Wednesday, February 24, 2010

LIKE THIS??

Suatu pagi di hari senin, saya meraih HP yang tergeletak di samping tempat tidur. Setelah membalas dua pesan yang masuk setelah subuh, saya berselancar sejenak, ngecek imel dan akun fesbuk tentunya sebelum menggosok gigi dan membersihkan tempat tidur... hehhee… Dan wow, ternyata dunia (maya sihh :D) berubah cepat juga. 54 status baru dalam sehari minggu kemarin, hari yang masuk kategori “mendekati haram fesbukan” bagi saya yang walaupun yes, you might say I’m a bit addicted wit it, but I do have my filter, my own real life though….

Beberapa dari 54 status itu lucu juga dan mendorong saya buat komen, seperti status temen saya yang bilang “Wanita cantik boleh menolak, tapi Tuhan yang menjodohkan!!” atau “Pesan kakak pada adiknya: dek, laki-laki, apalagi yang seumuran kamu itu dimana-mana kalo pacaran ya mendefinisikan cinta cuma lewat bibir dan dada” ..Hag3x.… But eniway, yang menarik lagi buat saya pagi itu ya sebuah fenomena.. Sekitar 20an dari status baru itu dikasi jempol sendiri oleh si pemilik. Okelah, kadang saya mengerti kalo mereka memajang quotes dari orang lain sehingga mereka (katakanlah) menyukai apa yang mereka pahami dari kata-kata bijak itu, tapi jadi lucu ketika status yang mereka jempolin sendiri itu sebenarnya banyak yang bernada susah dan atau misuh. Do they really like their misery?? Or is it as simple as ??...

Jadilah saya penasaran.........

“Kenapa banyak orang pada ngasi jempol, like this, ke statusnya sendiri???”…


Tuesday, February 16, 2010

RENDEZVOUS

Kemarin siang, saya “dikejutkan” dengan sebuah film keluarga yang menyenangkan dan sedikit membuat saya heran, “why on earth I’ve never watch this movie before?”. Dan seperti kebanyakan film keluarga yang layak tonton (menurut saya), maka Little Manhattan yang bercerita tentang dua anak belasan tahun yang mengalami pengalaman pertama dihadapkan pada situasi “pergathelan” (red: cinta) pada lawan jenis ini pun menghadirkan banyak momen yang lucu dan pantas diingat. Salah satunya adalah rangkaian kata dari Gabe, sang bocah laki-laki dalam film ini yang bertutur...
“….Love is an ugly, terrible business practiced by fools. It’ll trample your heart and leave you bleeding on the floor. And what does it really get you in the end? Nothing but a few incredible memories that you can’t ever shake. The truth is, there’s gonna be other girls out there. I mean, I hope. But I’m never gonna get another first love. That one is always gonna be her…”
Ya, setiap orang pasti mengenal cinta pertama, namun tidak semua orang -termasuk saya-, beruntung mengalami cinta pertama yang bisa membuat mereka tak perlu mencari cinta lain dalam hidupnya. Saya masih ingat ketika guru TK saya, sambil menahan air mata, berpamitan pada keluarga kami sebelum pindah ke kota lain, mengikuti calon suaminya. Saat itu saya merengek pada ibu saya untuk menyusul pindah, mengikuti kemana guru muda itu pergi. Bahkan kata ibu, saya sempat bertanya kenapa bu guru harus menikah. Permintaan yang waktu itu membuat keluarga kami tertawa habis-habisan membaca gelagat kecemburuan itu. Cinta (panda) pertama?? Entahlah, waktu itu saya jelas terlalu kecil untuk mengerti tentang cinta, tapi yang jelas bu upih, guru TK-ku itu adalah sosok wanita pertama diluar keluargaku yang bisa membuat saya nyaman. Ibu saya sempat bilang, “kelembutannya dan kebiasaannya menjemput dan mengantarkan saya setiap hari sekolah itulah yang mendorong timbulnya “cinta pertama” itu dan sepertinya tipe seperti itulah yang akan terus kau cari dalam hidupmu”. Perkara bagaimana selanjutnya perjalanan hidup membawa saya justru lebih dekat pada jenis keindahan yang “cenderung galak” sepertinya masih menjadi misteri hehhee…

Di panggung sepakbola, Maldini dan Milan atau Giggs dan United adalah dua dari sedikit “pasangan” yang termasuk beruntung mendapatkan kesempatan terus bersama dengan cinta pertama mereka. Sementara cinta pertama tidak seindah itu bagi Beckham. Cinta Pertama?? Well, Jauh sebelum mengenal Victoria Adams (probably his true love), Beckham muda telah lebih dulu jatuh cinta pada Manchester United. Tumbuh bersama rekan-rekan seangkatan generasi emas tahun 1992, secara perlahan stadion, fans, pelatih, manajer, rekan setim setiap dan bagian lain dari klub besar tersebut mengambil tempat di hatinya. Tapi sebagaimana hukum alam, tak pernah ada kebersamaan yang abadi. Popularitas dan cintanya pada Victoria perlahan membawa konsekuensi terhadap “cinta pertama”-nya, setidaknya begitulah pemikiran sang manajer yang meyakini penurunan performa pemain paling terkenal sejagat itu bersumber dari gaya hidupnya diluar lapangan. Friksi-friksi kecil dalam hubungan cinta antara seorang figur ayah dan anak itu pun terus terjadi. Sampai akhirnya sebuah sepatu yang melayang deras ke dahi sang anak menjadi kulminasi dari perbedaan-perbedaan yang tak lagi menyatukan mereka dan Beckham pun harus mengubur impiannya untuk mengakhiri karir dalam seragam merah kota Manchester yang dicintainya sampai sekarang. Beckham lantas merapat ke Madrid sementara Manchester United “pergi” ke Lisbon untuk mencari sosok bernomor tujuh yang baru. Tapi cinta pertama memang selalu tertinggal dalam memori, dan sudah berulang kali beckham menyatakan kerinduannya pada Manchester United.

Adalah memang wajar untuk membayangkan bisa bertemu kembali dengan sesuatu yang pernah kita cintai dahulu. Saya pun telah lama mendambakan sebuah pertemuan sejak perpisahan pada tahun 1986 itu, namun rupanya hingga sekarang belum ada tanda-tanda kapan saya bisa menjabat kembali tangan Bu Upih. Jadi apa yang didapatkan David Beckham, sebuah perjumpaan dengan “cinta pertamanya” dalam sebuah pertandingan sarat gengsi adalah sebuah kesempatan yang indah dan pastinya takkan dilewatkannya begitu saja. Dan walaupun aktor utama di panggung laga Milan versus Manchester United boleh jadi sudah menjadi milik Rooney dan Pato sementara Beckham mungkin hanya semata memainkan supporting role dalam taktik permainan. Tapi sejarah selalu mencatat, bahwa permainan ini menjadi besar dan indah bukan hanya karena peragaan skill semata, tapi juga takdir emosional yang tak terduga. Dan malam nanti, apapun hasilnya, adalah Beckham yang mungkin paling bahagia setelah tujuh tahun penantian akan sebuah perjumpaan dengan “cinta pertama”.....

Enjoy your nite Becks, i believe you'll be not too downhearted if Manchester United, as expected, turns out to be the WINNER...!!!

Tuesday, February 9, 2010

ARUS

Dulu. Di sebuah acara tanpa rencana, sebuah uluran tangan dan mimik muka bersahabat menjadi pengantar perkenalan mereka. Pria itu, tersenyum geli ketika wanita muda itu menyebutkan namanya. Mirip orang luar negeri kedengarannya, sedikit kontras dengan mata dan lekuk wajah yang lebih mirip dengan orang sunda pikirnya, sebelum akhirnya pria itu tahu sang wanita tidak punya hubungan apapun dengan keduanya.

Kesempatan memang mempertemukan tapi pilihanlah yang akan mengikatkan. Dan keduanya, entah siapa yang memulai, rupanya memutuskan untuk mengikatkan diri pada pilihan yang sama dan tak lagi sekedar merekam wajah masing-masing sebagai pengenal.

Satu demi satu, dalam sederet kesempatan, mereka mulai bertutur tentang perjalanan hidup. Pria itu, teman baikku, kadang berpikir bahwa dia wanita yang aneh. Dari warna dan lirik lagu favorit, juga tidurnya yang tak boleh diganggu cahaya, sampai pembicaraan menguras otak tentang norma kejujuran, manner, atau cita-cita yang kadang terlihat begitu utopis dalam dunia yang semakin materialis. Belum lagi jika sudah menyeret-nyeret persoalan komitmen dua manusia dan tetek bengek hubungan yang logis (menurutnya), bisa panjang urusannya. Sangat berbeda dengan sahabatku yang begitu ringan memandang cinta dan takdir sebagai sesuatu yang mudah dan memudahkan. Mereka banyak menemukan kesamaan tapi juga menemukan lebih banyak perbedaan.

Kemudian teman baikku berkata, "Tapi dalam berbagai warna itu, kami memang banyak tertawa bersama." Terkadang membungkusnya dengan sekotak perhatian sederhana seperti "take care", "buruan tidur kalo capek", "dasar jelek weekk...", or "have a good nite". Kata-kata mudah yang menurut sang wanita sangat menenangkan saat keluar dari bibir mereka yang tak terbiasa melakukannya. Jauh lebih romantis dibandingkan sekotak cokelat atau sederet kata-kata puitis yang melemahkan.

Lantas datang saat dimana mereka merasakan menyebalkannya kebersamaan dan pahitnya ketika melakukan kesalahan. Ketika semakin lama wanita muda itu makin paham dengan keburukan sang pria. Teman baikku itu memang terkadang tampak sebagai sosok yang begitu dingin, acuh pada perasaan yang menurutnya berlebihan, walaupun aku tahu di benaknya dia selalu berusaha keras memikirkan jalan keluar. Ekspresi adalah sesuatu yang premium baginya.

Sementara sahabatku bercerita bahwa akhirnya dia mengerti rahasia-rahasia kecil dibalik sosok yang sesaat dipikirnya hampir sempurna. Ada ruang kosong yang tersembunyi dibalik ketegaran wajah itu, luka yang masih terseret hingga kini. Penantian akan genggaman dari sosok yang tak lagi ada. Begitu dalam hingga suatu saat wanita itu mendaratkan tamparan hebat di wajah sahabatku yang dengan bodoh berusaha menyelesaikannya dengan logika. Lalu butuh waktu tak kurang dari seminggu untuk mereka sekedar bicara lagi setelah kejadian itu.

Wanita itu pergi kemarin. Satu hari sebelum sahabatku menceritakan semua kisah ini di sebuah warung kopi. Kulirik wajah dihadapanku yang kali ini tak bisa menyembunyikan kehilangan itu. Aku tak bisa berbuat banyak, hanya mendengar sambil menemaninya menghabiskan coklat almond hangat dan berbatang rokok mild yang tergeletak diatas meja. Tak ada yang perlu dibahas waktu itu, karena setiap kehilangan hanya bisa dinikmati sebelum kita memutuskan menjawabnya dengan pencarian, bukan diskusi panjang lebar. Hanya dia yang bisa menyembuhkan kekosongan.

Sekarang, ketika bagian-bagian cerita mulai tersusun rapi dalam buku kecil, kadang aku berpikir, mungkin bagian terakhir itu, pertengkaran dan perbedaan telah "menyempurnakan" apapun yang terjadi diantara mereka berdua. Dan persinggungan mereka dengan kekurangan masing-masing itulah yang justru membuat kehilangan itu terasa begitu panjang. Seperti secangkir coklat hangat yang kehilangan pahitnya, atau arus yang merindukan riak.

Dan cerita pencarian kembali itu pun dimulai... ^^

No matter how much time i've left, i must be blessed to have you in this life

Tuesday, February 2, 2010

Memaknai Sampah Kota

Farhan sedang duduk di depan tembok yang berhadapan langsung dengan Galeria Mal. Awalnya ia hanya duduk saja, membedakan situasi di sekitarnya pada siang hari dan malam hari. Ternyata ada perbedaan realitas di kawasan tersebut pada siang dan malam hari. Di siang hari, kawasan itu adalah arena orang lalu-lalang, warung makanan dan rokok serta tempat nongkrong para pengamen yang mencari rejeki di lampu merah. Sementara di malam hari, kawasan ini berubah total dengan orang-orang yang menyandarkan nasibnya pada dunia totohan/tombokan (taruhan). Lalu di malam hari, ia menjumpai orang-orang yang kalah taruhan dengan segala keluh kesanya di warung-warung makan bertenda. Komunitas malam hari adalah para tukang parkir, tukang becak, dan para petaruh. Hal ini sangat kontras ketika persis di depannya berdiri sebuah gedung mal yang begitu megah dan mewah. Ternyata hanya dibutuhkan jarak 50 meter untuk melihat sebuah kesenjangan sosial dan ekonomi. Dari obrolan dengan orang-orang yang memang mencari penghidupan di sekitar tembok tersebut, akhirnya Farhan, si seniman itu mulai membuat konsep muralnya. Ia mengambil tema membeli mimpi?. Artinya di atas meja perjudian itulah sebuah mimpi sedang dipertaruhkan. Kalau kini kalah, maka harapan akan kemenangan masih bisa diraihnya di hari esok. Lalu Ia gambarkan kartu-kartu ceki dan tulisan-tulisan berbahasa Jawa, “Urip Waton Nggelinding” (Red. Hidup itu mengalir berputar saja).

Demikianlah sepotong cerita tentang mural, yang menarik perhatian saya lagi ketika kapan hari itu sebuah acara talkshow di televisi swasta mengangkat kembali cerita tentang perkembangannya, dengan setting di Yogyakarta, salah satu kota barometer seni dan industry kreatif di Indonesia. Diceritakan bahwa mural yang muncul karena terbatasnya ruang seni telah menjadi interaksi antara pelaku seni dan masyarakat. Digambarkan dalam talkshow tersebut ketika sekelompok anak-anak bersama dengan seorang seniman beramai-ramai menumpahkan cat beragam warna ke sebuah tembok di tepi jalan. Layaknya kanvas, tembok yang oleh Marco Kusumawijaya dituturkan sebagai “sampah” kota itu pun berubah dari sebuah benda polos berwarna abu-abu menjadi penuh warna.

Tapi mural bukan sekadar membentuk tembok-tembok yang tadinya terkesan membatasi menjadi ruang-ruang publik baru di perkotaan, sesuatu yang semakin sulit ditemukan dengan begitu banyaknya demand lahan untuk aktivitas keekonomian. Pesan sosial yang disampaikan dalam mural pun bisa mencapai salah satu tujuan ruang publik sebagaimana dikatakan Habermas, yakni untuk membentuk opini dan kehendak (opinion and will formation) yang mengandung kemungkinan generalisasi, mewakili kepentingan umum.

Singkatnya, mural memberikan makna pada tembok-tembok itu, sebuah lompatan nilai dari sesuatu yang awalnya tak berarti apapun selain “sampah” ruang menjadi sesuatu yang memiliki kehadirannya sendiri. Membuat kondisi urbanitas dapat disalurkan menjadi sebuah kepadatan yang tidak menyesakkan, kedekatan yang tidak mengimpit, kemudahan yang tidak memanjakan dan perhitungan akal yang makin memuliakan rasa.

Lalu muncullah pertanyaan dalam benak saya, jika benar bahwa seni bisa membuat kota menjadi bahagia, maka bisakah konsep seni ruang public seperti ini direplikasi dan bertahan di kota yang tanpa akar seni budaya sekuat Jogja?

Toh adalah Athena yang melahirkan Perikles, Socrates, Plato dan bukan sebaliknya. Mereka lahir karena ruang tempat mereka hidup memberikan kesempatan untuk itu. Maka demikian pula keyakinan saya bahwa apa yang dibutuhkan seni ruang publik, adalah sebuah wadah untuk tumbuh dan bukan semata bakat. Karena bakat tanpa motivasi, leadership, perencanaan dan eksekusi yang “nggenah” pun akan berakhir tanpa prestasi. Layaknya timnas sepakbola kita yang kalah melulu karena salah urus itu.

Atau jangan-jangan bukan masalah bakat, tapi potensi kritik yang bisa muncul lewat seni itulah yang akan menjadi halangan besar (bagi pihak yang anti kena sindir) terhadap keinginan sederhana untuk mengubah beberapa “sampah” kota menjadi lebih bermakna dalam bentuk seni ruang publik di kota kita?