Wednesday, November 24, 2010

INVICTUS

It is not what we say or what we feel. It is what we do, or we failed to do… (sense and sensibility)

Pada tahun 1875 William Ernest Henley harus menjalani amputasi terhadap salah satu kakinya demi menyelamatkan hidupnya. Sebuah pilihan yang berat bagi seorang pemuda berbakat yang baru berumur 25 tahun itu. Namun ketimbang menyerah, dalam proses pemulihan di rumah sakit ia menulis sebuah puisi yang merefleksikan semangatnya untuk bangkit. Sebuah puisi yang seabad kemudian ‘menemani’ Madiba untuk bertahan 13 tahun dalam kungkungan penjara yang setiap sel sempitnya diisi oleh 40 orang di Pulau Robben, di lepas Samudera Atlantik.

Ketika pada tahun 1994 Madiba yang lebih kita kenal sebagai Nelson Mandela memenangkan pemilu dan terpilih sebagai Presiden Afsel, dirinya dihadapkan pada begitu banyak permasalahan kemiskinan, kesehatan, pendidikan, transportasi dan yang paling utama integrasi kulit hitam dan kulit putih. Sebuah proses yang rupanya menemukan momentum lewat sesuatu diluar gedung parlemen, dari sebuah gelanggang berjuluk Ellis Park, ketika akhirnya 65.000 orang hitam, kuning, putih menjadi saksi, Springboks, tim Rugby yang dulu identik sebagai salah satu simbol kejayaan Apartheid kini menyatukan mereka, melawan All Black-Selandia Baru di Final Piala Dunia Rugby 1995.

Adalah sebuah pertemuan dengan kapten tim Springboks, Francois Pienaar yang menjadi titik awal transformasi tim tersebut. Pienaar yang putih, datang ke kantor kepresidenan dengan membawa sebagian kecemasan ras nya, hanya untuk kemudian menyadari bahwa visi dan perilaku Mandela jauh dari interpretasi negative mayoritas orang kulit putih. Sosok luar biasa, yang lantas menitipkan ‘misi mustahil’ agar Springboks menjadi juara dunia rugby bukan hanya atas nama prestasi, tapi demi integrasi negeri.

Pada saat itu Springboks dan All Black ibarat membandingkan Timnas Garuda dengan Korea Selatan. Ada bertingkat-tingkat perbedaan kualitas antara peserta Piala AFF dengan langganan Piala Dunia. Namun demikian, dalam serangkaian adegan film karya Clint Eastwood berjudul sama dengan tulisan ini, tergambar tingginya semangat mereka untuk merubah diri dalam masa persiapan yang kurang dari setahun itu. “..We may not have the best talent, but we can be the fittest..” adalah visi yang mereka canangkan. Sebuah semangat yang terpercik dari secarik kertas, yang diatasnya Mandela menulis puisi karangan Henley, yang ‘menjaga’ semangatnya saat pengasingan di Pulau Robben.

Maka membayangkan Pulau Robben tersebut, saya jadi teringat tentang Bandanaira dan sebuah catatan Gunawan Muhamad tentang tempat tersebut. Di Bandaneira ada sebuah monumen kecil dimana seregu samurai Jepang didatangkan Jan Pieterszoon Coen (Gubernur Jenderal VOC yang terkenal itu) ke Neira untuk menyembelih 40 orang pemuka masyarakat Banda yang menolak klaim Belanda dalam monopoli niaga pala. Di dinding di belakang perigi itu juga tertulis sederet nama orang dari pelbagai penjuru Nusantara yang dibuang ke pulau itu sejak abad ke-19: dari Pontianak, Yogya, Kutaraja, Cirebon, Serang, Blitar. Di abad ke-20 ada nama yang kini lebih dikenal: Cipto Mangunkusumo, Iwa Kusumasumantri, Hatta, Syahrir.

Dan jika Mandela kemudian bisa menunjukkan Pulau Robben pada lima belas orang yang diharapkannya menjadi invictus, tak terkalahkan, maka mungkin Riedl perlu mengajak 23 orang pilihannya pergi ke Bandanaira, tempat yang dikatakan "…disini bermula apa yang kemudian menjadikan Indonesia..."


Out of the night that covers me,
Black as the pit from pole to pole,
I thank whatever gods may be
For my unconquerable soul.

In the fell clutch of circumstance
I have not winced nor cried aloud.
Under the bludgeonings of chance
My head is bloody, but unbowed.

Beyond this place of wrath and tears
Looms but the Horror of the shade,
And yet the menace of the years
Finds and shall find me unafraid.

It matters not how strait the gate,
How charged with punishments the scroll,
I am the master of my fate:
I am the captain of my soul.

Invictus, William Ernest Henley

No comments:

Post a Comment