Friday, July 15, 2011

Sabra-Shatila

"..mungkin kedengarannya retoris, namun di segenap sejarah orang-orang yang memperjuangkan keadilan, tidak ada yang terdengar terlalu retoris.."
Ang Swee Chai pada Francis Khoo


Tuhan meminta mereka yang percaya pada-Nya untuk tidak mencintai atau membenci sesuatu terlalu dalam karena bisa jadi suatu saat apa yang dicintai atau dibenci itu akan mengalami rotasi, berganti posisi. Orang-orang akan berubah seiring temuan-temuan dalam pengalaman yang dihadapinya.

Dari Beirut ke Jerusalem adalah mimpi abadi setiap orang Palestina di pengasingan. Ini bukanlah rekaan semacam Kingdom of Heaven. Diusir dan dibuang ke pengasingan sejak tanah air Palestina diubah menjadi Israel pada 1948, jutaan warga yang merana di kamp-kamp pengungsi di seluruh Lebanon, Suriah, Yordania dan lainnya tak pernah berhenti berharap untuk pulang. Bagi teman-teman dan keluarga mereka yang tinggal di Gaza dan Tepi Barat dan hidup di pendudukan sejak 1967, Palestina juga merupakan sebuah gagasan yang takkan mati.

From Beirut To Jerusalem adalah cerita blak-blakan tentang apa yang telah dan masih terjadi di Palestina.
Sebuah cerita tentang seorang dokter luar biasa, sumpah Hipokrates dan sisi kemanusiaannya diantara pergulatan politik di Timur Tengah. Mengikuti kesaksiannya membuat kita seharusnya merasa beruntung masih bisa makan enak dan hampir setiap saat bebas memainkan media sosial. Kita banyak mengeluhkan banyak hal remeh seakan-akan kita orang paling menderita di dunia, sementara sejatinya ada hal-hal lain yang bisa mengingatkan kita. Hal-hal yang kadang kita anggap, "..ah terlalu absurd untuk orang minim sumberdaya seperti kita..". Lalu untuk sekedar memikirkannya pun akhirnya kita jengah.

Ini adalah pengalaman yang membawa perubahan dalam diri Dr. Ang Swee Chai, seorang kristen fundamentalis yang dulu mendukung Israel dan Palestina adalah sarang teroris. Ia menemukan jawaban sesungguhnya di Sabra-Shatila....

"...Pada awalnya aku terlalu sibuk sehingga tak sempat memikirkan apapun. Namun kini aku mengetahui, bahwa sementara kami berusaha keras menyelamatkan sejumlah orang yang berada di bangsal operasi Rumah Sakit Gaza, ribuan orang di kamp sedang sekarat. Selain ditembaki, orang-orang itu juga disiksa sebelum dibunuh. Mereka dipukuli secara brutal, kabel-kabel listrik diikatkan di tangan dan kaki mereka, mata mereka dicungkil, wanita-wanita diperkosa, bahkan lebih dari sekali anak-anak diledakkan hidup-hidup dengan dinamit. Sambil menatap tubuh-tubuh yang sudah tak berbentuk itu, aku mulai berpikir bahwa mereka yang langsung mati adalah orang-orang yang beruntung.

Rentetan tembakan senapan mesin yang kami dengar dari dalam rumah sakit bukan merupakan pertempuran antara kelompok PLO dan tentara israel seperti yang kukira, tetapi itu adalah suara pembantaian keluarga-keluarga di kamp. Suara ledakan hebat yang tadi kami dengar adalam suara bom-bom yang meledakkan rumah-rumah di kamp. Kamp-kamp itu dijaga ketat oleh tank-tank Israel, sehingga bahkan seorang anak kecil pun tak bisa menyelinap keluar. Kami meminta dua ribu orang yang bersembunyi di Rumah Sakit Gaza untuk melarikan diri, padahal mereka tak punya tempat untuk bersembunyi. Jadi mereka semua ditangkap setelah keluar dari rumah sakit, dan banyak dari mereka yang kemudian dibunuh. Orang-orang yang penuh harapan untuk kembali hidup dalam kedamaian kini tinggal tubuh-tubuh yang rusak...

...Keahlian bedahku memungkinkanku untuk merawat beberapa orang, menyelamatkan mereka, hanya untuk kemudian dikembalikan ke jalan tanpa senjata, ditembaki lagi, dan kali ini berhasil. Aku benci ketidaktahuanku yang membuatku tertipu sehingga percaya bahwa kami semua punya harapan nyata akan terwujudnya perdamaian di Sabra dan Shatila-sebuah kesempatan nyata untuk sebuah kehidupan baru...
"
[ Dicuplik dari Bab Enam ]



FROM BEIRUT TO JERUSALEM
DR. ANG SWEE CHAI

No comments:

Post a Comment