Sunday, April 29, 2012

Tamu di Loteng

Awalnya saya pikir kucing adalah makhluk yang tak meninggalkan anak yang baru dilahirkannya. Premis itu rupanya keliru ketika tiga hari lalu saya dan istri saya mendengar tiga suara kecil di loteng rumah. Istri saya sebenarnya takut kucing, sementara saya juga tidak ingin bermasalah dengan protozoa toksoplasma pada saat-saat kami sedang memprogram kehamilan. Ditambah minimnya pengetahuan kami tentang merawat bayi kucing, kehadiran tiga makhluk kecil lucu itu awalnya membuat kami ragu.

Toh akhirnya kami tak sanggup melepaskan mereka begitu saja di luaran. Tidak ketika usia mereka belum genap sebulan, belum lengkap fungsi indera pendengaran dan penglihatan sehingga kumis masih menjadi alat bantu memahami keadaan sekitaran. Maka akhirnya jadilah mereka bertiga kami anggap sebagai berkah. Tamu sekaligus Hadiah untuk kami belajar mencintai makhluk hidup lain. Latihan untuk saya yang penidur ini agar bisa terjaga sewaktu-waktu ketika nanti misalnya datang tanggung jawab panda-panda kecil yang kami rindukan.

Sementara istri saya membuat susu formula, saya yang bertugas menyuapi mereka. Tidak mudah memang menyuapi anak-anak kucing ini. Lepek, dot, sendok dan kapas telah kami coba. Yang terakhir katanya yang terbaik agar asupan susu tak masuk ke paru-paru. Lebih tidak mudah lagi ketika saya mencoba memandikan mereka kemarin setelah membaca bahwa anak-anak itu perlu dibersihkan dua kali seminggu.

Tapi yang tersulit rupanya memberi mereka nama. Hehe...Panggilan adalah hal krusial untuk ketiganya merasa nyaman dan mau makan atau menerima perawatan. Interaksi dengan kucing lebih lama ketimbang jalinan manusia dan anjing. Istri saya awalnya mengusulkan tono, toni, dan tini untuk tiga bersaudara ini. Pada akhirnya kami sepakat memanggil mereka si putih '..LEE..', si coklat '..KEN..', dan si belang cantik '...ZOEY...'. Ken paling doyan makan, lee paling senang bermain, sementara zoey paling gampang tertidur.

So here, meet our kitty.... ^^

Thursday, April 12, 2012

W.I.L.L

Sore kemarin istri saya membacakan 'cerita pengantar tidur' yang rupanya memiliki pesan tentang beberapa kejadian setelahnya.  Adalah cerita Sunaryo Adhiatmoko tentang Misno dan Sikem, sepasang suami istri yang tinggal di sebuah desa pegunungan selatan Jawa Timur yang masyarakatnya masih mengkonsumsi tiwul sebagai makanan pokok.

Kehidupan sederhana mereka jalani dengan menjejakkan telapak kaki tanpa alas, diatas jalan berbatu dan aspal yang panas saat matahari membakar setiap kali mereka berdua berjalan kaki menuju pasar yang jaraknya tigapuluh kilometer dari desa mereka.  Misno dan Sikem adalah penjual rinjing (kerajinan dari bambu).  Rinjing-rinjing tersebut bukanlah buatan Misno dan Sikem, melainkan produk apara tetangganya. Mereka berdua hanyalah perantara yang membantu keluarga-keluarga miskin tersebut mendapat penghasilan.

"..Tidak usah berhitung kalau mau membantu orang.  

Gusti Allah mboten sare (Allah tidak tidur).."

Begitulah filosofi mereka tentang aktivitas berangkat berjalan kaki sejak pukul tiga pagi hingga tiba di pasar jam sebelas malam, lalu tidur di emperan pasar sembari menunggu pembeli yang berniat membeli dagangan tetangga mereka itu.  Barang-barang yang setelah seharian untungnya tak lebih dari dua puluh ribu perak.  Dan sebagian keuntungan itu, sepulang dari pasar, disisihkannya untuk membeli tulang-tulang sisa daging racikan dari warung-warung soto sepanjang jalan.  Mereka membelinya di banyak tempat agar tak terlalu  malu.  Ini oleh-oleh mewah untuk dimakan bersama tetangga mereka katanya.  Begitu terus berulang selama dua puluh tahun.



Dini harinya, ribuan kilometer di barat desa tempat tinggal Misno dan Sikem, di belahan dunia dan kisah lain, muncul sebuah semangat yang sama besar.  Dalam suasana DW Stadium yang dipenuhi 18 ribuan penduduk kota kecil tersebut, dipimpin Roberto Martinez, sebuah tim kecil melakoni misi mustahil yang seringkali dipadangkan dengan alur cerita The Great Escape.



Pasca kekalahan kontroversial di Stamford Bridge, ditambah rekor 14 kali pertemuan sebelumnya yang tak pernah sekalipun menghasilkan angka, kualitas individu yang kalah jauh, tertekan situasi di jurang klasemen dan rentetan pertandingan berat yang menguras energi membuat hampir semua pengamat menghapus peluang mereka untuk menang.

Tapi sepakbola adalah pertandingan sebelas manusia lawan sebelas manusia. Semua angka statistik pertemuan masa lalu yang kadung terekam di atas kertas bisa tak lagi berarti ketika bola mulai digulirkan.  Hanya mereka yang menihilkan diri sendiri akan harapan peluang yang masih terbilang.

Dan Roberto Martinez jelas bukan salah satunya.   Pria Spanyol pecinta passing football ini, rupanya mengerti betul bagaimana Athletic Bilbao dan Basel berhasil mengeksploitasi kelemahan cara bertahan United menghadapi formasi yang fluid dan terus menekan sepanjang pertandingan.  Karenanya, Shaun Maloney, James McCarthy, Victor Moses dan Mohamed Diame difungsikannya begitu mobil.  Toh semua strategi butuh sesuatu yang lain untuk bisa dieksekusi.  Dan Shaun Maloney dkk pagi tadi memiliki apa yang dibutuhkan untuk mewujudkan skema permainannya, ENERGI.  Tujuh tembakan harus diterima De Gea, satu diantaranya melengkung indah ke pojok kiri atas mengakhiri catatan clean sheetnya yang sudah terentang lima pertandingan.

Sebaliknya, tak siap dengan bagaimana lawan mereka bermain, para pengejar gelar tertampar.  Bahkan Ryan Giggs yang kenyang pengalaman pun tak luput dari serangkaian kesalahan umpan.  Hanya dua tembakan sepanjang pertandingan melawan sebuah tim papan bawah jelas tidak bisa diterima oleh perfeksionis seperti Alex Ferguson.

Fergie seusai pertandingan berujar bahwa ini hanyalah satu dari sedikit malam dimana segalanya menjadi buruk.  Namun lebih dari itu, kentara sekali bahwa jika United nantinya benar-benar meraih gelar, maka tanggal 8 januari 2012 lalu akan dikenang sebagai salah satu tanggal terpenting yang mengubah peta persaingan juara musim ini.  Paul Scholes kembali dari pensiunnya hari minggu itu dan dua belas pertandingan setelah ia kembali, Manchester United meraup 11 kemenangan dan 1 kali imbang.  Pagi tadi, tanpa Scholes yang diistirahatkan, Carrick tak mampu sendirian mengontrol ritme dan persaingan gelar juara yang tiga hari lalu seperti tinggal sebuah prosesi, kini kembali meninggi.  Pagi tadi juga sekali lagi sebuah alarm yang akan menghantui Fergie jika di musim panas nanti ia tak bisa menemukan sosok muda pengganti setara sang pangeran jahe.

Tapi lupakan dulu tentang gelar dan ambisi tinggi lainnya yang terdampak situasi pagi tadi.  Sejenak biarlah kesempatan ini ada lebih untuk mengapresiasi permainan Wigan.  Benar, dengan QPR menuai hasil positif juga semalam, hasil ini belum tentu membuat Wigan bertahan di liga primer.  Benar, bahwa jadwal tandang berat selanjutnya di Emirates Stadium bisa jadi akan kembali menghempaskan mereka ke jurang degradasi.  Toh untuk satu malam mereka telah memberi penonton pelajaran tentang perjuangan.  Menggali jauh kedalam batas-batas normal, Wigan menemukan energi yang bisa jadi timbul dari rasa ingin berkorban untuk orang-orang yang mencintai klub kecil yang tak banyak ambisi ini.

Sama seperti apa yang menjadi landasan Misno dan Sikem merelakan diri melakoni peran Mbah Rinjing tanpa mimpi tinggi untuk menjadi pahlawan perbaikan perekonomian.  Sekedar pemahaman bahwa begitu berarti keuntungan kecil yang bisa didapat keduanya bagi para tetangga sehingga jika Misno dan Sikem tak berjualan sekali saja, maka tetangganya tak bisa makan, Gaplek!

Pernah dalam sebuah kesempatan mereka sakit dan tak bisa berjualan, lalu  datanglah seorang tetangganya yang kala itu bermaksud meminjam gaplek...

"..sudah ambil saja, kasihan anak-anakmu kalo tidak makan.."

Demikian kata Sikem pada tetangganya itu walau ia sendiri sebenarnya tak memiliki cukup persediaan untuk keluarganya.

Mengerti situasi, sedikit segan, sang tetangga balik bertanya "..lha sampeyan bagaimana nanti?.."

"..Tidak usah dipikir, biar Gusti Allah yang mikirin saya..",
 
tandas Sikem bernas. Ia memenuhi pesan Tuhan untuk mencintai orang lain sebagaimana ia mencintai diri sendiri.

Kekuatan hati semacam itu telah membuat Sikem bertahan, bahkan ketika ia hampir saja runtuh menghadapi kepergian Misno-nya tercinta.  Hanya untuk kemudian ia bangkit bersama wasiat Misno untuk terus berjualan demi tetangganya.  Sendirian ia susuri kembali jalan-jalan panas yang dulu dilaluinya berdua seakan Misno tak pernah pergi dari sampingnya.

Enam tahun kemudian, Sikem pulang untuk berkumpul kembali dengan Misno-nya tercinta.  Tak ada lagi Mbah Rinjing, tapi apa yang dilakukannya tetap ada dan dikenang mereka yang tersentuh karenanya.  Istri saya pun hampir menangis membaca cerita pengantar tidur ini.  Dalam dunia yang berbeda, kemenangan bersejarah Wigan atas United juga suatu saat bisa jadi tak lagi berarti banyak menghadapi kerasnya persaingan.  Namun sikap dan cara mereka berjuang akan lekang bagi penduduk kota kecil mereka.  Misno, Sikem, Roberto Martinez dan para pemain Wigan menemukan hal yang sama....

KEKUATAN KEINGINAN, ADALAH PINTU HARAPAN UNTUK BERTAHAN...




#NOWPLAYING : HIDUP ADALAH PERJUANGAN/DEWA

Tuesday, March 27, 2012

Stop Bikin Bingung Masyarakat

[ Demo yang tepat teman, negeri ini butuh kepercayaan, bukan kerusuhan ]

 Pada saat saya menulis ini, saya yakin polemik mengenai rencana kenaikan harga bahan bakar minyak sudah menjadi isu politik, bukan lagi semata soal perekonomian negara. Ada orang-orang yang semula menyarankan agar harga bbm dinaikkan, kini berbalik 100%, dan sebaliknya.  Ada orang yang awalnya diam saja, tiba-tiba muncul dengan segepok pengetahuan tentang seluk beluk anggaran nan penuh kebohongan.  Ada juga orang-orang yang membela kenaikan BBM dengan argumen yang justru memicu pertanyaan.  Entahlah, saya terlalu jauh dari data-data untuk bisa menganalisa.

Yang jelas terlintas, saya yakin pada akhirnya bahan bakar minyak yang ujung-ujungnya selalu bikin bingung masyarakat memang harus ditinggalkan.  Sudah terlalu sering kita menghabiskan energi untuk hal ini.  Setiap presiden pada akhirnya juga dihadapkan pada situasi yang serupa, dilema tentang harga. 

Energi baru yang terbarukan jangan lagi dijadikan mimpi jangka panjang karena rakyat butuh solusi cepat.   Tingginya tekanan harga minyak dunia harus menjadi titik kesadaran.  Kesempatan bagi mereka yang sudah bosan membolak-balik angka anggaran untuk menyesuaikan.  Karenanya investasikan sumber daya manusia dan modal dalam jumlah yang berlipat dibanding sebelumnya.  Negeri ini saya yakin punya lebih dari cukup otak-otak cerdas yang bisa mewujudkannya.  Negara harus menjalankan fungsi fasilitasinya dengan lebih baik dalam hal ini. 

Dan tentang urgensitas anggaran dan ekonomi jangka pendek, saya berpendapat bahwa seharusnya jika pun harus naik, apakah tidak mungkin BBM yang dinaikkan sementara adalah yang diperuntukkan bagi konsumsi mobil pribadi saja...?? 

Mereka yang menggunakan mobil pribadi, saya yakin bukan orang yang pantas mengaku tersedak karena harga minyak.   Jangankan 6000, saya pikir mereka yang menggunakan mobil pribadi malah justru harus dilarang sekaligus untuk membeli BBM bersubsidi.    With greater power, comes greater responsibility, tutur Paman Ben pada keponakannya, Peter Parker.

Sedang sepeda motor, walaupun memang pertumbuhan jumlah dan prosentase konsumsi BBM bersubsidi-nya makin besar, pada akhirnya memang masih menjadi jalan bertahan bagi sebagian besar strata masyarakat menengah ke bawah di negeri ini.  Iya, menengah ke bawah yang berpotensi menjadi miskin ketika salah satu aset terbesar mereka terlumpuhkan karena kenaikan biaya operasional dan efek dominonya pada harga-harga bahan pokok yang praktis juga akan terpengaruh karenanya.  Maka jikapun nantinya tetap harus naik, seyogyanya lakukan secara bertahap dan janganlah terlalu tinggi besarannya. 

Bagaimana dengan kendaraan umum? 


Mereka seyogyanya ada di peringkat terakhir pihak yang harus mengalami kenaikan harga bahan bakar minyak.  


Tak kalah penting dengan ide menaikkan harga BBM bersubsidi, saya pikir efisiensi anggaran di tingkat pusat dan daerah yang banyak dituntut mereka yang kontra terhadap rencana pemerintah tentang minyak ini memang sesuatu yang nyata bisa dilakukan.  Permasalahannya, mau tidak para birokrat yang memegang kendali anggaran di Pusat dan Daerah repot-repot untuk mengevaluasi anggarannya.  Dalam kacamata awam nan sempit saya di kedinasan, memang masih banyak kok kegiatan yang bisa ditunda pelaksanannya.  Jika 1 SKPD di 1 Daerah bisa menghemat 50 s.d 100 juta, bayangkan total anggaran yang bisa dihemat di seluruh Indonesia.  Bayangkan lagi jika kita bisa menyetop kebocoran-kebocoran anggaran di banyak pos pengeluaran.  

Selain dua hal itu, saya pikir orang-orang yang memiliki cukup pengetahuan, semacam Mahasiswa  dan Pegawai Negeri harus pula berkontribusi nyata dalam mengurangi konsumsi energi minyak negeri.  Sungguh seringkali terheran saya ketika melihat kampus-kampus dan perkantoran penuh sesak dengan kendaraan pribadi, dan kemacetan timbul di sekitar lokasi yang seharusnya menjadi pelopor masa depan. 

Jika memang, dan memang transportasi publik saat masih belum bisa diharapkan kehandalannya, kenapa tidak mahasiswa menginisiasi gerakan berangkat ke kampus bersama.  Carter kendaraan umum untuk dinaiki sesama rekan satu almamater.  Selain melatih disiplin waktu, siapa tahu ketemu jodoh di dalam angkot itu?  Hal serupa juga seharusnya dapat dicontohkan dalam sistem berangkat berkantor bagi pegawai negeri.   Reduksi kesulitan transportasi massal dalam komunitas-komunitas.  Sementara para pimpinan bisa mengembangkan dengan 'sedikit' paksaan atau insentif positif.  Jika perlu, tambah porsi berjalan kaki.  Berangkat bersama-sama pasti lebih romantis.   Toh kos-kosan pasti tak jauh dari pusat pendidikan bukan...? 

Saya menamainya transportasi komunitas.  Entah apa sebenarnya nama yang tepat... ^^



Friday, March 16, 2012

Kelas, Respek, Cinta

Mereka yang mengukur respek berdasarkan kelas sosial tertentu, maksimal, hanya akan berakhir pada sekedar penghormatan.  Sedang, mereka yang tidak memandang kelas dalam hubungan sosial berarti memberikan kesempatan bagi mereka tumbuh sebagai pribadi yang dicintai.  Keduanya bukan soal benar salah, hanya soal pilihan apakah seseorang ingin dihormati? atau dicintai...?

Wednesday, March 7, 2012

One Day

Beberapa hari lalu, istri saya, diantara cengkerama kami, meminta saya mendefinisikannya dalam tiga kata.  Saya menjawabnya dengan REAKTIF, PERSISTEN dan MUDAH TERSENTUH.  Satu penggal situasi dalam One day, tadi malam, adalah contoh paling akhir tentang bagaimana ia, dibalik kengototan prinsip yang seringkali diperlihatkannya, adalah tetap saja wanita yang mudah tersentuh dengan visualisasi. ^^




Friday, March 2, 2012

B U W U H

Tanggal muda, bulan Maret. di meja sudut kantor, istri saya menulis nama kami berdua di pojok kiri atas amplop yang saya sodorkan. Ada agenda ‘buwuh’ sunatan teman kantor siang ini dan amplop tentu saja menjadi bagian dari preparasi kami. Awalnya saya ingin memisahkan amplop masing-masing, walaupun akhirnya saya pikir buang-buang kertas saja. Kenapa saya ingin memisahkan?

Ada satu hal yang menarik tentang pemberian amplop berisi sejumlah sumbangan uang bagi penyelenggara hajatan. Sejak lama, saya selalu penasaran mengapa sebagian besar orang yang saya temui cenderung menuliskan namanya diatas amplop ‘buwuh’ tersebut. “..Untuk memudahkan sang pemilik hajatan membalas budi...” atau “..biar bisa bebas dari rasa tidak enak untuk makan sampai puas..”, demikian jawaban beberapa orang yang saya tanyakan asal muasal ‘penamaan amplop’ itu.

Istri saya termasuk salah satu yang memberikan jawaban senada. Sedang saya, sejak pertama kali mendapat undangan sebuah acara hajatan, justru tidak pernah menuliskan nama saya di amplop. Menurut saya, adalah aneh, sebuah pemberian diserahkan dengan embel-embel ‘harapan suatu saat ketika kita ganti memiliki hajatan, nominal itu akan dikembalikan’. Suatu ketika saya malah sempat emosi ketika saat itu, karena berhalangan hadir, saya bermaksud menitipkan sebuah amplop ‘buwuh’ pada seorang teman, namun ia memaksa saya untuk menuliskan nama saya diatas amplop, hanya karena menurutnya itu sudah menjadi tradisi.

Sementara itu beberapa orang lain berasumsi bahwa dengan memberikan nama diatas amplop, seseorang akan bisa melegitimasi kelas sosialnya atau memenuhi ambang batas kewajaran sebuah kedudukan. Seorang pimpinan misalnya, akan merasa tidak nyaman jika memberikan amplop kurang dari 100 ribu rupiah untuk sebuah acara sunatan. Istri saya juga pernah bercerita bahwa salah seorang temannya, mendapat amplop kado pernikahan berisi uang 3 juta dari supervisornya. Dalam kasus lain, seorang bawahan merasa tidak enak ketika datang ke hajatan pimpinannya tanpa memasukkan selembar uang 100 ribuan kedalam amplopnya. Relatif memang volumenya, namun keduanya sama, diberi nama dan akhirnya membuat pemilik hajatan melegitimasi kelas si pemberi amplop.

Jadi, berapa isi amplop yang ‘pantas’ diharapkan dari seorang pegawai negeri golongan IIIA semacam saya dan istri saya? 25 ribu? 50 ribu? 100 ribu? Atau lebih?

Lantas, akankah ketika nanti misalnya saya menjadi pimpinan sebuah institusi, apakah saya harus berkaca pada posisi sebelum memberi?

Sejauh ini, saya merasa tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Dan karenanya saya yakin, pilihan membiarkan amplop kosong adalah yang terbaik, untuk saya. Saya pernah memberikan amplop berisi uang 25 ribuan saja pada seorang yang anggaplah teman dekat bagi saya. Posisi yang mungkin seharusnya ‘menuntut’ saya memasukkan nominal lebih. Apakah itu berarti saya pelit dan tak menulis nama hanya karena malu?

Entahlah, yang jelas di dompet saya saat itu memang cuma tersisa uang total 50 ribu, saya tak punya prospek pendapatan dan harus makan untuk seminggu kedepan.

Sebaliknya, suatu ketika saya pernah mengisi amplop berisi 100 ribu dalam sebuah hajatan teman yang tak terlalu saya kenal. Lantas, apakah saya sudah memiliki kelas lebih saat itu?

Sama seperti amplop untuk teman saya, amplop itu juga tanpa nama.

Menurut saya, apapun yang telah saya masukkan kedalam setiap amplop ‘buwuh’ itu, tak pernah lagi saya harapkan akan kembali, dalam nominal yang sama, apalagi lebih. Dalam banyak kesempatan, saya menentukan nominalnya karena secara logis, itulah angka yang saya bisa sediakan saat itu.

Pada akhirnya, amplop bagi saya adalah bagian dari penghormatan pada si empunya acara, bukan segala-galanya. Tak ada pentingnya nama diatas amplop saya. Entahlah jika mereka tidak bersungguh-sungguh dengan tulisan..
“..kehadiran anda adalah yang utama..”

Oh ya, ini tetap MENURUT SAYA, tak harus menjadi SEHARUSNYA....

Thursday, February 23, 2012

A Bright Day For Laundrymen, A Cloudy Day For Openspace

Bayangkan, saya baru saja membeli sebuah rumah, lunas walau sertifikat masih diurus.  Rumah yang karena sederhana maka sisa uang yang saya miliki sekarang saya alokasikan untuk menuntaskan pondasi taman dan jemuran di sisa lahan belakang rumah.  Lantas siang hari ini seseorang asing, akunya orang penting, datang mengetuk pintu, dan menunjukkan sertifikat tanah saya, hanya saja atas nama dia.  Sertifikat yang dibelinya dari mantan seseorang, suatu waktu sering dipanggil yang terhormat.  Maka bisakah anda perkirakan perasaan saya sekarang?