Sunday, September 6, 2009

Gudeg

Haruskah pintar memasak untuk menulis tentang masakan??

Uhmm... kalo iya, maka sepertinya tulisan saya yang satu ini bakal banyak salahnya karena saya memang tidak pintar memasak walaupun saya tidak asing dengan aroma dapur sejak saya mulai jatuh cinta dengan mixer dan oven roti. Ya saya, lebih tahu cara bikin brownies (eh, tapi jangan ragu-ragu untuk meragukan rasanya ya..hehe..) dibanding bikin sayur sawi dan telur bumbu yang enak banget seperti yang temen saya biasa bikin buat sahur . Intinya kalo soal masakan sampai saat ini saya lebih suka menjadi penikmatnya saja, entah itu karena rasanya atau suasananya. Dan kalo ditanya makanan apa yang paling saya pengen saat ini, maka jawabannya adalah GUDEG JOGJA!!!

Ya, ternyata selama apapun saya tinggal di Jawa Timur dan secinta apapun saya sama yang namanya rawon pasuruan, nasi goreng kediri, pecel madiun, atau bakso malang, rupanya lidah saya masih menyimpan kerinduan yang luar biasa pada setiap masakan yang manis, termasuk gudeg. Mungkin ini yang namanya pepatah "Lidah tak pernah lupa pada kulitnya" hehehe.... Dan entah kebetulan ato enggak, kemarin sore ada acara kuliner di tivi yang isinya cerita tentang warung gudeg di pinggir-pinggir jalan Malioboro. *Hummm..... ces.. ces.. ces...*
Pikiran saya pun langsung jalan-jalan ke tempat yang terakhir saya datangi beberapa waktu lalu. Waktu itu, dua tempat jual gudeg jogja yang sempat saya dan teman saya cicipi adalah Gudeg di Wijilan dan Gudeg kaki lima di Deket Pasar Beringharjo.

Menyandingkan keduanya ibarat membandingkan minum secangkir cappucino almond di cafe dengan meneguk kopi instan yang diseduh dalam potongan botol bekas air mineral sambil duduk di tepi pantai. Wijilan, kampung di sebelah timur Alun-alun Utara Keraton Yogya ini sudah bertransformasi menjadi kampung wisata kuliner. Oleh karenanya wajar jika penyajiannya gudeg disini sudah dikemas sedemikian rupa, termasuk harganya yang "dikemas" menjadi harga turis. Beda dengan gudeg kaki lima di deket pasar beringharjo, yang cenderung lebih "lepas aturan".

Nah, secara subjektif harus saya akui bahwa saya lebih suka makan gudeg yang di depan Pasar Beringharjo. Bukan semata karena harga gudeg-nya yang seakan menantang hukum ekonomi "ada uang ada barang", tapi saya menikmati interaksi yang terjadi antara saya dan mbok penjualnya yang terjalin lebih hangat dibanding saat saya ada di Wijilan. Saya memandangnya sebagai hasil sebuah sistem relasi sosial khas warung nasi gudeg "monggo kerso" (silahkan milih), yang tercipta secara dinamis melalui karakter khas masyarakat disana, penuh kolegialitas, hangat, akrab, dan tenang.
Walaupun ya, memang bagi sebagian orang makan makanan yang ga diatur posisi brokolinya, jamurnya, dagingnya, nasinya, dan segala tetek bengek table manner akan terasa ga gaul. Tapi bagi saya jauh lebih nikmat ketika kita bisa memilih lauk dan porsi sesuai yang kita inginkan dibanding membaca daftar menu bergambar yang dicetak diatas kertas-kertas mahal.

Overall, keberadaan gudeg dalam berbagai ragamnya di Jogja adalah satu bentuk keindahan budaya negeri. Butuh setidaknya dua hari untuk mengolah nangka muda agar mencapai rasa yang "pantas" untuk dijadikan Gudeg. Sebuah proses yang merefleksikan pandangan orang Jawa bahwa, kesempurnaan hidup bisa muncul lewat sebuah proses, muda menjadi dewasa, kuli menjadi bos, puasa ragawi menuju puasa ruhani. THATS BEAUTIFUL ISN'T IT... Lantas bandingkan dengan ayam goreng warisan kolonel sanders yang super gurih dan bisa matang hanya dalam waktu 5-10 menit dengan bantuan lemak trans. Sebuah cermin kenikmatan instan a'la ekonomi "kartu kredit" (red.kapitalis) yang seringkali mengaburkan ekses dibaliknya....

Lantas diakhir pagi ini pikiran saya pun kembali ke pertanyaan pas saya lagi ngiler-ngilernya gudeg di acara "Kamus Kuliner" itu.. ada ga ya gudeg jogja yang enak di Malang?? Yang bayarnya ga pake "kartu kredit" pastinya!!!"

Kalo emang ga ada..
Then, JOGJA, get ready, i'm comin soon yaa!!!
siapkan gudegmu...!!!
semoga kau masih seperti dulu..
kala tiap sudut menatapku bersahabat dan penuh selaksa makna....

No comments:

Post a Comment