Sunday, March 21, 2010

MINORITAS

Hujan sepanjang sore masih meninggalkan jejak wangi tanah yang basah, kala dua sahabat itu duduk di teras rumah ditemani secuil kehangatan yang mengepul dari mangkuk-mangkuk bakso dihadapan mereka. Dalam rengkuhan dingin malam yang mulai menyergap pori-pori, kawanku, si pemilik rumah, bercerita banyak tentang pengalamannya menuju negeri yang konon pertama kali memainkan sepakbola, Tiongkok. Tentang “kekagumannya” pada istana megah yang menyimpan sejarah seorang kaisar dan 3000 orang selirnya. Lalu kesuksesannya melakukan tawar menawar di sebuah pasar murah yang menjual “iPhone” seharga 250 yuan (Rp. 500 ribuan). Juga cerita tentang rumah makan muslim yang menyajikan minuman beralkohol dan penerbangan Cathay Pacific yang menyediakan layanan tivi berlayar sentuh dihadapan setiap kursi passenger-nya. Kami memang lebih terbiasa menaiki pesawat yang "sedikit" lebih ekonomis dan terkadang menyertakan paket terapi kesabaran dalam "manual boarding" nya...

Lalu diantara cerita-ceritanya komikalnya itu, terselip sebuah cerita menarik tentang prosesi salat jumat di negeri komunis dengan pertumbuhan ekonomi dua digit yang dikunjunginya pekan lalu itu. Dia sebagaimana kita tentunya telah terbiasa dengan durasi khotbah yang tak kurang dari lima belas menit, bahkan lebih. Maka ia pun terheran-heran saat didapatinya dua kali khotbah jumat di salah satu masjid besar di Beijing itu tak lebih lama dari dua menit. Lebih singkat dari waktu tunggu pesanan burger dan french fries di gerai-gerai fast food bukan??.

Warisan Islam telah lama menjadi bagian sejarah Tiongkok, bahkan lama sebelum adanya kunjungan resmi panglima besar penakluk Persia, Saad Bin Abi Waqash pada masa Dinasti Tang (650 M) dan tidak sembarang orang bisa menjadi khatib sebuah masjid besar dan kompleks studi islam di Beijing. Jadi rasanya minimnya durasi khotbah tidak memiliki korelasi dengan kualitas khatib.

So the reason is, suka tidak suka, dunia yang kita kenal tersusun dalam beragam dikotomi yang mengintimidasi atas dasar konsensus mayoritas yang seringkali serta merta dianggap sebagai kebenaran. Begitu banyak gambaran fakta nan klise bahwa ketika dihadapkan pada iming-iming kekuasaan, maka manusia memang makhluk yang tidak mudah belajar dari catatan buruk masa lampau. Tak terhitung jumlah film (entah dilebih-lebihkan atau tidak) yang bercerita tentang Nazi sementara Don Cheadle memainkan peran luar biasa yang membuat banyak orang mengerti mengerikannya pembantaian di Rwanda, tapi lihatlah apa yang terjadi sekarang di Palestina. Bahkan negara adikuasa pun menjadi kucing persia yang manja dihadapan zionis-zionis biadab yang entah kapan bisa dihentikan menumpahkan darah tanah suci tiga agama itu.

Wajah politik strategis Tiongkok, walaupun memang telah berubah dibanding tiga atau empat dekade lampau kala Reformasi Keagamaan 1958 dan Revolusi Kebudayaan 1966-1976 membawa kehancuran masjid-masjid dan diasingkannya imam dan pemuka islam. Tapi adalah juga fakta bahwa ini masihlah negeri yang dipimpin oleh partai komunis dan memajang banyak sekali foto Mao seukuran rumah dua lantai di berbagai sudut publik space disana.

Seorang pengurus Osman Ramju Sadick Islamic Centre, Sulieman Wang, mengatakan, ''Di Tiongkok, seorang imam tak dapat berceramah di masjid di mana ia tak terdaftar sebagai penceramah,'' ungkapnya. Muslim Tiongkok, kata Wang, ingin melakukan unjuk rasa soal Gaza, namun tak diizinkan oleh negara. ''Kami katakan bahwa kami sangat marah, namun tak dapat melakukan apa pun. Di Tiongkok, kami tak bisa melakukan unjuk rasa,'' katanya. Wang menambahkan, sistem pendidikan di Cina juga melarang Muslim untuk lebih memahami keyakinannya.

Dan cerita sahabatku tentang “ruang kecil” bagi khotbah dan kumandang adzan yang masih terjadi di Tiongkok pada akhirnya hanyalah sebuah cermin kecil inferioritas yang masih dirasakan mereka, saudara muslim kita yang menjadi bagian kecil masyarakat agamis diantara kekuatan mayoritas komunis di Tiongkok. Manusia terbukti telah mampu berevolusi menghadapi perubahan, hanya untuk terjerumus dalam konklusi mengerikan yang sama, bukan saja dalam memperlakukan lingkungan tapi juga kelompok manusia lain yang lebih lemah.

Jadi, apa yang kamu rasakan? merasa beruntung lahir di Indonesia?

Terlepas dari carut marut politik dan hukum dalam negeri yang telah membuat aku jengah, lelah dan sering memilih tinggal dalam kotak skeptisme, sepertinya begitulah apa yang diiyakan logikaku di akhir pembicaraan sore itu. Tapi lamat-lamat, kupikir kawanku tidak pulang membawa cerita itu hanya untuk disyukuri, seperti halnya kami mereguk hangat setiap sendok kuah bakso yang tersisa di hadapan…

Bahwa dunia yang tersusun dari serangkaian peristiwa kecil, pilihan-pilihan sikap yang sekilas tampak mandiri, sebenarnya terkait dan sinkron terhadap peristiwa yang berdampak lebih massif jika kita bersedia meluangkan lebih banyak waktu kita untuk menggali siratan makna lewat kontemplasi diri. Jangan pernah bermimpi bisa menjadi orang besar ketika kita bahkan tidak tergerak meletakkan puntung rokok pada tempat semestinya. Dan jangan pula mengharapkan kejayaan Islam bangkit ketika kita, bagian komunitas Islam terbesar di dunia, tak mampu menjadi mayoritas yang “melindungi” saudara-saudara kita yang non muslim, saudara-saudara kita yang berdarah keturunan, dan definisi minoritas lain yang ada di negeri ini, sebagaimana Muhammad SAW memperlakukan seisi Makkah saat ia kembali dari Madinah…..

No comments:

Post a Comment