Sunday, June 12, 2011

Siami, Kita dan Nurani

Beberapa hari lalu saya menuliskan sebuah status di fesbuk, "..memaafkan, mengakui kesalahan, mengiyakan, berkata tidak, memulai perubahan, dan menjaga lisan. Banyak hal yang sebenarnya mudah diwujudkan, tapi kita memperumitnya dengan beragam alasan...".

Saya menuliskannya setelah mengalami satu hari atau katakanlah serangkaian peristiwa di kantor yang membuat saya tidak habis pikir dengan 'keengganan' kita untuk menyelesaikan sejumlah masalah yang walaupun tidak sepele, tapi secara kasat mata kita tahu jalan keluarnya.

Saya lalu menuduh alasan sebagai biang keladi yang memperumit penyelesaian permasalahan. Persis seperti pepatah jawa, "..sak ombo-ombone segoro, sik luwih ombo alesan.." (red: seluas luasnya lautan, masih lebih luas alasan). Sembari terdiam, saya lalu berusaha mencari pembenaran bahwa dengan sekedar tidak ikut campur itu cukup.

Sehari setelahnya saya jadi teringat tentang sesuatu yang ada dibalik banyak alasan. Freud mendefinisikannya sebagai "...Such mechanisms put into operation whenever anxiety signals a danger that the original unacceptable impulses may re-emerge...". Kita biasa menyebutnya mekanisme pertahanan diri. Mekanisme yang karena kekhawatiran akan beban kesalahan lalu atau keraguan pada masa depan, seringkali membuat kita menyerahkan kekuasaan diri pada ego pribadi, ketika seharusnya kita berhenti 'menolak' kesalahan yang sudah terjadi. Sesuatu yang terlintas ketika membaca sebuah berita tentang mahalnya kejujuran di negeri ini.

Cuplikan satu paragraf berita itu saya tuliskan disini...

"...Teriakan “Usir, usir…tak punya hati nurani” terus menggema di Balai RW 02 Kelurahan Gadel, Kecamatan Tandes, Surabaya, Kamis (9/6) siang. Ratusan orang menuntut Ny Siami meninggalkan kampung. Sementara wanita berkerudung biru di depan kerumunan warga itu hanya bisa menangis pilu. Suara permintaan maaf Siami yang diucapkan dengan bantuan pengeras suara nyaris tak terdengar di tengah gemuruh suara massa yang melontarkan hujatan dan caci maki. (surya.co.id)..."


Sekilas membaca berita itu dan banyak dari kita akan berpikir bahwa Nyonya Siami, sang penjahit, istri seorang buruh pasti telah melakukan sebuah kesalahan diluar hati nurani sehingga tuntutan hukuman moral berat dari warga harus diterimanya. Tapi ia bukanlah pezina, pencuri atau penipu.

Nyonya Siami dianggap 'berdosa' karena ia adalah individu, minoritas yang bersuara tentang sebuah ketidakadilan, ketidakjujuran yang telah terlebur dalam kehidupan sosial mayoritas disekitarnya sebagai sebuah hal yang wajar. Ia hanya ingin menolak pendidikan yang dimenangkan dengan contekan. Sama remehnya dengan antrian, urusan salip-salipan motor di jalan, dan buang plastik es teh di taman bukan?

Dan saya serasa tertampar...

Mengingat-ingat sejarah contek-contekan dalam masa sekolah saya dulu, saya mungkin adalah salah satu orang yang tidak layak dan naif jika menuliskan 'pembelaan' bagi sang minoritas. Maka saya menuliskan ini tanpa bermaksud memposisikan Nyonya Siami sebagai sosok sempurna hanya dengan kegigihannya tentang perkara remeh bernama contekan itu, lalu menganggap masyarakat tak punya nurani. Saya yakin kita semua masih punya itu. Hal-hal yang membuat hati kita sebenarnya bergetar dan mengakui bahwa sesuatu yang bathil itu memang bathil, dan yang haq itu memang haq.

Tuhan melahirkan manusia dalam fitrah yang sama. Tapi manusia adalah makhluk yang akhirnya ditentukan oleh segumpal daging didalam tubuhnya. Segumpal daging yang diberi makan lewat pengalaman hidup. Makanan itulah yang kemudian membuat kita berbeda dalam kebiasaan. Lalu hadirlah sejumlah tindakan yang berlawanan. Seperti ketika sebagian dari kita menganggap contekan itu adalah cara yang tepat untuk menghadapi kebijakan cacat bernama Ujian Nasional. Sementara sebagian lagi menganggap hal-hal sekecil perkara antrian adalah kunci mengembalikan karakter bangsa.

Bangsa ini memang tidak dibangun dengan Bushido. Tapi karakter bangsa ini juga seharusnya tinggi. Mana mungkin membuang sampah sembarangan adalah warisan leluhur kita? Mana mungkin berpangku tangan melihat orang kesusahan adalah ciri Indonesia? Mana mungkin kejujuran bukan bagian dari kehidupan di nusantara? Mana mungkin mencari jalan pintas menjadi identitas?

Nyonya Siami dan potret situasi di Balai RW Gadel adalah gambaran bagaimana individu-indivudu dalam masyarakat beradaptasi terhadap situasi mati surinya perangkat hukum yang seharusnya menjadi jawaban akan carut marut korupsi, inefisiensi pemerintahan dan lunturnya kepribadian.

Masyarakat melegitimasi contekan sebagai jalan keluar tekanan harus lulus ujian yang formatnya terus dipertanyakan. Masyarakat pun tak berhenti membeli kendaraan pribadi sebagai cara mereka beradaptasi terhadap sistem transportasi yang macet lagii.. macet lagi. Mereka harus bertahan menghadapi kehidupan dan akan secara beragam memberikan perlawanan ketika kesepakatan cara bertahan oleh mayoritas itu diusik oleh cara pertahanan diri yang berbeda seperti Nyonya Siami.

"..Wong (ing) kang sholeh kumpulono..", lihatlah betapa indahnya salah satu bait Tombo Ati tentang apa yang sebenarnya harus diwarisi bangsa ini. Bahwa kita adalah bangsa yang mengakui pentingnya sosok-sosok yang bisa di-gugu dan di-tiru disaat kita dihadapkan pada situasi seperti ini. Tapi dimanakah beliau-beliau yang kita rindu itu?

Entahlah, rasanya mereka masih ada, tapi kita yang mungkin telah terlalu lama tenggelam ditelan kebijakan pencitraan, sinetron dan kubangan informasi yang tak bermutu.

Ketika kita tak menemukan guru sebagai pegangan. Ketika kita lalu berusaha mencari jawaban sendiri dan akhirnya menemukan pembenaran untuk mempertahankan diri. Walau kita tahu kita tergetar, ketika pembelaan diri itu dikembalikan pada jawaban nurani....

No comments:

Post a Comment