam perbuatan yang mendidiknya. Memang, pendidikan dari awal toh juga belum tentu menjamin mereka ga bakal berubah menjadi figur yang 180 derajat berbeda ketika mereka dewasa. Figur polisi yang bersih tetap bisa lahir dari sebuah lingkungan masa kecil yang buruk. Sementara orang-orang yang lahir terdidik kemudian tumbuh menjadi pribadi yang terkenal, bahkan memegang amanah orang-orang disekitarnya atau memenangkan kontes kecantikan, lantas menafikan hati kecil mereka terhadap sesuatu yang benar dan berlindung dibalik logika yang mereka tempatkan dalam porsi yang terlalu besar. Tapi secara umum saya percaya akan jauh lebih sulit mendidik orang yang sudah ngerti "uang bisa memudahkan banyak hal" dibandingkan membangun fondasi sebuah rumah yang kokoh.

Jack Nicholson dalam Departed pun membentuk Matt Damon menjadi anteknya sejak kecil, dimulai pada detik ketika dia bilang pada si collie sullivan kecil, ".....A man decide who he'll be. No one will give it to you. So you have to take it....."

And the same thing, will do with honesty....

Walaupun mungkin tidak seratus persen sama, karena bibit kejujuran disemai bukan saat mereka sudah menjadi pria atau wanita, bukan pula ketika bayi sudah bisa memanggil ibunya, tapi saat setiap tetes rizki yang halal menyusun wujud kita dalam rahim mulia seorang ibu, lantas disambung dengan lantun "panggilan Tuhan" dari seorang ayah untuk pertama kalinya...


ini contoh, bukan wartel dewi yang sebenernya..

Sunday, September 6, 2009

Gudeg

Haruskah pintar memasak untuk menulis tentang masakan??

Uhmm... kalo iya, maka sepertinya tulisan saya yang satu ini bakal banyak salahnya karena saya memang tidak pintar memasak walaupun saya tidak asing dengan aroma dapur sejak saya mulai jatuh cinta dengan mixer dan oven roti. Ya saya, lebih tahu cara bikin brownies (eh, tapi jangan ragu-ragu untuk meragukan rasanya ya..hehe..) dibanding bikin sayur sawi dan telur bumbu yang enak banget seperti yang temen saya biasa bikin buat sahur . Intinya kalo soal masakan sampai saat ini saya lebih suka menjadi penikmatnya saja, entah itu karena rasanya atau suasananya. Dan kalo ditanya makanan apa yang paling saya pengen saat ini, maka jawabannya adalah GUDEG JOGJA!!!

Ya, ternyata selama apapun saya tinggal di Jawa Timur dan secinta apapun saya sama yang namanya rawon pasuruan, nasi goreng kediri, pecel madiun, atau bakso malang, rupanya lidah saya masih menyimpan kerinduan yang luar biasa pada setiap masakan yang manis, termasuk gudeg. Mungkin ini yang namanya pepatah "Lidah tak pernah lupa pada kulitnya" hehehe.... Dan entah kebetulan ato enggak, kemarin sore ada acara kuliner di tivi yang isinya cerita tentang warung gudeg di pinggir-pinggir jalan Malioboro. *Hummm..... ces.. ces.. ces...*
Pikiran saya pun langsung jalan-jalan ke tempat yang terakhir saya datangi beberapa waktu lalu. Waktu itu, dua tempat jual gudeg jogja yang sempat saya dan teman saya cicipi adalah Gudeg di Wijilan dan Gudeg kaki lima di Deket Pasar Beringharjo.

Menyandingkan keduanya ibarat membandingkan minum secangkir cappucino almond di cafe dengan meneguk kopi instan yang diseduh dalam potongan botol bekas air mineral sambil duduk di tepi pantai. Wijilan, kampung di sebelah timur Alun-alun Utara Keraton Yogya ini sudah bertransformasi menjadi kampung wisata kuliner. Oleh karenanya wajar jika penyajiannya gudeg disini sudah dikemas sedemikian rupa, termasuk harganya yang "dikemas" menjadi harga turis. Beda dengan gudeg kaki lima di deket pasar beringharjo, yang cenderung lebih "lepas aturan".

Nah, secara subjektif harus saya akui bahwa saya lebih suka makan gudeg yang di depan Pasar Beringharjo. Bukan semata karena harga gudeg-nya yang seakan menantang hukum ekonomi "ada uang ada barang", tapi saya menikmati interaksi yang terjadi antara saya dan mbok penjualnya yang terjalin lebih hangat dibanding saat saya ada di Wijilan. Saya memandangnya sebagai hasil sebuah sistem relasi sosial khas warung nasi gudeg "monggo kerso" (silahkan milih), yang tercipta secara dinamis melalui karakter khas masyarakat disana, penuh kolegialitas, hangat, akrab, dan tenang.
Walaupun ya, memang bagi sebagian orang makan makanan yang ga diatur posisi brokolinya, jamurnya, dagingnya, nasinya, dan segala tetek bengek table manner akan terasa ga gaul. Tapi bagi saya jauh lebih nikmat ketika kita bisa memilih lauk dan porsi sesuai yang kita inginkan dibanding membaca daftar menu bergambar yang dicetak diatas kertas-kertas mahal.

Overall, keberadaan gudeg dalam berbagai ragamnya di Jogja adalah satu bentuk keindahan budaya negeri. Butuh setidaknya dua hari untuk mengolah nangka muda agar mencapai rasa yang "pantas" untuk dijadikan Gudeg. Sebuah proses yang merefleksikan pandangan orang Jawa bahwa, kesempurnaan hidup bisa muncul lewat sebuah proses, muda menjadi dewasa, kuli menjadi bos, puasa ragawi menuju puasa ruhani. THATS BEAUTIFUL ISN'T IT... Lantas bandingkan dengan ayam goreng warisan kolonel sanders yang super gurih dan bisa matang hanya dalam waktu 5-10 menit dengan bantuan lemak trans. Sebuah cermin kenikmatan instan a'la ekonomi "kartu kredit" (red.kapitalis) yang seringkali mengaburkan ekses dibaliknya....

Lantas diakhir pagi ini pikiran saya pun kembali ke pertanyaan pas saya lagi ngiler-ngilernya gudeg di acara "Kamus Kuliner" itu.. ada ga ya gudeg jogja yang enak di Malang?? Yang bayarnya ga pake "kartu kredit" pastinya!!!"

Kalo emang ga ada..
Then, JOGJA, get ready, i'm comin soon yaa!!!
siapkan gudegmu...!!!
semoga kau masih seperti dulu..
kala tiap sudut menatapku bersahabat dan penuh selaksa makna....