Tuesday, December 22, 2009

I Love You Everyday

Penggalan celoteh konyol upin ipin mendadak terdengar dari telepon selulerku, ada sms baru..

”…Lagi apa mas? Jadi pulang kapan? take care ya, salam…”

Aku tersenyum. Walaupun layar telepon genggamku tak menampilkan identitas selain deretan angka tanpa nama, dari nada pesannya mudah sekali kukenali siapa pengirimnya. Sebuah pesan yang sederhana, persis seperti karakternya yang kukenali selama ini, walau dia bukan seorang pendiam, tidak sama sekali. Dia hanya tak suka berbasa basi tanpa isi. Dan tentang hal ini dia pernah berkata, “bahasamu adalah cerminan hidupmu, kalau kau boros maka boros pula hidupmu”. Saat mendengar itu aku terheran-heran, sejak kapan dia belajar filosofi? Bukankah dia cuma seorang mantan perawat lulusan sekolah kejuruan? Ah, sudahlah, toh sedari awal kisahku dengannya memang penuh dengan keheranan, keajaiban demi keajaiban yang ditunjukkannya.

Benar bahwa aku mungkin terlalu muda untuk mengingat apa saja yang dia perbuat kala interaksiku dengannya masih sebatas bahasa tangis dan tawa. Tapi aku masih ingat betul keajaiban yang diperbuatnya pada masa-masa dimana nasi dan garam adalah satu-satunya pilihan makanan yang tersedia diatas meja rumah kami. Waktu itu dia sangat pandai menambahkan semangkuk dongeng sebagai lauk istimewa yang lantas mendistorsikan rasa, membuatku lupa bahwa garam itu asin. Ia bahkan membuat cerita sendiri tentang seorang pangeran samudera yang berperang melawan raja daratan, lalu dalam kondisi terdesak di pantai, dia menemukan sejumput garam yang akhirnya membuatnya kuat dan mampu mengalahkan musuh-musuhnya. Aku sangat menyukai cerita itu sehingga akhirnya aku pun makan dengan lahap diantara temaram lampu minyak, satu-satunya alat penerangan rumah kami dulu.

Lalu, Salah satu keajaiban lainnya yang paling kuingat waktu itu adalah bagaimana dia selalu menyuruhku masuk ke kolong meja kala hujan badai dan petir terjadi. Diselimutinya sisi-sisi meja itu dengan seprei sehingga kami seperti berada di dalam gua buatan. Setelah itu biasanya dia tak banyak berkata, hanya memelukku erat, mengucap dzikir dan berbisik, “nah sekarang kita aman dari dewa petir”. Kami sering tertawa kala mengingat cara 'penyelamatan diri' yg aneh itu. Tapi lucunya perlakuan yang tak biasa itu justru menjadi salah satu momen dimana aku bisa merasa paling aman seumur hidupku, sampai sekarang.
Rasa aman ternyata bukan melulu bangunan kokoh, tubuh kekar, kendaraan lapis baja, atau fakta semata...

“Cogito ergo sum?” Well, untuk beberapa realitas sepertinya aku tak perlu mendengarkan logika Rene Descartes walaupun kadang rasa penasaranku bertanya-tanya,

“…Darimana dia belajar segala macam cara itu untuk membuatku nyaman? Bagaimana mungkin seseorang bisa mengerti orang lain sebegitu hebat? Atau jangan-jangan dia memang punya buku manualnya?..”.

Maka suatu hari sembari tertawa, dia menanggapi pertanyaanku,

“..Ada beberapa pengertian yang takkan kau mengerti sampai kau menjadi tua dan menjadi orang tua sepertiku..”.

Dan tentang ‘cerita persembunyian dibawah meja’ itu, saat itu dia takut atap rumah kami yang bocor disana sini akan jadi pintu masuk petir yang akan mengambilku. Sebagaimana sekarang dia mulai takut kalau suatu saat aku akan lupa pulang setelah sekian lama hidup jauh darinya. Bahwa aku, entah karena seorang anak gadis orang atau tumpukan pekerjaan, perlahan akan melupakan kalimat ini…

”Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya, atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka janganlah sekali-kali engkau mengatakan kepada keduanya perkataan "ah!" - Jangan pula engkau membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan, dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku! Sayangilah mereka berdua, sebagaimana mereka berdua telah menyayangi aku semenjak kecil." (Q.S. 17:23-24)

Semoga tidak, karena aku akan selalu pulang untuk dia, ibu terbaik sedunia, even for today All I do Is dreaming of you, holding you, through this words…

Selamat hari ibu, I love you everyday…


Monday, December 14, 2009

500 Days Of Summer

Alasan pertama yang membuat saya berniat menonton film ini lagi adalah fakta bahwa saya masih belum paham benar, kenapa "..this is not love story, but a story about love.." jadi tagline 500 Days of Summer. *Mungkin teman saya yang dulu menyarankan dan berniat meminjamkan film ini (walaupun ga jadi-jadi sampe saya dapet sendiri) sudah lebih paham maknanya.. haha..*

Alasan lain, cerita filem ini bisa membuat saya tertawa walaupun kadang saya pikir filem ini juga menertawakan penontonnya dengan cara yang sederhana tapi mengena. Kedalaman makna dari sebuah gagasan simpel mampu diceritakan dengan ringan, lucu, namun tetap berkelas sehingga tidak terasa bahwa kita sedang menonton sebuah film yang diputar premier di Sundance Film Festival. Sesaat, sensasinya mengingatkan saya pada apa yang ditawarkan Dewi Lestari dalam Perahu Kertas. Termasuk bagaimana keduanya membawa serta pengaruh cita-cita masing-masing tokoh utama terhadap hubungan mereka.

Jadi walaupun kita mungkin tidak asing dengan film yang bercerita tentang dua orang yang benar-benar berbeda karakter namun bersinggungan pada suatu waktu dan mencoba mencari cara untuk bersama, namun tidak seperti film komedi romantis lainnya yang cenderung berakhir klise, di akhir film ini ada ruang untuk mencerna beberapa hal tentang kehidupan, bahkan menawarkan tambahan harapan bagi mereka yang merasa "berhak" mengaku bahwa "ini adalah cerita nyata tentang mereka"... hahahaha...

Just watch it, its a scarily deep and funny romantic movie, one of the best this year..


Friday, December 11, 2009

" 100 "

ada saat dimana kita terhenti sejenak,

mengalami tapi miskin imajinasi,

mencintai tapi kering ekspresi,

sampai akhirnya hari itu kembali

Lama sebelum kutemukan apa yang ingin kutuliskan pada lembar kosong ini. Entah gara-gara terkooptasi ketertarikanku sendiri pada angka 100 atau sekedar bosan karena rutinitas yang membuatku terlihat sama. Atau mungkin waktu yang memang sedang bergerak cepat dan tak memberikan cukup ruang intim untukku dan lembar kosong bernomor spesial ini. Sampai akhirnya sebuah perjumpaan beberapa hari lalu, mendorongku untuk mengabadikan sebuah sosok, dengan sederhana, begitu saja.

Hari itu Jumat yang cerah. Perempuan berkerudung itu masih jelas kukenali dari jarak duapuluhan langkah darinya. Lalu sebuah pelukan dari wajah yang berkaca-kaca menyambutku pagi itu seolah pertanda bahwa kekesalanku akan buruknya pelayanan birokrasi rumah sakit yang kualami sehari sebelumnya akan terobati dengan pertemuan tak terduga ini.

Dan segera setelah kuselesaikan urusan administrasi yang membawaku kembali ke sekolah kampungku hari itu, ia mengajakku berkeliling kompleks, menyusuri selasar bangunan SD yang tak berubah banyak kecuali cat dinding yang berbeda dan lantai tegel yang kini berganti keramik berwarna cerah, sembari bertukar kabar dan mengurai memori yang merekam masa kecilku bersamanya. Tentang persinggungan hidup kami yang tak diisi legenda, hanya beberapa keping cerita sederhana yang dibungkus dengan cinta.

Sosoknya yang lembut, terlihat masih sama (jika tidak lebih kuat terpancar) dibanding dua dekade yang lalu. Sebuah stereotip guru ideal yang membuat dia dekat dengan sebagian besar muridnya. Toh, dibalik kelembutannya aku belum lupa akan ketegasan yang disimpannya seperti yang sering kualami saat siang sepulang sekolah di akhir Juli 1992. Waktu itu siang setelah bel pulang banyak dihabiskannya mengajariku tambahan jam pelajaran menjelang sebuah perlombaan cerdas cermat di Kabupaten. Jangan harap aku bisa pulang kalau soal belum terpecahkan. Maka hilang sudah sebagian besar jatah bermainku di sawah kala itu. Sungguh ia berubah menjadi seorang begitu disiplin dan keras, macam instruktur tentara negeri yang tak kenal kompromi. Lantas disetiap akhir sesi, seakan belum puas, dijejalkannya buku-buku pelajaran tebal dan perangkat keterampilan beraneka rupa ke dalam tas besar warna coklat milikku. "Yang ini dipelajari di rumah, besok harus selesai dan bisa", tuturnya. Kupikir seperti punya dua ibu yang berbeda tapi sama standar kedisiplinannya dan karena itu, aku ingat seringkali masam mukaku di sore sepulang sekolah. "Nanti, ketika kamu tersenyum dan berdiri menggenggam medali, kamu akan mengingat siang-siang ini", begitu ujarnya memotivasiku di suatu siang saat aku mengalami demotivasi. At that moment, I just dont know why, till the harvest time come.

Ia sendiri masih ingat benar, bahwa aku kecil sangat tidak tertarik pada dua hal, sepakbola dan teman wanita. ~ Right now, I myself couldn't believe that either ~. Saking malesnya main bola, terkadang aku bahkan sampai sengaja lupa membawa seragam olahraga agar diijinkan tinggal di kelas, dihukum merangkum buku pun oke asalkan tidak ikut berpanas di lapangan. Well, Time is a kind of friend they say, it makes us old and learn. Maka ia sungguh terkejut dan tertawa ketika kuceritakan bahwa kini aku banyak menghabiskan waktu untuk urusan sepakbola dan berharap punya anak laki-laki yang menjadi pemain bola. Tentang teman wanita yang membuatku phobia?? well, Some memories are best kept hidden...

Ia adalah salah satu guru yang paling antusias mengenalkanku pada Kepala Sekolah, membanggakanku sebagai murid dengan penilaian yang kupikir terlalu berlebihan. Ia pula yang mengenalkanku pada profesi insinyur walau aku lebih bermimpi menjadi pilot kala itu. Ia bilang, "kenapa tidak bercita-cita menjadi insinyur pertama di kampungmu??" Apakah itu doa atau kekuatan visi indera keenamnya, yang jelas aku memang terbukti gagal jadi pilot dan sepertinya berakhir tak jauh dari apa yang dituturkannya. Itu dan banyak hal lain lagi yang masih diingatnya tentangku sungguh mengejutkan. Lebih dari apa yang bisa kuingat tentangnya dan sesaat kupikir aku menua lebih cepat darinya.

Dan perjalanan riuh cerita disepanjang selasar itu pun akhirnya terhenti di depan ruang guru. Raut mukanya terlihat sedih ketika kuutarakan bahwa padatnya urusan birokrasi yang harus kuselesaikan dalam sempitnya waktu memaksaku berpamitan. Digenggamnya tanganku erat sambil dititipkannya petuah pendek, "..Doakan ibu sehat ya nak. Jangan lupakan guru-gurumu setiap kali ilmumu bertambah tinggi dan kesuksesan menghampirimu. Pulanglah kapanpun kamu mau, lalu sempatkanlah berbagi dengan adik-adikmu di sekolah ini agar mereka bisa mengerti cerita tentang kalian..."

Sebuah janji lantas kuucapkan, untuk kembali, untuk guruku...

Dedicated to Mrs Nangimah, a teacher for life...