Monday, November 29, 2010

Tentang Menjadi Dewasa 1"

adalah tentang bagaimana kita bereaksi terhadap sesuatu yang tampak sepele di mata kita, tapi penting bagi tetangga. tentang apakah kita bisa menentukan mana yang lebih penting, langsung tidur setelah kerja lembur atau sekedar memarkir kendaraan lalu berinteraksi dalam kerja bakti...

Wednesday, November 24, 2010

INVICTUS

It is not what we say or what we feel. It is what we do, or we failed to do… (sense and sensibility)

Pada tahun 1875 William Ernest Henley harus menjalani amputasi terhadap salah satu kakinya demi menyelamatkan hidupnya. Sebuah pilihan yang berat bagi seorang pemuda berbakat yang baru berumur 25 tahun itu. Namun ketimbang menyerah, dalam proses pemulihan di rumah sakit ia menulis sebuah puisi yang merefleksikan semangatnya untuk bangkit. Sebuah puisi yang seabad kemudian ‘menemani’ Madiba untuk bertahan 13 tahun dalam kungkungan penjara yang setiap sel sempitnya diisi oleh 40 orang di Pulau Robben, di lepas Samudera Atlantik.

Ketika pada tahun 1994 Madiba yang lebih kita kenal sebagai Nelson Mandela memenangkan pemilu dan terpilih sebagai Presiden Afsel, dirinya dihadapkan pada begitu banyak permasalahan kemiskinan, kesehatan, pendidikan, transportasi dan yang paling utama integrasi kulit hitam dan kulit putih. Sebuah proses yang rupanya menemukan momentum lewat sesuatu diluar gedung parlemen, dari sebuah gelanggang berjuluk Ellis Park, ketika akhirnya 65.000 orang hitam, kuning, putih menjadi saksi, Springboks, tim Rugby yang dulu identik sebagai salah satu simbol kejayaan Apartheid kini menyatukan mereka, melawan All Black-Selandia Baru di Final Piala Dunia Rugby 1995.

Adalah sebuah pertemuan dengan kapten tim Springboks, Francois Pienaar yang menjadi titik awal transformasi tim tersebut. Pienaar yang putih, datang ke kantor kepresidenan dengan membawa sebagian kecemasan ras nya, hanya untuk kemudian menyadari bahwa visi dan perilaku Mandela jauh dari interpretasi negative mayoritas orang kulit putih. Sosok luar biasa, yang lantas menitipkan ‘misi mustahil’ agar Springboks menjadi juara dunia rugby bukan hanya atas nama prestasi, tapi demi integrasi negeri.

Pada saat itu Springboks dan All Black ibarat membandingkan Timnas Garuda dengan Korea Selatan. Ada bertingkat-tingkat perbedaan kualitas antara peserta Piala AFF dengan langganan Piala Dunia. Namun demikian, dalam serangkaian adegan film karya Clint Eastwood berjudul sama dengan tulisan ini, tergambar tingginya semangat mereka untuk merubah diri dalam masa persiapan yang kurang dari setahun itu. “..We may not have the best talent, but we can be the fittest..” adalah visi yang mereka canangkan. Sebuah semangat yang terpercik dari secarik kertas, yang diatasnya Mandela menulis puisi karangan Henley, yang ‘menjaga’ semangatnya saat pengasingan di Pulau Robben.

Maka membayangkan Pulau Robben tersebut, saya jadi teringat tentang Bandanaira dan sebuah catatan Gunawan Muhamad tentang tempat tersebut. Di Bandaneira ada sebuah monumen kecil dimana seregu samurai Jepang didatangkan Jan Pieterszoon Coen (Gubernur Jenderal VOC yang terkenal itu) ke Neira untuk menyembelih 40 orang pemuka masyarakat Banda yang menolak klaim Belanda dalam monopoli niaga pala. Di dinding di belakang perigi itu juga tertulis sederet nama orang dari pelbagai penjuru Nusantara yang dibuang ke pulau itu sejak abad ke-19: dari Pontianak, Yogya, Kutaraja, Cirebon, Serang, Blitar. Di abad ke-20 ada nama yang kini lebih dikenal: Cipto Mangunkusumo, Iwa Kusumasumantri, Hatta, Syahrir.

Dan jika Mandela kemudian bisa menunjukkan Pulau Robben pada lima belas orang yang diharapkannya menjadi invictus, tak terkalahkan, maka mungkin Riedl perlu mengajak 23 orang pilihannya pergi ke Bandanaira, tempat yang dikatakan "…disini bermula apa yang kemudian menjadikan Indonesia..."


Out of the night that covers me,
Black as the pit from pole to pole,
I thank whatever gods may be
For my unconquerable soul.

In the fell clutch of circumstance
I have not winced nor cried aloud.
Under the bludgeonings of chance
My head is bloody, but unbowed.

Beyond this place of wrath and tears
Looms but the Horror of the shade,
And yet the menace of the years
Finds and shall find me unafraid.

It matters not how strait the gate,
How charged with punishments the scroll,
I am the master of my fate:
I am the captain of my soul.

Invictus, William Ernest Henley

Tuesday, November 16, 2010

WAJAH WAJAH GUNDAH

Muka-muka pekerja yang cerah kala berangkat mengais rupiah dengan dandanan beraneka gaya yang menunjukkan jatidiri, mulai berkerut memandangi antrian panjang dihadapannya.


Kita adalah manusia-manusia modern, yang akan setengah lumpuh ketika fungsi push mail berhenti bekerja, ketika sensor infra red tetikus mati tanpa permisi, atau debu menyumbat karburator.


Sedang hari ini, adalah tentang sebuah truk gandeng yang terguling di depan fly over pada peak time arus pagi hari...


Dan seperti beberapa bapak yang mulai cemas anak-anaknya akan terlambat melewati satpam di gebang sekolah, bolak balik kupandangi jam di pergelangan kiriku.


#Jarum menunjuk angka 07.30.#


Kalkulasi kecepatan yang kubutuhkan setelah lepas dari kemacetan ini untuk sampai kantor tepat waktu berujung pada kesimpulan keharusan untuk meminggirkan sejenak gaya mengemudi yang biasanya tak lebih dari 60km/jam. Karena sekarang adalah Selasa, saatnya apel besar, dan tabu hukumnya terlambat....


Lima belas menit setelah kemacetan parah itu, diatas motor yang dipacu di angka 80 km/jam, entah siapa yang membawa, datang pertanyaan di kepala, "..apa sudah segundah ketika suara adzan memanggil dan aku masih terduduk di hadapan layar monitor..". Apakah memang terlambat check log, absen apel dan scan jari lebih intimidatif ketimbang iqomah... ?






#malang, ketika listrik mati seharian dan banyak pekerjaan tak terselesaikan#