Friday, September 11, 2009

Wartel Dewi dan Kejujuran

Tahukah bahwa dua hal itu ternyata memiliki persamaan?? Yepp... sama-sama makin susah dicari!!!. Wartel, yang dulu seolah menjadi entitas simbol kejayaan telekomunikasi era 2000-an memang sudah kena gusur sama outlet-outlet isi ulang pulsa seluler. Sebuah hal yang sama sebenernya ketika wartel-wartel itu "merubuhkan" kotak-kotak telepon umum yang dulu menjadi saksi bisu kisah cinta bermodal recehan gambar wayang jaman SMP/SMA. Jaman itu, ngantri setengah jam demi 10 menit didalam "kotak keramat" itu pun dibela-belain, hahaha..mengakulah kalian!!!.

Beberapa tahun lalu, ketika wartel makin menjamur, saya mengalami kesulitan mencari telepon umum yang berfungsi normal di Indonesia, i mean: pesing, suka nelen receh, dan ada iklannya semacam "...budi was here...", "...adi sayang arif...(lho?!*%)", ato "..telpon aq ya 64 73 80 (tomi)...". hehehe.... Dan ya, ternyata kemaren saya mengalami kesulitan yang identik pas nyari wartel!!! Lima wartel di Kerto-kertoan (daerah kosan mahasiswa brawijaya) yang di awal-awal kuliah menjadi tempat andalan saya mengadu nasib dengan jodoh, ternyata semuanya sudah berubah fungsi. Yang dua masih ada plang wartel tapi begitu saya deketin, eh lha koq ruangannya penuh dengan mesin cuci. Jangan-jangan ini inovasi baru box telepon yap?? wangi euy.. hehe...
Trus dua wartel selanjutnya yang saya datangi, baru dilihat dari kejauhan saja udah keliatan almarhum. Dan yang satunya lagi malah jadi kos-kosan.. (lho?!*%) hehehe, maksud saya wartel yang terakhir ada tulisannya "TERIMA KOS PUTRA". Yaa, masih mendingan lah daripada jadi WC umum kan?!. Beruntung, akhirnya, di ujung sebuah jalan saya menemukan guna lahan wartel yang belum mengalami deviasi dan masih berfungsi sebagaimana mestinya, namanya WARTEL DEWI...!!! *bukan anaknya pak haji*

Lantas kenapa saya kemaren repot-repot nyari wartel padahal ada HP?? Alasannya rumit dan panjang ceritanya, tapi intinya semua berawal dari masalah pulsa HP..!!! :D. Kenapa rumit, karena teman baik (dan sedikit aneh) yang ingin saya hubungi itu hanya punya telepon rumah dan HP yang beda operator dan dari yang sudah-sudah pembicaraan kami dijamin bakal ngelantur. Jadi nelpon lama ke HP-nya bakal jadi salah satu cara bunuh diri paling efektif.. Hehe, Penurunan tarif interkoneksi antar operator yang sempat heboh kapan hari itu memang masih belum terasa nyata dalam beberapa kondisi tertentu. Mungkin operator lebih fokus bikin macem-macem trik telpon dan sms murah tapi kadang ribet, plus promosi tarif gprs, nebeng kesuksesan fesbuk mobile dan messenger.

Nah, sama seperti nyari wartel, mencari kejujuran ternyata juga makin sulit. Yang lucu kadang orang seringkali yakin bahwa dirinya terpaksa berbohong karena itu demi kebaikan, Just like what Adam Sandler did against his meanmachine team in the longest yard movie. Dalam skala kejadian nyata, kebetulan temen saya belum lama ini sempat cerita mau bikin SP3 buat pegawainya. Entah sudah keberapa kalinya dia bikin SP3 sampe-sampe saya heran. Ketika saya tanya kenapa, dia bilang "...aku bisa ngajarin dia jadi lebih pinter, tapi aku ga bisa ngajarin orang jadi jujur...". Yepp, ada benarnya juga sih, kejujuran memang tidak bisa diajarkan semudah membuat orang mengerti bahwa se-relatif apapun cara pandang kita, 64 tetap tidak akan sama dengan 65 dan lampu merah itu artinya berhenti bukan?!.
*Uppss, yang terakhir agak sulit juga si diajarin buat sebagian orang hehe...*

Intinya, walaupun setiap orang saya yakin fitrahnya suka dengan kejujuran, tapi hal tersebut sebagaimana nilai-nilai penting lainnya harus ditumbuhkan dari awal. Kadang bahkan dengan cara-cara yang keras namun tetap penuh kasih sayang, terus menerus, dan tentunya dicontohkan dalam perbuatan yang mendidiknya. Memang, pendidikan dari awal toh juga belum tentu menjamin mereka ga bakal berubah menjadi figur yang 180 derajat berbeda ketika mereka dewasa. Figur polisi yang bersih tetap bisa lahir dari sebuah lingkungan masa kecil yang buruk. Sementara orang-orang yang lahir terdidik kemudian tumbuh menjadi pribadi yang terkenal, bahkan memegang amanah orang-orang disekitarnya atau memenangkan kontes kecantikan, lantas menafikan hati kecil mereka terhadap sesuatu yang benar dan berlindung dibalik logika yang mereka tempatkan dalam porsi yang terlalu besar. Tapi secara umum saya percaya akan jauh lebih sulit mendidik orang yang sudah ngerti "uang bisa memudahkan banyak hal" dibandingkan membangun fondasi sebuah rumah yang kokoh.

Jack Nicholson dalam Departed pun membentuk Matt Damon menjadi anteknya sejak kecil, dimulai pada detik ketika dia bilang pada si collie sullivan kecil, ".....A man decide who he'll be. No one will give it to you. So you have to take it....."

And the same thing, will do with honesty....

Walaupun mungkin tidak seratus persen sama, karena bibit kejujuran disemai bukan saat mereka sudah menjadi pria atau wanita, bukan pula ketika bayi sudah bisa memanggil ibunya, tapi saat setiap tetes rizki yang halal menyusun wujud kita dalam rahim mulia seorang ibu, lantas disambung dengan lantun "panggilan Tuhan" dari seorang ayah untuk pertama kalinya...


ini contoh, bukan wartel dewi yang sebenernya..

No comments:

Post a Comment