Monday, July 23, 2012

Memberi Selimut yang Tepat bagi Satria Kegelapan

Jam satu seperempat, kerumunan orang beragam usia mulai memasuki lobi. Sekumpulan mahasiswa dalam kelompok pria dan wanita, belasan pasang kekasih, pasangan suami istri muda, dan ayah ibu yang mengajak serta anaknya. Saya dan istri menikmati pikuk pemandangan itu sembari bersandar di dinding berkarpet merah persis di depan pintu studio. Saya setengah berharap bahwa sebagian dari mereka, anak-anak dan remaja itu, tak akan memasuki pintu yang sama dengan yang akan saya tuju setengah jam lagi. Berharap bahwa orang tua mereka telah mengerti betul isi pesan dalam papan himbauan batas usia yang terpajang di depan kasir.

The Dark Knight Rises, memang sebuah genre film yang dari posternya saja sudah memancing minat banyak anak-anak dan remaja untuk datang menonton. Wajar jika akhirnya tersemat beberapa pesan sederhana seperti ketika Bruce Wayne mendefinisikan pahlawan sebagai figur yang bisa dimainkan semua orang, tak harus berkostum khusus, sehingga tetap layak disematkan bagi seseorang yang sekedar memakaikan mantel pada seorang anak kecil yang kedinginan sekalipun. Tapi membaca informasi lembaga sensor di awal laga yang menyatakan bahwa ini adalah film untuk remaja membuat kening saya sedikit berkerut.

Ini bukan tayangan kartun atau bahkan Batman era Michael Keaton. Christopher Nolan membawa sang satria kegelapan dan penontonnya kedalam dunia yang lebih kelam dan walau itu menjadikannya sebagai film superhero terbaik hingga saat ini, toh kata terbaik itu tak bermakna bagi semua usia.

Anak-anak memang butuh melihat perjuangan melawan tantangan hidup. Bahwa kebenaran akan menang. Tapi, ceritanya tentu berbeda ketika mereka lebih banyak disuguhkan kegalauan dan pesan kekecewaan akan kegagalan otoritas dalam menjamin hak-hak warga negaranya. Protes akan korupsi dan ketidakadilan yang lantas memunculkan reaksi beragam karena bukan hanya jalan Bruce Wayne, The Dark Knight Rises juga menawarkan 'solusi' versi Ra's Al Ghul, Joker dan Bane. Belum lagi kegelisahan yang tertangkap dari reaksi para orang tua yang mengajak serta anak-anak mereka ketika bioskop memutar trailer Rock of Ages yang penuh adegan striptease, lalu Dark Knight Rises sampai pada scene ketika Bruce Wayne melumat bibir Miranda Tate dan lalu Anne Hathaway.

Tentu ini bukan salah Nolan. Bagi saya, adalah penggolongan film yang terlalu umum dan minimnya peringatan dari manajemen bioskop tentang kadar konten 'rawan' yang ada dalam film yang sebenarnya bisa lebih ditingkatkan.

Catwoman boleh jadi skeptis pada sebuah awal yang baru dalam dunia dimana anak-anak umur duabelasan bisa dengan mudah mengakses internet lewat telepon seluler mereka dan lalu membaca seluruh dunia. Tapi membagi kriteria batas usia penonton film lebih rigid tak terlalu utopia seharusnya. Dan juga, apa susahnya sebenarnya, jika secara verbal melalui kasir-kasir tiket, layaknya mbak-mbak online marketing yang bersuara manis, bioskop membantu menyampaikan pesan..

"..bapak/ibu maaf sebelum kami melayani anda, perlu kami ingatkan bahwa film bla bla bla mengandung unsur kekerasan dan seksual seperti bla bla bla. silahkan dipertimbangkan jika memang bapak/ibu membawa anak-anak pada usia bla bla bla..."

Tidakkah ingin memberi 'selimut' bagi anak-anak indonesia yang menggigil dalam dunia yang makin kecil? :D

Wednesday, July 18, 2012

100% Indonesia

"...I'm sorry, your damaged seats isn't part of 100% INDONESIA Campaign...."

Ujar saya pada si bule yang lantas tertawa dan berusaha mengerti akan ketidaknyamanan kursinya yang bukan hanya tidak didesain untuk kaki-kaki panjangnya, tapi juga ternyata rusak engselnya dan sayangnya sedang dihiasi kain sandaran bertema kampanye produk nasional.

Tom, bule itu, sudah bepergian ke banyak negara, norway, australia, inggris, vietnam dan kini ia dan pasangannya sedang menuju jogja. Maka saya tak ingin membayangkan keduanya pulang dan membawa cerita tentang jawaban petugas perjalanan yang hanya berkata, "..ya, maaf, sudah kami periksa sebelum berangkat dan memang rusak...".

Ketidakpahamannya akan bahasa inggris seadanya dari sang petugas dan 'kerelaan'nya untuk memaklumi kondisi di sebuah moda transportasi massal negara berkembang, membuat Tom hanya mengangguk pelan dan sang petugas pun berlalu. Tapi tentu anda yang merasa sebagai orang indonesia akan malu melihat tamu kita menggeliat-geliat dan tergoyang karena kursi kelas eksekutif yang rusak engselnya.

Beruntung, di belakang kursi saya ada dua tempat duduk kosong. Entah punya siapa, barangkali milik penumpang yang nanti naik dari Cirebon. Biar saja sementara saya pikir, lalu saya tepuk pundaknya...

"...tom, i think those two seats behind me is empty, i've asked the train officer permitiob and you can use it instead of your original seats..."

"..thank you'..", balasnya sembari mengangkat jempol sebelum beringsut pindah bersama kekasihnya ke kursi belakang saya...

"...it is an obligation to serve our guests well. So when you come back home, i hope it wont be those damaged seats of a developing country's train you'll have in mind, but it is the helpful and warmth of indonesian people which will be your journey's conclusion. After all, being helpful should be the theme for us all, citizen of the world..."

Tom dan kekasihnya tersenyum, lalu kami mengakhiri pembicaraan dan kembali menikmati pemandangan indah sawah-sawah di karawang dari balik jendela kereta. Indonesia memang indah kawan....

:)

Thursday, July 12, 2012

Tentang Sang Bintang Lima

Ruang seminar internasional bertema environmentally sustainable city yang entah kenapa alat pendinginnya dipasang sampai membekukan jemari, toilet tanpa keran untuk cebok yang hanya menyediakan tisu untuk mengelap apapun yang perlu dibersihkan, dan mushola berukuran minimalis yang tersudut jauh di pojok. Dalam setengah hari sudah jelas terbaca hotel bintang lima ini memang bukan sahabat bagi karakter lokal....