Thursday, June 30, 2011

Sanctum

Pada kisaran tahun delapan puluhan, konsep bioskop multi layar belum banyak berkembang, dan The President adalah sebuah bioskop terbesar di Purwokerto. Halamannya luas, terdiri dari beberapa pulau taman dan sebuah jalur paving ditengahnya yang mengarah langsung menuju lobi gedung.

Gedungnya bercat putih-hitam dan dari luar terlihat banyak didominasi kaca hitam besar. Di bagian kanan kiri gedung, temboknya tidaklah tertutup rapat, melainkan memakai desain pilar-pilar beton yang berjajar rapat. Rasanya pilar-pilar tersebut memang dimaksudkan dalam memperlancar sirkulasi udara bagi para pengunjung. Tapi beberapa anak menemukan 'manfaat' lainnya. Dan saya adalah salah satunya...



President Theatre, Dulu....

Hari itu, ayah masih ada di antrian panjang penonton Saur Sepuh ketika saya berkejaran dengan beberapa teman masa kecil yang juga diajak menonton bersama oleh ayah ibu mereka yang bertetangga dengan kami. Lalu saya melihat pilar-pilar itu sebagai sebuah jalan pintas menuju halaman, lepas dari kejaran. Maka masuklah saya di sela-sela pilar tersebut tanpa berpikir panjang. Baru setelah berada di tengah-tengah pilar itu saya sadar, saya terjebak!!

Maka acara nonton itu pun berubah menjadi sedikit kepanikan. Saya setelah beberapa waktu mencoba dan gagal keluar mulai menangis. Pun ibu yang begitu khawatir bahwa jalan satu-satunya mungkin dengan membongkar sebagian pilar gedung itu. Sesuatu yang tentunya akan berimbas pada biaya tinggi bagi keluarga kami yang tidak kaya harta. Beruntung ayah dan beberapa tetangga tetap tenang mencari jalan keluar. Dan setelah mencoba menata sejumlah posisi tubuh anaknya, akhirnya ia berhasil mendorong saya keluar.

Pengalaman terjepit itu rasanya tidak lama, hanya sekitar lima belas menitan, dan saya tidak tahu seberapa banyak pengaruhnya. Yang jelas saya menghadapi masalah dengan ruangan sempit setelahnya, seperti ketika kemarin seorang teman meminta saya mengantarnya pulang melewati sebuah gang seukuran lebar motor.

Toh tidak dalam kesengajaan mengurangi Claustrophobia jika akhir-akhir ini saya banyak menonton film petualangan yang banyak menyuguhkan ketegangan di ruangan sempit seperti 127 Hours, Buried, dan terakhir Sanctum.

Dipasarkan dengan embel-embel James Cameron sebagai executive produser, jelas bahwa ekspektasi pasar terhadap jalan cerita Sanctum tersebut akan tinggi sebagaimana karyanya di Piranha Part II: The Spawning, The Abyss, Titanic dan Avatar.

Tapi berbeda dengan Titanic yang memanggungkan salah satu adegan cinta paling dikenang banyak orang - tidak termasuk saya - atau Avatar yang membawa pesan berat tentang manusia dan lingkungan, Sanctum mencoba menawarkan cerita tentang tensi yang terbangkitkan dalam sesuatu yang seharusnya membawa efek "suci" bagi penikmatnya.

Diluar tempat ibadah sebagai sebuah hal yang pasti, biasanya masing-masing orang memiliki tempat yang "disucikan" untuk menemukan ketenangan atau sekedar berdiam diri menikmati sekeliling. Ada teman saya bilang ia selalu merasa damai ketika berhasil mencapai puncak gunung yang didakinya. Mantan calon istri saya menyukai bau pasir dan bunyi ombak di pantai. Exist bisa jadi memang menemukan suci dalam debu. Sementara saya seringkali menikmati kesendirian di dalam toilet...

Bagi Frank, salah satu tokoh utama Sanctum, tempat suci itu adalah Gua. Begitu "suci" nya sehingga ia akhirnya tak mampu menjadi suami dan ayah yang baik. Hingga akhirnya tibalah sebuah kesempatan memperbaiki hubungan dengan anaknya, Josh. Kesempatan yang hadir ketika Carl, seorang miliuner ambisius memintanya menguak rahasia dibalik Esa'ala, sebuah gua di Papua Nugini yang dalam dialog pengantar diberi tag "mother of all cave". Lucunya, gambar gua yang dipakai di film ini bukanlah Esa'ala, tapi Sótano de las Golondrinas. Sebuah gua di San Luis, Mexico dengan lebar 160-205 kaki dan kedalam 1220 kaki dari permukaan tanah.


Gua yang dijadikan pembuka cerita

Dan yang menarik lagi, Sótano de las Golondrinas hanyalah ada di peringkat 11 soal kedalamannya. Adalah Gua Han Son Doong di Vietnam yang terdalam di dunia, pernah dieksplorasi oleh tim peneliti gua dari Inggris hingga kedalaman 4,5 kilometer sebelum akhirnya tim tersebut harus berhenti karena terhadang banjir di sungai bawah tanah.


Han Son Doong, The Real "Mother Of All Caves"

Kembali ke alur cerita. Setelah penelitian berbulan-bulan, tibalah saat eksplorasi yang dinanti itu. Segalanya berjalan lancar hingga akhirnya sebuah badai siklon terjadi dan Esa'ala pun dibanjiri air dengan tim pimpinan Frank terjebak didalamnya. Lalu dimulailah pertunjukkan tentang batas tegangan kemanusiaan ketika sejumlah manusia diuji pada situasi ekstrem didalam gua.


Ekspedisi Yang 'Menginspirasi' Sanctum

Selanjutnya adalah tentang bagaimana Frank, sang pemimpin ekspedisi yang berpengalaman namun sering ditentang oleh lainnya, termasuk sang anak, Josh yang nampaknya tidak pernah merasakan kehadiran Frank sebagai ayah yang baik. Egoisme dan kerjasama terus berbenturan setiap kali orang-orang yang terjebak itu dihadapkan pada pengambilan keputusan.

Sayang, pengenalan tentang karakter-karakter yang terlibat didalamnya terlalu minim. Lalu muncul pula pertanyaan akan tujuan dari film ini selain suguhan pemandangan manusia yang terjepit diantara batu dan air.

Terlebih jika anda telah menyaksikan 127 Hours. James Franco sungguh berhasil menghadirkan horor yang indah dan mampu berkembang seiring alur ketimbang Sanctum yang ketegangannya lama-lama terlihat seperti repetisi yang sulit ter-eskalasi dengan konflik ayah-anak yang kekurangan sejarah. Seperti masih ada yang mengganjal jika memang Sanctum ingin memenuhi makna yang saya tangkap dalam judul itu, Suci dalam Batu.

Toh sekali lagi positifnya, Sanctum cukup menghibur -jika tidak sesekali mencekam-. Dan tidak salah jika anda yang mengalami Claustrophobia seperti saya menikmati film ini sebagai sebuah terapi ringan... :D

****


Frank dan Josh, Dua Orang Yang Saling Mencari


gambar diambil dari:
banjoemas.co.cc, squidoo.com dan imdb

No comments:

Post a Comment