Thursday, March 11, 2010

" ASUMSI "

Pukul 19.35 waktu setempat, sebuah pesawat boeing berpenumpang 105 orang tak lama lagi akan mendarat. Mendadak terdengar kegaduhan dari kabin penumpang kelas bisnis yang diisi 8 orang dalam suasana yang mulai gelap karena cahaya lampu kabin mulai dikurangi menjelang pendaratan. Lima menit kemudian kegaduhan terhenti.

Keheningan menyergap kala seorang penumpang ditemukan tewas tertelungkup di lorong antar kursi, dekat dengan troli pengantar makanan yang rubuh dan terserak isinya.
Setelah dilakukan serangkaian penyelidikan yang mendalam, akhirnya polisi bisa menyimpulkan bahwa tewasnya penumpang itu bukan karena serangan jantung sebagaimana diceritakan para penumpang (saksi). Tapi ini adalah kasus pembunuhan tak terencana yang melibatkan hampir seluruh penumpang di kabin bisnis tersebut!!!!

Sebuah fakta yang sulit dipercaya karena pelakunya berarti terdiri dari seorang ilmuwan terkemuka, seorang ibu muda yang terbang bersama anaknya, seorang eksekutif muda yang kaya, dan sepasang lansia yang akan berlibur mengunjungi anaknya.

Pemicunya adalah mereka sejak awal terganggu perilaku aneh korban. Bahkan mereka berasumsi bahwa korban membahayakan penerbangan saat menggedor-gedor pintu kokpit sambil berteriak-teriak seperti orang gila sehingga mereka pun kehilangan kesabaran dan memukuli korban yang akhirnya tewas karena tak sengaja tertusuk pecahan botol.

“Apakah memang semua orang berpotensi melakukan pembunuhan dalam kondisi terancam?"

Begitu lontaran seorang detektif wanita yang masih saja penasaran dengan temuannya sendiri. Dia menyatakan tak mungkin baginya menghilangkan nyawa orang lain. Lantas seorang rekannya yang lain menjawab, "Jika menyangkut keselamatan anakku, aku akan melakukan segalanya". Jawaban ini diamini seorang detektif lainnya. Pendapat para detektif itu pun terbelah…

Lalu pertanyaan itu pun mereka ajukan pada kepala detektif dan ternyata ia tak mau memilih jawaban tertentu. Menurutnya tidak penting apakah mereka bisa melakukan pembunuhan atau tidak, karena ia melihat rekan-rekannya sudah keluar konteks, mendiskusikan hal ini hanya dari sudut pandang penumpang. Sementara tidak ada yang mencoba melihat sudut pandang si korban. Dia bilang, "…Butuh 5 orang untuk membunuh satu orang. Seandainya saja ada 1 dari 5 orang itu yang sedikit bersabar dan dengan jernih mencoba menenangkan si penumpang sembari menanyakan kenapa dia bertindak aneh, tanpa membunuh. Maka mungkin mereka akan tahu bahwa keanehan sikap penumpang itu karena ia mengalami sakit kepala hebat dan penurunan kesadaran pasca meminum obat perawatan sakit jantung yang ia minum, dan bukan karena ia orang jahat…..”.

Adalah fakta bahwa orang, termasuk kita memang cenderung membuat asumsi terhadap sebuah kejadian, sebelum mendapatkan fakta yang cukup. Kedewasaan berpikir yang dilandasi pemahaman religious yang benar memang memegang peranan penting untuk mengendalikan dua sisi, baik dan buruk yang memang ada dalam setiap pribadi. Kita memang terlahir suci, fitri, adalah pilihan-pilihan buruk yang kita lakukan dalam hidup setelah kelahiran yang kupikir menjadi pemicu lahirnya sisi lain dari kita.

When meaningless existence comes into focus,
And our purpose presents itself.
And if we have the strength to be honest,
Then what we find there staring back at us
Is our own reflection...
Bearing witness to the duality of life...
That each one of us
Is capable of both the dark
Of either...of all....


Tapi bukan cuma faktor internal itu saja yang menentukan seberapa tepat asumsi kita. Kemajuan dan keterbukaan komunikasi seringkali mendorong sebagian pihak memanfaatkan celah yang tersedia di media, mempengaruhi pola pikir masyarakat dengan fakta yang setengah-setengah, sebagai alat untuk mencapai tujuan legal justice, politis atau financial terselubung mereka. Sementara media pun kadang terpeleset dari fungsinya sebagai penyampai fakta dan warta, menjadi pembentuk opini atau lebih parah lagi, pencari sensasi dengan alasan “rating”.

Ketika upaya pihak-pihak itu berhasil, terjadilah reaksi berantai berdasarkan asumsi subjektif yang menimbulkan dampak luar biasa. Semuanya terkadang kita lakukan tanpa benar-benar mengerti dulu duduk perkaranya. Menyalahkan ahli agama sementara kita sendiri tak jelas shalatnya. Memaki-maki ahli ekonomi sementara kita bahkan tak mengerti cara mengukur inflasi dan dampaknya.

Maka di akhir cerita, ketika kita melihat lagi dengan lebih bijak setelah hiruk pikuk, Nasi pun biasanya sudah menjadi bubur. Tapi ini juga asumsi, karena siapa tahu kita juga suka dan sengaja bikin bubur… :D

But destiny, while marching ever in our direction,
Can be rerouted by the choices we make...
To be good, or become evil
By the love we hold onto
And the promises we keep...

No comments:

Post a Comment