Dulu hidup kost rasanya begitu dekat sebagai salah satu esensi 
perjuangan para perantau.   Kamar kost ukuran 2 x 3 meter yang dengan 
mudah akan terasa penuh ketika kita masukkan kedalamnya sebuah kasur, 
lemari berhias 'catatan sejarah' penghuni sebelum kita, sebuah meja kayu kecil, dan bidang 
kecil tempat sajadah tergelar seakan menjadi representasi sahih 
perjuangan penghuninya membagi-bagi anggaran bulanan dan kebutuhan hidup
 perkuliahan.    
Sore tadi, memandangi deretan hunian mahasiswa masa kini 
di sekitaran sebuah kampus negeri, saya merasa takjub,  Alih-alih 
'dihiasi' jejeran celana dalam dan kaos kutang seperti jaman saya kuliah
 dulu, atap-atap hunian bergaya minimalis dan gothic itu kini makin 
dipenuhi payung-payung televisi berbayar.    
Saya bisa 
mengerti, kenyamanan memang berkorelasi dengan banyak hal, mungkin 
diantaranya kenikmatan belajar,  Pun halnya dunia yang memang sudah 
berubah begitu jauh sehingga argumentasi tentang tinggi rendahnya 
perjuangan memang tak bisa dinilai hanya dari 'inflasi' persyaratan 
fasilitas kost-kost an yang dicari seorang mahasiswa.  
Toh
 saya sore tadi sempat membagi kegundahan pada istri, tentang seberapa 
banyak sebenarnya rasa 'nyaman' yang kita perlu belanjakan untuk 
berhasil keluar dari kampus sebagai alumni yang nantinya, meminjam 
istilah populer masa kini, "sesuatuuu banget...".  
Lalu setelahnya saya berkata kembali pada istri...
"...besok,
 aku tak ingin melihat anak kita menderita, walau itu bukan berarti ia 
tak perlu berjuang untuk sekedar uang kost sekalipun..."
No comments:
Post a Comment