Thursday, January 20, 2011

Gunarto

Beberapa waktu lalu, dalam sebuah resepsi pernikahan teman saya mendapat sebuah pertanyaan dari seorang tamu, masih terhitung teman saya juga sebenarnya. Begini pertanyaannya:

"..Eh, Pandu katanya sekarang di DKP ya?..."

Pertanyaan yang sebenarnya wajar bukan? Tapi yang membuat teman saya agak tersinggung dan lantas menceritakannya pada saya -yang saat itu sedang sibuk memburu isi gubuk demi gubuk :) - adalah intonasi dan raut wajah tamu tersebut yang terkesan meremehkan penempatan seorang sarjana planologi di sebuah dinas yang terlihat tidak terkait langsung dengan bidang yang ditekuninya.

Waktu itu, sambil menggenggam mangkuk es buah, saya terkekeh mendengar penjelasan itu. Saya sudah mengenal bagaimana karakter tamu yang membuat emosi teman saya itu, dan karenanya sama sekali saya tidak terpancing.

Tempat kerja saya memang secara fungsi tidak memiliki kaitan kuat dengan seluruh aspek tata ruang yang saya pelajari. Tidak banyak zoning, KDB, KLB, atau tahapan evaluasi perencanaan yang harus dilakukan setiap hari disini. Tapi mungkin tamu tadi lupa, kita tidak hanya bisa berperan menjadi abdi masyarakat lewat menuliskan rencana, mengasah fokus. Sebuah foto dengan nilai f/2,8 misalnya, memang akan sanggup mengeksploitasi keindahan bidang fokus yang dibatasinya, tapi apalah artinya bidang itu tanpa bagian blur disekelilingnya.

Dan hari ini, saya semakin percaya bahwa seorang alumni jurusan perencanaan wilayah memang harus dan butuh ada dimana-mana, bukan cuma di institusi-institusi yang menyandang kata perencanaan di namanya.

Harus, karena negeri ini membutuhkan orang-orang yang bisa merencana, memanage dengan baik, mengambil keputusan rasional yang kadang tak mampu memuaskan seluruh pihak, namun betapapun beratnya harus dilakukan. Orang-orang yang saya percaya bisa digodok dalam pahit getir pembelajaran jurusan yang saya cintai.

Dan Butuh, karena seorang alumni jurusan perencanaan tak layak menyandang kata planner, ahli perencanaan, hanya karena dia menggenggam selembar sertifikat keahlian resmi, sebelum mereka belajar banyak dari orang-orang hebat yang ada disekitar mereka. Sebuah pembelajaran yang biasanya 'memaksa' seorang perencana menjadi pelaksana dari rencana yang dibuat orang-orang hebat tersebut.

Jadi ketimbang menanggapi sinis, saya justru ingin berterimakasih pada siapapun orangnya yang dulu menancapkan stempel penempatan saya di dinas ini...

Karena disini saya justru bisa bertemu dengan seorang mantan supir bemo (red. bahasa malang untuk angkutan kota) yang pada tahun 2001 berhasil mengalahkan 300 orang profesor, menjadi juara I Social Enterpreneurship di ajang World Technology Award, di Kensington. Lalu Ashoka Innovation Award (USA), Kalpataru, Satyalencana, Heroes of Today (Rediges Magz), Mutiara Bangsa, dan banyak lagi...

Sosok pegawai negeri kurus bertubuh mungil yang wajahnya mengingatkan saya pada Ki Daus dan kata-kata lucu Truman Capote "..Kalau kau pendek, kau harus tangguh. Dunia ini kejam pada benda yang kecil..". Sosok yang akhirnya berkeliling dunia karena dedikasinya dan serangkaian inovasinya pada pengolahan kompos komunal, bakteri pengurai, dan tinja memukau banyak ahli. Yang pada saya dan setiap audiens yang dihadapinya selalu berkata,

"Bicaralah setelah dan hanya setelah kau membuktikan sendiri"....

Hari ini adalah kali kedua saya menemani beliau mengenalkan hidup yang lebih bertanggungjawab pada masyarakat. Dan hari ini juga saya kembali belajar satu hal. Sebuah rahasia dibalik proses bertahun-tahun pencarian oleh manusia hebat bernama Agus Gunarto akan sebuah formula bakteri pengurai limbah/kompos (yang sejauh ini paling efektif di dunia).

Rahasia bahwa inspirasi penemuan hebatnya itu datang dari kalimat ini:

"...Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah bumi yang mati. kami hidupkan bumi itu dan kami keluarkan dari padanya biji-bijian, Maka daripadanya mereka makan. Dan kami jadikan padanya kebun-kebun kurma dan anggur dan kami pancarkan padanya beberapa mata air. Supaya mereka dapat makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka mengapakah mereka tidak bersyukur?. (Surah Yasin 33-35)..."


Monday, January 17, 2011

Muhammad '2

Pagi itu, meski langit telah mulai menguning,burung-burung gurun enggan mengepakkan sayap. Pagi itu, Rasulullah dengan suara terbata memberikan petuah,

"Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah kepada-Nya. Kuwariskan dua hal pada kalian, sunnah dan Al Qur’an. Barang siapa mencintai sunnahku, berati mencintai aku dan kelak orang-orang yang mencintaiku, akan bersama-sama masuk surga bersama aku."

Khutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata Rasulullah yang teduh menatap sahabatnya satu persatu. Abu Bakar menatap mata itu dengan berkaca-kaca, Umar dadanya naik turun menahan napas dan tangisnya. Ustman menghela napas panjang dan Ali menundukkan kepalanya dalam-dalam.

Isyarat itu telah datang, saatnya sudah tiba. "Rasulullah akan meninggalkan kita semua," desah hati semua sahabat kala itu. Manusia tercinta itu, hampir usai menunaikan tugasnya di dunia. Tanda-tanda itu semakin kuat, tatkala Ali dan Fadhal dengan sigap menangkap Rasulullah yang limbung saat turun dari mimbar.

Saat itu, seluruh sahabat yang hadir di sana pasti akan menahan detik-detik berlalu, kalau bisa. Matahari kian tinggi, tapi pintu Rasulullah masih tertutup. Sedang di dalamnya, Rasulullah sedang terbaring lemah dengan keningnya yang berkeringat dan membasahi pelepah kurma yang menjadi alas tidurnya.

Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam.

"Bolehkah saya masuk?" tanyanya.

Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk,

"Maafkanlah, ayahku sedang demam," kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu.

Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, "Siapakah itu wahai anakku?" "Tak tahulah aku ayah, sepertinya ia baru sekali ini aku melihatnya," tutur Fatimah lembut.

Lalu, Rasulullah menatap putrinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Satu-satu bagian wajahnya seolah hendak di kenang.

"Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malakul maut," kata Rasulullah, Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya.

Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tak ikut menyertai. Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap diatas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini.

"Jibril, jelaskan apa hakku nanti dihadapan Allah?"

Tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah.

"Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua surga terbuka lebar menanti kedatanganmu," kata jibril.

Tapi itu ternyata tak membuat Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan.

"Engkau tidak senang mendengar kabar ini?" Tanya Jibril lagi.

"Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?"

"Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: ‘Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada didalamnya," kata Jibril.

Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik Tampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang.

"Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini." Lirih Rasulullah mengaduh.

Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril membuang muka. "Jijikkah kau melihatku, hingga kaupalingkan wajahmu Jibril?" Tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu.

"Siapakah yang tega, melihat kekasih Allah direnggut ajal," kata Jibril.

Sebentar kemudian terdengar Rasulullah memekik, karena sakit yang tak tertahankan lagi.

"Ya Allah, dahsyat niat maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku."

Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya.

"Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku, peliharalah shalat dan santuni orang-orang lemah di antaramu."

Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan.Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. "Ummatii, ummatii, ummatiii?" - "Umatku, umatku, umatku" Dan, pupuslah kembang hidup manusia mulia itu.

Kini, mampukah kita mencinta sepertinya?

Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa baarik wa salim ‘alaihi

Saturday, January 15, 2011

Unstoppable (Decline)?

In the same way that a Marty Scorsese joint is a little more fun with his most common collaborator, Bobby DeNiro (or lately Leo DiCaprio), Woody Allen with Mia Farrow, or Joel&Ethan Coen with George Clooney, Tony Scott's movies have a little more kick with one of his Crimson’s tide, Denzel Washington.

The two men seem to compliment each other with Denzel toning down the over-the-top style that Scott brought to films like Top Gun and True Romance (and was set free like a bull on a movie set in Domino) and Scott helping Denzel find new shades to his acting. In fact, a lot of directors use the same actors in the same way over and over again, like a manager starting the same striker game after game. Tony Scott has directed Denzel Washington three times at three different stages in the actor's career and found a different Denzel in each one.

Even with all of his other hit movies, you can use the three Scott/Washington collaborations as a good guide to Denzel's filmography over the last ten years. Using a reference from Scott's history, they're like Maverick and Iceman at the end of Top Gun, making each other's work better every time they take flight. Yet, at their fifth movies, The Unstoppable, I don’t really think that Scott do justice for a decent performance put in by Denzel (and Chris Pine).

Indeed, from the very beginning, I was surprised when Scott announced his next project after The Taking of Pelham 123 would be another train-based film and that it would again star Washington. But the joke’s on them (err, us) because this film is a 8000 tons of suspense and action-filled momentum. And then it is, “..a fast, slick, and exhilarating movie that never strives to be anything more than solid entertainment..”.

In the end, this “stoppable” plot, eventually lead me comes to conclusion, that the movie's best scenes are those that focus on Frank and Will's routine; the getting-to-know-you beats, all before the train-o-calypse starts. In a nice bit of business, Frank is the engineer; Will is the conductor. But it's Frank's train, and the fun Denzel and Pine have playing off this aspect almost makes you wish the movie was more about their ordinary backgrounds of this true story instead of the extraordinary events they get caught in the middle of.

But where's the fun in that rite? :D