Tuesday, January 5, 2010

Taman Catur

Pemanasan global yang masih saja sulit disepakati penanganannya dalam Konferensi Iklim Dunia beberapa minggu lalu memang tampak semakin nyata membuat cuaca tak karuan di seluruh belahan dunia, termasuk juga di kota kami. Entah harus bukti perubahan iklim apa lagi yang bisa menggerakkan setiap pemimpin negara, terutama mereka yang jadi juara tukang buang emisi karbon untuk lebih peduli daripada sekedar mempermasalahkan pemulihan krisis pasca kekacauan kredit dari sistem ekonomi yang mereka bangga-banggakan itu.

Siang itu suhu udara di kota turun drastis, bulir-bulir salju turun perlahan dari langit, dan daun-daun pepohonan di taman catur yang biasanya segar menghijau itu, kini tampak kusam, beku. Tak pernah kami merasakan musim sedingin ini sebelumnya. Maka beberapa orang pun mulai beranjak pergi, mengemasi barang-barangnya dan menyudahi aktivitas mereka. Tapi tidak dengan apa yang terjadi meja tengah taman itu.

Disana, seorang pria tua duduk di bangku taman dalam balutan jaket wool tebal berwarna gelap. Wajahnya berkerut, beberapa kali dibetulkannya letak kacamata yang dipakainya. Nyata sekali konsentrasinya terpusat pada sebuah papan catur dan bidak-bidak yang tergelar di hadapannya. Sang lawan yang lebih muda darinya, duduk penuh percaya diri di bangku seberang, menanti langkah apa yang akan dilakukan si pria tua.

Sementara aku dan belasan penonton yang berdiri mengitari meja itu pun terlihat antusias menanti siapa yang akan memenangkan “duel” siang itu. Apakah itu sang pria tua yang kami kenal sebagai veteran perang berpangkat jenderal dengan deretan tanda jasa yang memenuhi dadanya? atau justru si pria muda, seorang insinyur yang tengah berada di puncak usia produktifnya dengan beberapa proyek ambisius kota dalam genggamannya.

Sudah dua jam, korban pun telah berjatuhan, tapi duel siang itu tampak baru “setengah” jalan. Sang pria tua punya keunggulan jumlah menteri dan kuda, tapi kehilangan ratunya. Sementara sang insinyur, masih menyimpan ratunya selain memiliki keunggulan jumlah benteng dan prajurit yang tersebar cukup strategis. Bidak-bidak si pria tua itu menguasai berbagai sisi serangan, tapi pertahanan Sisilia yang dimodifikasi oleh sang insinyur sungguh sulit ditembus dan memberikannya keyakinan besar akan hadirnya kemenangan di penghujung siang. Sebuah pertarungan yang alot antara pengalaman melawan gairah. Dan itu selalu menarik bagi kami, sama menariknya seperti halnya pertarungan antar penegak hukum di negeri kami yang menjanjikan intrik dan kejutan sepanjang hari, mengalahkan trik beragam reality show di televisi.

Saking alotnya, beberapa orang penonton bahkan mulai berpikir, sepertinya akan “remis”. Sebuah pemikiran yang logis jika melihat lamanya mereka bertanding. Tapi remis bukan pilihan bagi kedua petarung berkarakter pemenang itu.
Si pria tua sudah terkenal reputasinya, sementara kami pun sudah mendengar tentang keahlian catur insinyur berumur empat puluhan itu meski ia masih tergolong anggota baru dalam komunitas penikmat taman catur. Begitu kami menyebut orang-orang yang menghabiskan waktunya untuk sekedar bersantai, memancing, bercengkerama dengan keluarga, atau bertarung mempertaruhkan harga diri diatas puluhan meja catur yang tertata rapi di tengah taman ini. Satu dari dua taman terindah yang dibuat pemerintah kota ini.

Pria tua itu, dengan segudang pengalamannya tahu bahwa bidak-bidak miliknya yang tersisa sebenarnya lebih dari cukup untuk memenangkan pertandingan. Sudah berkali-kali ia membuat lawannya takluk walau sebenarnya ia berada dalam situasi terdesak atau kalah jumlah bidak. Bahkan nama besarnya sebagai ahli strategi ulung diantara sesama penikmat ruang terbuka kota itu pun terbangun gara-gara kemampuannya membalikkan situasi.

Aku ingat, dua puluh tahun yang lalu, kemenangan pertamanya diraih hanya dengan sebuah menteri dan seekor kuda, walau memang harus diakui lawannya kala itu hanya seorang pria paruh baya yang lebih menggemari pacuan kuda dibanding bermain catur. Setelah itu berkali-kali ia taklukkan lawannya, entah darimana saja mereka datang, tukang becak, eksekutif muda, sesama kakek, dan bahkan seorang mantan atlit catur terkenal sekalipun ia libas tanpa ampun. Adalah ambisi dan kemampuannya berevolusi menghadapi berbagai tipe lawan yang membuatnya bertahan dan dihormati di taman catur itu hingga kini, sementara teman-teman seusianya mulai meninggalkan papan catur dan memilih memancing atau sekedar bersantai di taman.

Tapi usia sama halnya rasa, tak pernah bisa bohong. Penampilannya segarnya mungkin bisa “mengkhianati usia” yang sudah di akhir enampuluhan, tapi bertambahnya umur tak hanya menumbuhkan keriput, karena umur juga menggerogoti kendali emosi psikologis. Bahkan kulihat sudah tiga kali dia memaki siang itu, menyalahkan orang-orang yang dinilainya terlalu berisik kala menonton, mengganggu konsentrasi hingga akhirnya ia menggerakan bidak yang salah, membuatnya kehilangan ratu dan seekor kudanya. Ia sendiri sadar bahwa ia telah menjadi semakin sensitif akhir-akhir ini. Dan bagi seorang petarung meja catur, itu adalah problem yang jauh lebih serius ketimbang kehilangan ratu atau satu set benteng sekalipun, terlebih dengan beban permasalahan ekonomi yang sedang membelit keluarganya. Sesuatu yang kukhawatirkan akan menjadi celah bagi seorang lawannya yang memahami itu, suatu hari.

Dan sepertinya hari ini sang lawan mulai mencium aroma kegalauan pria tua itu, idolaku, sang legenda taman catur….


No comments:

Post a Comment