Friday, December 11, 2009

" 100 "

ada saat dimana kita terhenti sejenak,

mengalami tapi miskin imajinasi,

mencintai tapi kering ekspresi,

sampai akhirnya hari itu kembali

Lama sebelum kutemukan apa yang ingin kutuliskan pada lembar kosong ini. Entah gara-gara terkooptasi ketertarikanku sendiri pada angka 100 atau sekedar bosan karena rutinitas yang membuatku terlihat sama. Atau mungkin waktu yang memang sedang bergerak cepat dan tak memberikan cukup ruang intim untukku dan lembar kosong bernomor spesial ini. Sampai akhirnya sebuah perjumpaan beberapa hari lalu, mendorongku untuk mengabadikan sebuah sosok, dengan sederhana, begitu saja.

Hari itu Jumat yang cerah. Perempuan berkerudung itu masih jelas kukenali dari jarak duapuluhan langkah darinya. Lalu sebuah pelukan dari wajah yang berkaca-kaca menyambutku pagi itu seolah pertanda bahwa kekesalanku akan buruknya pelayanan birokrasi rumah sakit yang kualami sehari sebelumnya akan terobati dengan pertemuan tak terduga ini.

Dan segera setelah kuselesaikan urusan administrasi yang membawaku kembali ke sekolah kampungku hari itu, ia mengajakku berkeliling kompleks, menyusuri selasar bangunan SD yang tak berubah banyak kecuali cat dinding yang berbeda dan lantai tegel yang kini berganti keramik berwarna cerah, sembari bertukar kabar dan mengurai memori yang merekam masa kecilku bersamanya. Tentang persinggungan hidup kami yang tak diisi legenda, hanya beberapa keping cerita sederhana yang dibungkus dengan cinta.

Sosoknya yang lembut, terlihat masih sama (jika tidak lebih kuat terpancar) dibanding dua dekade yang lalu. Sebuah stereotip guru ideal yang membuat dia dekat dengan sebagian besar muridnya. Toh, dibalik kelembutannya aku belum lupa akan ketegasan yang disimpannya seperti yang sering kualami saat siang sepulang sekolah di akhir Juli 1992. Waktu itu siang setelah bel pulang banyak dihabiskannya mengajariku tambahan jam pelajaran menjelang sebuah perlombaan cerdas cermat di Kabupaten. Jangan harap aku bisa pulang kalau soal belum terpecahkan. Maka hilang sudah sebagian besar jatah bermainku di sawah kala itu. Sungguh ia berubah menjadi seorang begitu disiplin dan keras, macam instruktur tentara negeri yang tak kenal kompromi. Lantas disetiap akhir sesi, seakan belum puas, dijejalkannya buku-buku pelajaran tebal dan perangkat keterampilan beraneka rupa ke dalam tas besar warna coklat milikku. "Yang ini dipelajari di rumah, besok harus selesai dan bisa", tuturnya. Kupikir seperti punya dua ibu yang berbeda tapi sama standar kedisiplinannya dan karena itu, aku ingat seringkali masam mukaku di sore sepulang sekolah. "Nanti, ketika kamu tersenyum dan berdiri menggenggam medali, kamu akan mengingat siang-siang ini", begitu ujarnya memotivasiku di suatu siang saat aku mengalami demotivasi. At that moment, I just dont know why, till the harvest time come.

Ia sendiri masih ingat benar, bahwa aku kecil sangat tidak tertarik pada dua hal, sepakbola dan teman wanita. ~ Right now, I myself couldn't believe that either ~. Saking malesnya main bola, terkadang aku bahkan sampai sengaja lupa membawa seragam olahraga agar diijinkan tinggal di kelas, dihukum merangkum buku pun oke asalkan tidak ikut berpanas di lapangan. Well, Time is a kind of friend they say, it makes us old and learn. Maka ia sungguh terkejut dan tertawa ketika kuceritakan bahwa kini aku banyak menghabiskan waktu untuk urusan sepakbola dan berharap punya anak laki-laki yang menjadi pemain bola. Tentang teman wanita yang membuatku phobia?? well, Some memories are best kept hidden...

Ia adalah salah satu guru yang paling antusias mengenalkanku pada Kepala Sekolah, membanggakanku sebagai murid dengan penilaian yang kupikir terlalu berlebihan. Ia pula yang mengenalkanku pada profesi insinyur walau aku lebih bermimpi menjadi pilot kala itu. Ia bilang, "kenapa tidak bercita-cita menjadi insinyur pertama di kampungmu??" Apakah itu doa atau kekuatan visi indera keenamnya, yang jelas aku memang terbukti gagal jadi pilot dan sepertinya berakhir tak jauh dari apa yang dituturkannya. Itu dan banyak hal lain lagi yang masih diingatnya tentangku sungguh mengejutkan. Lebih dari apa yang bisa kuingat tentangnya dan sesaat kupikir aku menua lebih cepat darinya.

Dan perjalanan riuh cerita disepanjang selasar itu pun akhirnya terhenti di depan ruang guru. Raut mukanya terlihat sedih ketika kuutarakan bahwa padatnya urusan birokrasi yang harus kuselesaikan dalam sempitnya waktu memaksaku berpamitan. Digenggamnya tanganku erat sambil dititipkannya petuah pendek, "..Doakan ibu sehat ya nak. Jangan lupakan guru-gurumu setiap kali ilmumu bertambah tinggi dan kesuksesan menghampirimu. Pulanglah kapanpun kamu mau, lalu sempatkanlah berbagi dengan adik-adikmu di sekolah ini agar mereka bisa mengerti cerita tentang kalian..."

Sebuah janji lantas kuucapkan, untuk kembali, untuk guruku...

Dedicated to Mrs Nangimah, a teacher for life...

No comments:

Post a Comment