Demikianlah sepotong cerita tentang mural, yang menarik perhatian saya lagi ketika kapan hari itu sebuah acara talkshow di televisi swasta mengangkat kembali cerita tentang perkembangannya, dengan setting di Yogyakarta, salah satu kota barometer seni dan industry kreatif di Indonesia. Diceritakan bahwa mural yang muncul karena terbatasnya ruang seni telah menjadi interaksi antara pelaku seni dan masyarakat. Digambarkan dalam talkshow tersebut ketika sekelompok anak-anak bersama dengan seorang seniman beramai-ramai menumpahkan cat beragam warna ke sebuah tembok di tepi jalan. Layaknya kanvas, tembok yang oleh Marco Kusumawijaya dituturkan sebagai “sampah” kota itu pun berubah dari sebuah benda polos berwarna abu-abu menjadi penuh warna.
Tapi mural bukan sekadar membentuk tembok-tembok yang tadinya terkesan membatasi menjadi ruang-ruang publik baru di perkotaan, sesuatu yang semakin sulit ditemukan dengan begitu banyaknya demand lahan untuk aktivitas keekonomian. Pesan sosial yang disampaikan dalam mural pun bisa mencapai salah satu tujuan ruang publik sebagaimana dikatakan Habermas, yakni untuk membentuk opini dan kehendak (opinion and will formation) yang mengandung kemungkinan generalisasi, mewakili kepentingan umum.
Singkatnya, mural memberikan makna pada tembok-tembok itu, sebuah lompatan nilai dari sesuatu yang awalnya tak berarti apapun selain “sampah” ruang menjadi sesuatu yang memiliki kehadirannya sendiri. Membuat kondisi urbanitas dapat disalurkan menjadi sebuah kepadatan yang tidak menyesakkan, kedekatan yang tidak mengimpit, kemudahan yang tidak memanjakan dan perhitungan akal yang makin memuliakan rasa.
Lalu muncullah pertanyaan dalam benak saya, jika benar bahwa seni bisa membuat kota menjadi bahagia, maka bisakah konsep seni ruang public seperti ini direplikasi dan bertahan di kota yang tanpa akar seni budaya sekuat Jogja?
Toh adalah Athena yang melahirkan Perikles, Socrates, Plato dan bukan sebaliknya. Mereka lahir karena ruang tempat mereka hidup memberikan kesempatan untuk itu. Maka demikian pula keyakinan saya bahwa apa yang dibutuhkan seni ruang publik, adalah sebuah wadah untuk tumbuh dan bukan semata bakat. Karena bakat tanpa motivasi, leadership, perencanaan dan eksekusi yang “nggenah” pun akan berakhir tanpa prestasi. Layaknya timnas sepakbola kita yang kalah melulu karena salah urus itu.
Atau jangan-jangan bukan masalah bakat, tapi potensi kritik yang bisa muncul lewat seni itulah yang akan menjadi halangan besar (bagi pihak yang anti kena sindir) terhadap keinginan sederhana untuk mengubah beberapa “sampah” kota menjadi lebih bermakna dalam bentuk seni ruang publik di kota kita?
No comments:
Post a Comment