Wednesday, December 28, 2011

MELANCHOLIA

Akhir tahun sedang menjelang.  Pertokoan besar dan kecil berlomba merebut hati pelanggan yang datang. 20%, 50%, 50+20, "Beli 1 Dapat 2", atau 70%.  Label-label 'menggiurkan' itu melekat erat di setiap rak dagangan, layaknya seorang gadis yang menggoda kekasih pujaan. 

Di kasir, deretan pembeli, kebanyakan perempuan berpenampilan kelas menengah, menggenggam nota-nota pembelian yang membahagiakan.  Sebagian mulai resah, dalam situasi riuh seperti ini, antrian dan kesabaran memang dua kutub yang sulit disatukan.

Ya, sore itu saya menemani istri mencari beberapa keperluan rumah tangga.  Sedikit rizki lebih yang kami peroleh, akhirnya kami belikan pula beberapa potong pakaian dan beberapa keping DVD untuk menghabiskan malam hari.

Melancholia adalah salah satu judul keping DVD yang kami beli.  Lars Von Trier sebenarnya bukan sosok sutradara yang 100% meyakinkan.  Karyanya seperti The Antrichist mengundang kerut banyak orang.  Tapi saya tertarik membeli karena ingin melihat akting Kirsten Dunst yang dihargai aktris terbaik di Cannes karena perannya sebagai Justine film ini.

Justine adalah kakak dari Claire, seorang wanita yang sukses secara finansial dan menjalani rumah tangga yang terlihat bahagia dengan seorang Astronom dan anak lelaki mereka.  Sebaliknya, Justine adalah seorang perempuan yang mengalami depresi.  Tersiksa dengan keadaan Justine, Claire dan suaminya pun merancang sebuah pesta pernikahan untuk kakaknya.  Mereka pikir pernikahan akan membawakan Justine sebuah hidup yang lebih normal.

Dilatari dengan sebuah pemandangan tak normal sebuah bintang biru terang di langit, pernikahan itu pun terjadi.  Tapi seperti halnya sang bintang yang kehadirannya menyimpan misteri, pernikahan yang dipaksakan itu pun lebih mirip tragedi ketimbang selebrasi.


Mungkin Lars Von Trier ingin mengkritik dunia barat yang terlihat hipokrit akhir-akhir ini seperti halnya pesta pernikahan yang berusaha mengubur luapan kepedihan.  Atau Melancholia memang menyimpan misi untuk kita menjadi lebih awas akan hal-hal yang lebih luas ketimbang isi rak pakaian seukuran 1,5 x 2 meter yang berjajar didalam pertokoan. 

Ya, sementara kita sibuk merencana selebrasi pergantian angka di tanggalan, di bagian dunia lain, dua kutub kekuatan politik dunia yang terlihat adem ayem rupanya juga sedang menguji kesabaran masing-masing. 

Amerika Serikat dan Israel terus menerus mencari celah untuk 'menghalalkan' rencana mereka menyerang Iran.  Cuma Iran, penghalang mereka dari kekayaan timur tengah yang mereka pikir sanggup  untuk memberikan jawaban atas hutang ratusan triliun dollar sang polisi dunia.

Sama seperti Irak, tidak ada senjata pemusnah masal milik Iran.  Secara militer, kedua negara itu tak punya apa-apa untuk melawan hulu ledak nuklir Amerika dan Israel, meriam EMP (Elektro Magnetik Pulse), bahkan rencana perang biologis keji Amerika dengan menyebarkan mutasi kelima virus Avian Influensa ke udara Iran. 

Jika benar temuan Ron Fouchier, ahli virologi belanda, tentang pengembangan virus ini, maka ini berarti dunia barat sekali lagi ingin mengulangi tragedi Flu Spanyol yang disebarkan di akhir perang dunia I dan membunuh sekitar 50-100 juta orang, 3-6% populasi kala itu.

Terusik dengan perilaku Amerika Serikat dan sekutunya yang makin liar, Russia dan China belakangan telah menginstruksikan pasukan militernya untuk bersiaga penuh.  Kasus penembakan duta besar Rusia untuk Syria yang diduga didalangi oleh CIA dan M16 menambah runyam situasi.

Mirip dengan cerita agen rahasia di film bukan? Hanya saja berkebalikan dengan propaganda Holywood, sang protagonis mungkin saja mereka yang ada di sisi lain dari sang tokoh utama.

Ada banyak versi tentang bagaimana dunia akan berakhir.  Serangan makhluk luar angkasa berteknologi tinggi yang butuh sistem pendukung kehidupan baru bagi planet mereka yang mati.  Merebaknya virus yang membuat semua orang terinfeksi dan menjadi zombie.  Juga tumbukan bumi dengan meteor sebagaimana diyakini telah membuat dinosaurus punah dan divisualkan oleh banyak sineas asing.  Armageddon, Deep Impact, The Happening, Knowing, dan terakhir adalah Melancholia.     

Tapi jika kita mau melirik kenyataan yang lebih rasional, adalah kita dan tindak tanduk kita yang lebih mengkhawatirkan ketimbang faktor-faktor eksternal itu.  Polusi yang kita timbun akan mematikan kehidupan pelan-pelan.  Toh, keserakahan finansial yang potensial ujungnya akan memicu perang nuklir akhir zaman, tampak lebih nyata bukan? 

Dalam islam, salah satu riwayat menyebutkan bahwa tanda-tanda menjelang kiamat adalah terlalu menjamurnya pertokoan dan perniagaan.
Dan lucunya, apa yang berusaha ditutup-tutupi Amerika saat ini sudah lama diramal oleh Thomas Jefferson, pendiri mereka sendiri, yang kata-kata ramalannya dua ratus tahun lalu kini terasa lebih hebat ketimbang bualan Nostradamus... 

"..I believe that banking institutions are more dangerous to our liberties than standing armies.  If the American people ever allow private banks to control the issue of their currency, first by inflation, then by deflation, the banks and corporations that will grow up around will deprieve the people of all property until their children wake-up homeless on the continent their fathers conquered.."

Ya, begitu banyak yang sudah merasakan krisis finansial.  Bukti kegagalan ekonomi liberal yang tanpa sadar menjajah kebebasan hidup kita lewat beragam contoh, bahkan yang sesederhana kartu kredit dan diskon. 

Pada akhirnya kiamat, bagaimanapun versi yang anda percayai, pada akhirnya adalah tentang memperbaiki diri di setiap sisa hari hidup.  Dan beruntungya, tak seperti Claire dan Justine yang harus menata diri menghadapi kenyataan yang tak diinginkan, kita tak pernah akan tahu kapan itu terjadi.  Kecuali bagi anda yang percaya kalender Maya 2012, maka sebaiknya bergegaslah menunaikan apa yang perlu ditunaikan.  Waktu anda tak sampai 3 jam lagi akan berakhir....

Selamat Tahun Baru, Live Positively... 







Thursday, December 22, 2011

Kesantunan

Hampir pukul delapan. Seorang pekerja berbaju necis tergesa melarikan mobilnya. Waktu adalah uang baginya, sementara hak pengguna jalan lain bukan urusannya. Di pinggir jalan, seorang tukang becak, memanggil-manggil seorang pengendara motor yang gelisah mencari tambal ban. Lalu diantarnya sang pemuda ke tambal ban terdekat. Kesantunan, (lucunya) makin tak ada hubungan dengan pendidikan. Apalagi kendaraan...

Wednesday, December 21, 2011

Ghost Protocol

Walaupun belum lama ini Rusia merilis rencana pengembangan rudal balistik baru -oleh NATO diberi nama sandi rudal "Satan" (setan). R-36M2- yang mampu membawa hingga 10 hulu ledak nuklir dengan jarak jelajah maksimum 11.000 kilometer, namun tetap saja, memunculkan teori krisis nuklir antara Rusia dan Amerika sejatinya terasa sedikit 'over-imaginated'.   

Kuba sudah tak penting lagi, Vietnam sudah memilih jalannya sendiri, Tembok Berlin sudah runtuh, Soviet sudah tercerai.  Rambo, Chuck Norris dan rekan-rekannya tak punya lahan lagi di masa kini.  Masa ketika Amerika Serikat (dan Israel bangsat!) itu sudah menciptakan 'musuh' baru dalam wujud Saddam, Osama dan Ahmadinejad.

Tapi mungkin seperti kata John F. Kennedy, “A man may die, nations may rise and fall, but an idea lives on. Ideas have endurance without death.”   Maka ide tentang krisis nuklir kini berani kembali diangkat Bird dalam sekuel agen rahasia amerika milik Tom Cruise.  Beruntungnya, kue krisis nuklir ini berhasil dibalut dengan bumbu drama yang jauh lebih baik ketimbang tiga sekuel pendahulunya.


Mission Impossible adalah sebuah produk atau katakanlah obsesi Tom Cruise untuk 'menjawab' James Bond milik Ian Flemming.   Dan sampai sekuel ketiganya lalu, memang masih sulit untuk mengatakan bahwa MI lebih baik ketimbang James Bond.  Lalu kehadiran trilogi Jason Bourne yang terasa begitu kelam dan tajam semakin menghimpit lakon Ethan Hunt, sang agen rahasia dengan gadget dan kemampuan yang 'almost impossible' itu.


Dan untuk sebuah film yang empat sekuelnya kini terentang dalam usia 16 tahun semenjak edisi perdananya, muncul tanda tanya baru yang dimunculkan di scene-scene awal Ghost Protocol.

Adalah sebuah kewajaran ketika kita memiliki ekspektasi akan sebuah kontinuitas cerita dalam film yang membawa embel-embel sekuel.   Dan ketika J.J Abrams menyisakan rasa penasaran tentang 'Rabbit Foot' di akhir Mission Impossible III, maka menjadi logis jika penonton akan mengernyitkan wajah kala mengikuti alur awal di Ghost Protocol.

Ya,pasca MI-III pertanyaan terbesar yang awalnya ingin saya temukan jawabannya adalah bagaimana akhirnya Ethan menjalani fase kehidupan rumah tangga setelah rahasianya sebagai agen IMF dibuka terus terang pada sang istri.  Apakah mereka bisa hidup normal layaknya keluarga superhero dalam Incredibles, atau mereka harus menghilangkan diri agar tidak berakhir seperti kisah cinta Jason Bourne dan istrinya.


Namun rupanya sekuel keempat Mission Impossible ini samasekali tak memberikan tanda-tanda akan keberlanjutan cerita sebelumnya.  Termasuk tanda tanya besar tentang hilangnya penceritaan tentang istri Ethan Hunt.


Maka jelas sebagai kompensasinya, Ethan butuh lebih dari sekadar BMW i8, aksi lompat di gedung tinggi dengan sarung tangan ala spiderman, dan cerita (sedikit usang) tentang potensi konflik nuklir antara Blok Barat-(Eks) Timur.   Beruntungnya, Cruise kali ini memilih sosok yang tidak keliru.

Mobil Ethan Hunt di Ghost Protocol (ganbar diambil dari www.bmw-i.com)

Ghost Protocol boleh jadi film aksi pertama karya Brad Bird yang lebih terkenal sebagai sosok dibalik film animasi istimewa macam Ratatouille dan Incredibles , toh nyatanya pria itu sanggup memadukan sebuah aksi nyata manusia yang terus menerus memacu adrenalin dengan jalinan cerita yang membuat penontonnya sering bertanya-tanya.   Dan sebagai bonus, sisipan lelucon terasa pas diantara para tokohnya dengan sejumlah dialog yang mampu sedikit mencairkan wajah kaku Cruise.

Catat salah satu dialog sindiran berbau politis yang disisipkan Bird dalam adegan pembicaraan Ethan dengan seorang pedagang senjata gelap.   Sang pedagang yang kala itu diminta membantu gerak agen rahasia paling hebat milik amerika itu lantas bertutur sedikit menolak pada Ethan, "For your country, a potential terrorist, is a terrorist".   Sedikit saja, namun jelas mengindikasikan kenyataan yang disadari dunia tentang kelakukan Amerika Serikat dan sekali lagi, Israel bangsat itu...

diambil dari filmcritic.com

Jadi, jika dulu saya dan teman saya masih sering beradu argumen tentang kualitas tiga sekuel MI terdahulu, maka seharusnya kehadiran Ghost Protocol bisa membuat kami tak terlalu sulit menentukan mana sekuel terbaik diantara keempatnya, sejauh ini.  Dan personally, saya suka sekali gadget contact lens yang punya kemampuan photo, transfer data dan rekognisi wajah itu... :D







Thursday, December 8, 2011

K O S T

Dulu hidup kost rasanya begitu dekat sebagai salah satu esensi perjuangan para perantau.   Kamar kost ukuran 2 x 3 meter yang dengan mudah akan terasa penuh ketika kita masukkan kedalamnya sebuah kasur, lemari berhias 'catatan sejarah' penghuni sebelum kita, sebuah meja kayu kecil, dan bidang kecil tempat sajadah tergelar seakan menjadi representasi sahih perjuangan penghuninya membagi-bagi anggaran bulanan dan kebutuhan hidup perkuliahan.   


Sore tadi, memandangi deretan hunian mahasiswa masa kini di sekitaran sebuah kampus negeri, saya merasa takjub,  Alih-alih 'dihiasi' jejeran celana dalam dan kaos kutang seperti jaman saya kuliah dulu, atap-atap hunian bergaya minimalis dan gothic itu kini makin dipenuhi payung-payung televisi berbayar.   

Saya bisa mengerti, kenyamanan memang berkorelasi dengan banyak hal, mungkin diantaranya kenikmatan belajar,  Pun halnya dunia yang memang sudah berubah begitu jauh sehingga argumentasi tentang tinggi rendahnya perjuangan memang tak bisa dinilai hanya dari 'inflasi' persyaratan fasilitas kost-kost an yang dicari seorang mahasiswa.  

Toh saya sore tadi sempat membagi kegundahan pada istri, tentang seberapa banyak sebenarnya rasa 'nyaman' yang kita perlu belanjakan untuk berhasil keluar dari kampus sebagai alumni yang nantinya, meminjam istilah populer masa kini, "sesuatuuu banget...". 

Lalu setelahnya saya berkata kembali pada istri...

"...besok, aku tak ingin melihat anak kita menderita, walau itu bukan berarti ia tak perlu berjuang untuk sekedar uang kost sekalipun..."

Friday, December 2, 2011

The Other Side

Mendengar beragam berita buruk di televisi, koran, atau bahkan menyaksikan nyata di depan mata.  Rasanya kita akan mudah bertanya, bagaimana bisa kita melewatinya, sepuluh dua puluh tahun nantinya ketika uang semakin meraja dan kebutuhan-kebutuhan sekunder-tersier terus mendesak pengakuan sebagai bagian primer hidup manusia seperti kita.  

Tapi lalu suatu saat kita bisa melihat sisi lain tentang dunia.   Semisal tiga orang yang setiap malam tidur berkeliling lantai pedestrian kota, begitu mudahnya memutuskan membagi jatah sebungkus nasi campur sederhana mereka menjadi empat.  Ya, tiga bagian untuk mereka, satu bagian untuk kucing yang menatap kelaparan  didekat mereka.   

Ketika suguhan pemandangan mereka yang masih berbagi dikala kekurangan itu masih ada, bagaimana bisa kita menyerah begitu saja melawan nafsu dunia...? 








*untuk tiga orang gelandangan di depan pasar blimbing, malang*