Saturday, January 23, 2010

PURSUIT of FORGIVENESS

1972, sejarah mencatat awal keruntuhan kekuasaan seorang presiden saat dirinya diduga menjadi aktor intelektual pencurian berkas penting, penyadapan, korupsi, dan “pengaturan” pemilihan presiden selanjutnya. Sebuah kejadian memalukan yang akhirnya terkenal dengan istilah “Skandal Watergate”. Dosanya semakin menjadi-jadi karena perang yang dikobarkannya di asia telah merenggut nyawa puluhan ribu tentara dan rakyat sipil.

Dan akhirnya setelah pergulatan panjang selama 2 tahun, pada Agustus 1974, sang presiden pun mengundurkan diri, tanpa sekalipun mengucapkan penyesalan dan permintaan maaf atas segala penyelewengan hukum dan kesalahannya. Keseluruhan teks pidato pengunduran dirinya adalah refleksi dari sebuah pencitraan diri yang dibanggakannya dan dia tetap berpendirian bahwa ia adalah korban dari sebuah konspirasi politik legislatif.

Beberapa bulan kemudian setelah kejadian itu, dua orang duduk saling berhadapan di depan kamera televisi dalam sebuah interview yang kelak akan dikenang sebagai salah satu yang terpenting sepanjang sejarah. Sang narasumber, mantan presiden Nixon, ingin menjadikan wawancara ini sebagai jalan untuk memperbaiki citra dan meretas kembali jalur menuju kekuasaan. Sementara sang interviewer, David Frost, seorang presenter entertainment, ingin mencapai sesuatu yang tak pernah bisa dilakukan oleh hakim, legislatif, reporter, dan penyidik kasus Watergate sekalipun, yaitu sebuah pengakuan yang keluar dari mulut Nixon sendiri atas segala penyelewengan kekuasaan yang dilakukannya dan ironisnya saat itu telah “dihapuskan” atas nama kesehatan dan kemanusiaan oleh Ford, wakil presiden yang naik menggantikannya. Maka yang terjadi selanjutnya adalah pergulatan intens kedua aktor yang mempertaruhkan segalanya, sebuah pertarungan hingga akhir batas ego.

Nixon, adalah sebuah perpaduan karakter antara kecerdasan akal yang terbungkus sikap angkuh nan oportunis, ia mampu membuat Frost merasa terintimidasi dan melakukan kesalahan-kesalahan dalam pembicaraannya sendiri, menguasai enam dari delapan jam perbincangan diantara mereka. Begitu tertekannya Frost sehingga ia hampir menyerah di malam terakhir pengejarannya terhadap sebuah kata maaf. Sampai akhirnya ia sadar bahwa mungkin sebelumnya ia terlalu mengandalkan pengejarannya pada pertanyaan yang sekedar berusaha memancing inisiatif tanpa “pemaksaan” bukti yang kuat. Maka malam-malam menjelang sesi terakhir wawancara pun diisinya dengan sebuah kerja keras menemukan fakta yang jauh lebih lengkap dan mentransformasikannya kedalam pertanyaan-pertanyaan yang menguji nurani.

Mengakui kesalahan dan meminta maaf memang tak selalu menjadi perkara mudah. Mungkin tidak terlalu sulit untuk mengakui bahwa bau menyengat yang mendadak tercium di kantor adalah keluar dari pantat kita, bahkan sebagian lagi malah bangga dengan hal tersebut bukann???. Itu karena kentut bagi mereka tidak termasuk sebagai sebuah nilai yang jika terlanggar akan mencederai persepsi orang tentangnya. Tapi ketika begitu banyak “nilai diri” kita dipertaruhkan, maka disitulah pembuktian sebenarnya tentang mana yang lebih besar dalam diri kita, kepala atau hati?.

Tak usah jauh-jauh mencari contoh dalam sesosok pemimpin, secara jujur saya pun rasanya pernah menyerah kalah pada harga diri saat hati sudah memanggil-manggil untuk secara terbuka meminta maaf akan sebuah kekeliruan yang saya perbuat.
Hingga akhirnya saya terlambat bahkan untuk sekedar mempertahankan tali silaturahmi. Saya dan (mungkin) sebagian dari kita seringkali berusaha keras mencari-cari pembenaran harga diri yang terlalu tinggi atas nama mahzab yang berbeda, cara pandang dan subjektivitas kebenaran. Dan hanya karena “dipaksa” bukti yang memberatkan-lah kita seringkali baru bersedia meng-iya-kan sesuatu yang sebenarnya sudah ada jawabannya dalam hati kecil kita. Sebagian lagi, karena terlalu khawatir akan kehilangan apa yang sebelumnya dimiliki, akhirnya mengingkari bukti itu, rela menanggungnya seumur hidup dan “maling pun teriak maling”. Padahal selamanya “becik bakal kethithik, lan olo mesthi ketoro” dan sejatinya hanya kesepian dan mimpi buruklah teman di sisa hidup mereka.

Nixon, walaupun dipaksa, pada akhirnya memilih untuk mengikuti nuraninya dan menerima kenyataan bahwa segala yang terjadi akan tercatat dalam lembar hitam sejarah, bahwa karir politiknya tamat hari itu, bahwa nama baiknya sudah tercemar dan takkan bisa dikembalikan seperti semula, bahkan dengan permintaan maaf sekalipun. Bagaimanapun, saya yakin dalam benaknya ia rasanya bersyukur bahwa Frost sudah “mengejarnya” sedemikian jauh, menyelamatkan sisi baik yang tersisa darinya, sehingga setidaknya kasusnya bisa menjadi contoh bagi generasi setelahnya. Bahwa mengakui kesalahan dengan segala konsekuensinya, facts that those wrongdoings could be forgiven but wont always be forgotten, and then move on, akan membuat kita terbebas dari cekatan sesak dalam udara yang penuh oksigen.

Di akhir cerita, saat layar televisi saya berubah hitam dan menampilkan deretan casting Frost/Nixon, munculah pikiran konyol ini, “hei, kira-kira Ron Howard mau nggak ya bikin sequelnya berdasarkan “negeri antah berantah” yang punya modal sejarah identik. Dengan judul yang berbeda tentunya, “Tukul/Mr Ex.Leader” mungkin?? hehehe...

Frost/Nixon (2008)
Main Cast: Richard Nixon (Frank Langella), David Frost (Michael Sheen)
Director: Ron Howard


Monday, January 18, 2010

D R A M A

Ketika pagi tadi saya membuka-buka beberapa situs berita online yang mengangkat sebuah drama baru, fatwa haram rebounding dan foto pre wedding, yang dikeluarkan oleh Forum Bahtsul Masail Putri ke-12 di Pondok Pesantren Lirboyo, maka yang saya temukan adalah komentar-komentar yang begitu beragam. Ada yang lucu, ada yang menarik secara materi, ada yang terlihat emosional, dan yang menyedihkan bahkan ada pula yang akhirnya saya nilai berbau sara dan sungguh sayang belum disensor oleh pengelola situs tersebut (semoga segera disensor komen itu). Inilah kenyataan dalam dunia yang bagaikan jaring luas nyaris tanpa penghalang, semua bisa berekspresi walau saya tidak tahu apakah mereka yang mengutuki sebuah fatwa lebih paham tentang ilmu tentang hal tersebut dibanding pihak yang mengeluarkan fatwa. Atau mereka sekedar mendahulukan emosi untuk membentuk asumsi.

Adalah memang lebih mudah bagi orang yang tidak atau katakanlah belum berada dalam lingkaran pengaruh sebuah keputusan untuk berpendapat dengan lebih bijak atau mungkin terlihat abstrak bagi mereka yang mengalaminya. Persis dengan apa yang dilagukan SO7, Mudah saja bagimu/Mudah saja untukmu/Andai saja/Lukamu seperti Lukaku. Dan bagi saya yang tidak pernah (dan tidak berniat) rebounding dan belum punya rencana matang apakah pernikahan saya nanti akan menggunakan jasa pre-wedding atau tidak, maka sejauh ini pendapat saya terhadap fatwa tentang kedua hal ini adalah sebuah berkah dan ujian.

Menjadi berkah, karena hal ini akan memberikan tambahan alasan untuk memikirkan setiap tindakan dengan lebih hati-hati. Tuhan adalah satu-satunya kebenaran dan mencintai orang-orang yang bicara kebenaran. Kita dianugerahi dua telinga dan hanya satu mulut karena kita selayaknya lebih banyak mendengar terlebih dahulu sebelum berbicara. Maka memilih kata-kata yang tidak menyakiti hati orang lain, membuka aib, atau menimbulkan kesia-siaan ketika diposting kedalam status atau catatan dalam fesbuk dan blog adalah lebih bermanfaat bagi saya sekarang ini.

Menjadi ujian, karena hal ini menunjukkan bahwa perubahan-perubahan akan selalu terjadi dan mungkin saja hal itu akan menyentuh sisi kehidupan kita. Benar bahwa jika harus memilih, mungkin dibanding mendahulukan mempopulerkan fatwa haram kedua hal ini, saya lebih mendukung percepatan pengumuman fatwa haram bagi pemakaian hot pants di ruang public, fatwa haram bagi filem horror seks nggak penting, dan fatwa haram bagi acara-acara televisi yang menyebarkan fitnah.

But life is as unpredictable drama as ever, that we just have to accept it.

Bahwa sesuatu yang kita anggap benar, mungkin saja suatu saat akan kita ketahui sebaliknya. Sesuatu yang tadinya terkesan remeh dan bukan menjadi masalah, bisa saja berubah karena keesokan hari muncul fakta baru tentangnya. Dan kita tidak perlu seperti Hiro Nakamura, pergi kembali ke masa lalu hanya untuk menyelamatkan apa yang menurut kita benar dan meluruskan apa yang salah. Meminjam kata-kata Dee, Apapun persepsi kita atas cinta, tak ada salahnya bersiap untuk senantiasa berubah. Jika hidup ini cair maka wadah hanyalah cara kita untuk memahami yang tak terpahami. Jadi ini adalah ujian apakah saya siap menghadapi perubahan itu..

Sukar memang menetapkan neraca dari segala pertimbangan kita: apakah ini urusan salah dan benar, atau sebetulnya cocok dan tak cocok? Jika urusannya yang pertama, selamanya kita terjebak dalam debat kusir karena setiap orang akan merasa yang paling benar. Jika urusannya yang kedua, masalah akan lebih cepat selesai. Kecocokan saya bukan berarti kecocokan Anda, dan sebaliknya. Dan seperti yang kita amati dan alami, lebih sering kita memilih yang pertama agar berputar dalam seri-seri drama yang tak kunjung selesai.

Jadi sekali lagi, terlepas dari segala persepsi saya tentang fatwa prewed, adalah lebih penting dalam benak saya sekarang ini untuk memikirkan bagaimana caranya saya bisa sampe kesana (red.: siap kawin sama dia). Itu dulu, sembari selalu berdoa ihdinasshiraatal mustaqim, sebelum saya memikirkan apa yang perlu dilakukan ketika sudah ada disana, yang semoga juga akan saya dasarkan pada kebenaran yang saya percayai. Toh kalo saya dan dia pada akhirnya memilih untuk melakukan akad nikah terlebih dahulu, lantas baru berfoto untuk dipajang di acara resepsi yang diselenggarakan selanjutnya, maka tidak haram bukan fotonya? Eh tapi secara bahasa itu bukan lagi pre-wedding ya..?? :D

Kebenaran hanya milik DIA, dan kesalahan adalah semata dalam diri saya…

Jazakallaah Khairan Katsira..


[ logo halal sekedar gambar dalam konteks ini, bukan untuk menjustifikasi apakah note saya ini halal atau haram ]

Tuesday, January 5, 2010

Taman Catur

Pemanasan global yang masih saja sulit disepakati penanganannya dalam Konferensi Iklim Dunia beberapa minggu lalu memang tampak semakin nyata membuat cuaca tak karuan di seluruh belahan dunia, termasuk juga di kota kami. Entah harus bukti perubahan iklim apa lagi yang bisa menggerakkan setiap pemimpin negara, terutama mereka yang jadi juara tukang buang emisi karbon untuk lebih peduli daripada sekedar mempermasalahkan pemulihan krisis pasca kekacauan kredit dari sistem ekonomi yang mereka bangga-banggakan itu.

Siang itu suhu udara di kota turun drastis, bulir-bulir salju turun perlahan dari langit, dan daun-daun pepohonan di taman catur yang biasanya segar menghijau itu, kini tampak kusam, beku. Tak pernah kami merasakan musim sedingin ini sebelumnya. Maka beberapa orang pun mulai beranjak pergi, mengemasi barang-barangnya dan menyudahi aktivitas mereka. Tapi tidak dengan apa yang terjadi meja tengah taman itu.

Disana, seorang pria tua duduk di bangku taman dalam balutan jaket wool tebal berwarna gelap. Wajahnya berkerut, beberapa kali dibetulkannya letak kacamata yang dipakainya. Nyata sekali konsentrasinya terpusat pada sebuah papan catur dan bidak-bidak yang tergelar di hadapannya. Sang lawan yang lebih muda darinya, duduk penuh percaya diri di bangku seberang, menanti langkah apa yang akan dilakukan si pria tua.

Sementara aku dan belasan penonton yang berdiri mengitari meja itu pun terlihat antusias menanti siapa yang akan memenangkan “duel” siang itu. Apakah itu sang pria tua yang kami kenal sebagai veteran perang berpangkat jenderal dengan deretan tanda jasa yang memenuhi dadanya? atau justru si pria muda, seorang insinyur yang tengah berada di puncak usia produktifnya dengan beberapa proyek ambisius kota dalam genggamannya.

Sudah dua jam, korban pun telah berjatuhan, tapi duel siang itu tampak baru “setengah” jalan. Sang pria tua punya keunggulan jumlah menteri dan kuda, tapi kehilangan ratunya. Sementara sang insinyur, masih menyimpan ratunya selain memiliki keunggulan jumlah benteng dan prajurit yang tersebar cukup strategis. Bidak-bidak si pria tua itu menguasai berbagai sisi serangan, tapi pertahanan Sisilia yang dimodifikasi oleh sang insinyur sungguh sulit ditembus dan memberikannya keyakinan besar akan hadirnya kemenangan di penghujung siang. Sebuah pertarungan yang alot antara pengalaman melawan gairah. Dan itu selalu menarik bagi kami, sama menariknya seperti halnya pertarungan antar penegak hukum di negeri kami yang menjanjikan intrik dan kejutan sepanjang hari, mengalahkan trik beragam reality show di televisi.

Saking alotnya, beberapa orang penonton bahkan mulai berpikir, sepertinya akan “remis”. Sebuah pemikiran yang logis jika melihat lamanya mereka bertanding. Tapi remis bukan pilihan bagi kedua petarung berkarakter pemenang itu.
Si pria tua sudah terkenal reputasinya, sementara kami pun sudah mendengar tentang keahlian catur insinyur berumur empat puluhan itu meski ia masih tergolong anggota baru dalam komunitas penikmat taman catur. Begitu kami menyebut orang-orang yang menghabiskan waktunya untuk sekedar bersantai, memancing, bercengkerama dengan keluarga, atau bertarung mempertaruhkan harga diri diatas puluhan meja catur yang tertata rapi di tengah taman ini. Satu dari dua taman terindah yang dibuat pemerintah kota ini.

Pria tua itu, dengan segudang pengalamannya tahu bahwa bidak-bidak miliknya yang tersisa sebenarnya lebih dari cukup untuk memenangkan pertandingan. Sudah berkali-kali ia membuat lawannya takluk walau sebenarnya ia berada dalam situasi terdesak atau kalah jumlah bidak. Bahkan nama besarnya sebagai ahli strategi ulung diantara sesama penikmat ruang terbuka kota itu pun terbangun gara-gara kemampuannya membalikkan situasi.

Aku ingat, dua puluh tahun yang lalu, kemenangan pertamanya diraih hanya dengan sebuah menteri dan seekor kuda, walau memang harus diakui lawannya kala itu hanya seorang pria paruh baya yang lebih menggemari pacuan kuda dibanding bermain catur. Setelah itu berkali-kali ia taklukkan lawannya, entah darimana saja mereka datang, tukang becak, eksekutif muda, sesama kakek, dan bahkan seorang mantan atlit catur terkenal sekalipun ia libas tanpa ampun. Adalah ambisi dan kemampuannya berevolusi menghadapi berbagai tipe lawan yang membuatnya bertahan dan dihormati di taman catur itu hingga kini, sementara teman-teman seusianya mulai meninggalkan papan catur dan memilih memancing atau sekedar bersantai di taman.

Tapi usia sama halnya rasa, tak pernah bisa bohong. Penampilannya segarnya mungkin bisa “mengkhianati usia” yang sudah di akhir enampuluhan, tapi bertambahnya umur tak hanya menumbuhkan keriput, karena umur juga menggerogoti kendali emosi psikologis. Bahkan kulihat sudah tiga kali dia memaki siang itu, menyalahkan orang-orang yang dinilainya terlalu berisik kala menonton, mengganggu konsentrasi hingga akhirnya ia menggerakan bidak yang salah, membuatnya kehilangan ratu dan seekor kudanya. Ia sendiri sadar bahwa ia telah menjadi semakin sensitif akhir-akhir ini. Dan bagi seorang petarung meja catur, itu adalah problem yang jauh lebih serius ketimbang kehilangan ratu atau satu set benteng sekalipun, terlebih dengan beban permasalahan ekonomi yang sedang membelit keluarganya. Sesuatu yang kukhawatirkan akan menjadi celah bagi seorang lawannya yang memahami itu, suatu hari.

Dan sepertinya hari ini sang lawan mulai mencium aroma kegalauan pria tua itu, idolaku, sang legenda taman catur….