Sunday, June 12, 2011

Chitra, Ibu, dan Keluarga

Waktu SD dulu, Ibu saya selalu menyiapkan teh (kurang) manis di pagi hari, lalu memasukkan bekal dalam boks plastik warna biru ke dalam tas sekolah. Sepulang sekolah, ia selalu memaksa saya tidur siang dan melarang saya bermain dengan anak-anak lain sebelum sore. Baru setelah shalat asar saya diperbolehkannya berlarian atau bermain layang-layang di pematang sawah dekat rumah. Begitu terus seringkali sehingga dulu saya sesekali memprotesnya, terutama karena jam bermain saya yang terbatas.

Tapi itulah ibu saya. Ibu menyayangi saya dengan caranya. Perhatiannya mungkin membuat saya sesekali menjadi bahan olokan karena tidak banyak mahasiswa yang mendapat telepon setiap hari. Perhatiannya membuat ia selalu memberikan nasehat panjang di akhir setiap pembicaraan kami. Nasehat yang sama setiap waktu. Hampir sama persis kata-katanya sehingga saya hapal betul. Kadang terburu-buru kuliah atau bekerja, saya memotong nasihatnya sebelum selesai. Ibu sendiri pernah bercerita, ketika sesekali membaca nada bicara saya yang kadang tidak terlalu semangat ketika sampai pada urusan tradisi menasehati, ia menyadari sedang tinggal di persimpangan dua zaman. Seperti terperangkap di antara masa lalu dan sekarang, tradisi dan pengalaman baru. "..Tapi memang begitulah adanya ibu..", tuturnya...

Bagi saya, dari sejumlah cerita dalam "Kesalahan-Kesalahan yang Tidak 'Diketahui' Dalam Hidup Kita", ingatan itulah yang akhirnya melekat paling personal. Chitra menceritakan nilai-nilai keluarga dalam dunia yang seringkali menuntut kita bekerja dan bekerja. Bahwa ada hal-hal yang lebih krusial sebenarnya ketimbang pencapaian diri atau ketakutan terhadap kegagalan kita mencapainya. Bahwa seringkali kita tidak menyadarinya sampai akhirnya kita rindu dan terluka, lalu hanya bisa memandangi album nostalgia. Chitra, seperti sedang bertutur langsung, tentang betapa berharganya nasehat ibu yang selalu sama itu, bukan cuma bagi saya, tapi juga bagi ibu....






No comments:

Post a Comment