Tuesday, February 9, 2010

ARUS

Dulu. Di sebuah acara tanpa rencana, sebuah uluran tangan dan mimik muka bersahabat menjadi pengantar perkenalan mereka. Pria itu, tersenyum geli ketika wanita muda itu menyebutkan namanya. Mirip orang luar negeri kedengarannya, sedikit kontras dengan mata dan lekuk wajah yang lebih mirip dengan orang sunda pikirnya, sebelum akhirnya pria itu tahu sang wanita tidak punya hubungan apapun dengan keduanya.

Kesempatan memang mempertemukan tapi pilihanlah yang akan mengikatkan. Dan keduanya, entah siapa yang memulai, rupanya memutuskan untuk mengikatkan diri pada pilihan yang sama dan tak lagi sekedar merekam wajah masing-masing sebagai pengenal.

Satu demi satu, dalam sederet kesempatan, mereka mulai bertutur tentang perjalanan hidup. Pria itu, teman baikku, kadang berpikir bahwa dia wanita yang aneh. Dari warna dan lirik lagu favorit, juga tidurnya yang tak boleh diganggu cahaya, sampai pembicaraan menguras otak tentang norma kejujuran, manner, atau cita-cita yang kadang terlihat begitu utopis dalam dunia yang semakin materialis. Belum lagi jika sudah menyeret-nyeret persoalan komitmen dua manusia dan tetek bengek hubungan yang logis (menurutnya), bisa panjang urusannya. Sangat berbeda dengan sahabatku yang begitu ringan memandang cinta dan takdir sebagai sesuatu yang mudah dan memudahkan. Mereka banyak menemukan kesamaan tapi juga menemukan lebih banyak perbedaan.

Kemudian teman baikku berkata, "Tapi dalam berbagai warna itu, kami memang banyak tertawa bersama." Terkadang membungkusnya dengan sekotak perhatian sederhana seperti "take care", "buruan tidur kalo capek", "dasar jelek weekk...", or "have a good nite". Kata-kata mudah yang menurut sang wanita sangat menenangkan saat keluar dari bibir mereka yang tak terbiasa melakukannya. Jauh lebih romantis dibandingkan sekotak cokelat atau sederet kata-kata puitis yang melemahkan.

Lantas datang saat dimana mereka merasakan menyebalkannya kebersamaan dan pahitnya ketika melakukan kesalahan. Ketika semakin lama wanita muda itu makin paham dengan keburukan sang pria. Teman baikku itu memang terkadang tampak sebagai sosok yang begitu dingin, acuh pada perasaan yang menurutnya berlebihan, walaupun aku tahu di benaknya dia selalu berusaha keras memikirkan jalan keluar. Ekspresi adalah sesuatu yang premium baginya.

Sementara sahabatku bercerita bahwa akhirnya dia mengerti rahasia-rahasia kecil dibalik sosok yang sesaat dipikirnya hampir sempurna. Ada ruang kosong yang tersembunyi dibalik ketegaran wajah itu, luka yang masih terseret hingga kini. Penantian akan genggaman dari sosok yang tak lagi ada. Begitu dalam hingga suatu saat wanita itu mendaratkan tamparan hebat di wajah sahabatku yang dengan bodoh berusaha menyelesaikannya dengan logika. Lalu butuh waktu tak kurang dari seminggu untuk mereka sekedar bicara lagi setelah kejadian itu.

Wanita itu pergi kemarin. Satu hari sebelum sahabatku menceritakan semua kisah ini di sebuah warung kopi. Kulirik wajah dihadapanku yang kali ini tak bisa menyembunyikan kehilangan itu. Aku tak bisa berbuat banyak, hanya mendengar sambil menemaninya menghabiskan coklat almond hangat dan berbatang rokok mild yang tergeletak diatas meja. Tak ada yang perlu dibahas waktu itu, karena setiap kehilangan hanya bisa dinikmati sebelum kita memutuskan menjawabnya dengan pencarian, bukan diskusi panjang lebar. Hanya dia yang bisa menyembuhkan kekosongan.

Sekarang, ketika bagian-bagian cerita mulai tersusun rapi dalam buku kecil, kadang aku berpikir, mungkin bagian terakhir itu, pertengkaran dan perbedaan telah "menyempurnakan" apapun yang terjadi diantara mereka berdua. Dan persinggungan mereka dengan kekurangan masing-masing itulah yang justru membuat kehilangan itu terasa begitu panjang. Seperti secangkir coklat hangat yang kehilangan pahitnya, atau arus yang merindukan riak.

Dan cerita pencarian kembali itu pun dimulai... ^^

No matter how much time i've left, i must be blessed to have you in this life

No comments:

Post a Comment