Wednesday, March 9, 2011

#4 | Mitos

Aku terpekur sejenak menatap tulisan di papan jadwal kegiatan diklat. Beberapa teman dibelakangku juga mulai bergumam membahas nama yang tertera sebagai widyaiswara untuk kelasku esok. Ahmad Ismail, sebuah nama yang terlanjur dicitrakan dengan mitos yang mungkin tidak diinginkan para peserta diklat.

Maka seperti yang telah dipesankan banyak kawan, hari itu kami memasuki salah satu ruang kelas paling nyaman di Islamic Center dengan hati-hati. Tak seperti hari-hari lalu, kali ini sebagian besar terdiam, mengetuk pintu dan mengucapkan salam pada sosok yang duduk didepan kelas. Salam yang dibalas pelan dengan tatapan tajam, sedikit menyelidik dan suasana kaku pun menyergap, persis seperti yang dibayangkan. Kursi kayu terasa sempit, dihimpit oleh kecemasan yang mendominasi kepala sebagian besar teman disekitarku. Lalu sebuah suara berat dan lantang menyeruak di udara, mendesak emosi kami ke sudut.


Komunikasi adalah persoalan menyampaikan pesan dan mempengaruhi. "..A Whole process used to reach other minds.." (Dennis Murphy). Sesuatu yang dalam wujud langsung, artinya tak jauh dari kemampuan berbicara dan kecerdasan bahasa tubuh. Dan Ahmad Ismail, pria 60 tahunan yang masih terlihat tampan dibalik gurat-gurat kehidupan di wajahnya itu menggunakan pengaruh suaranya dengan baik. Ia juga menggerakkan jari telunjuknya ke segala penjuru ruangan, dengan raut dingin yang menekan setiap persona untuk mengungkapkan pendapat tentang hal-hal yang dibicarakannya pagi itu. Beberapa topik yang belum kami pahami dan beberapa hal lagi yang sebenarnya mudah dalam situasi komunikasi tanpa tekanan gaya bicara yang (terkesan) intimidatif.


Anda tahu kenapa saya tidak yakin pria itu bermaksud mengintimidasi?

Karena semua hal yang dibicarakannya, semua pengalaman yang diceritakannya, nada suaranya yang keras dan lantang, bagi saya, hanyalah sebuah refleksi kebangsaannya yang tinggi dari seorang yang di tubuhnya mengalir semangat khas darah Madura.
Bahwa Ahmad Ismail menuntut fokus penuh dari orang-orang disekitarnya, maka siapa sih yang tidak ingin dihargai?

Ini adalah pria yang tidak ingin hidupnya terlihat loyo hanya karena by-pass jantung yang belum lama harus dijalaninya. Ahmad Ismail hanyalah sebuah produk yang dilahirkan dari disiplin, berbeda dengan kita yang berkembang dalam sesuatu yang katanya demokrasi. Sesuatu yang terlihat kentara sekali ketika dia memberikan argumentasinya tentang pernyataan Dipo Alam beberapa waktu lalu yang menolak tiga media yang dianggapnya tak lagi proporsional dan cenderung provokatif dalam melaksanakan tugasnya sebagai penyampai kabar. Sebuah pandangan yang kuamini dengan fakta kekuatan sosial politis media yang memang semakin besar mempengaruhi perilaku kehidupan kekinian.

Dan di akhir hari, diantara tepukan apresiasi di dalam ruangan untuk wajah tampan yang mulai menyunggingkan senyumnya, kepala saya perlahan menghapus mitos tentangnya...

****


*Widyaiswara :

adalah pegawai negeri sipil (PNS) yang diangkat sebagai pejabat fungsional oleh pejabat yang berwenang dengan tugas, tanggung jawab, wewenang untuk mendidik, mengajar, dan/atau melatih pegawai negeri sipil (PNS) pada lembaga pendidikan dan pelatihan (diklat) pemerintah.


*Mitos:
adalah sesuatu yang kita percayai dan telah diangap sebagai sebuah kebenaran sejak dahulu tapi sebenarnya tidak selalu benar. Seperti keyakinan di eropa yang lama dianggap sebagai standar ilmiah bahwa seluruh angsa adalah berwarna putih. Keyakinan yang baru terpatahkan oleh fakta tentang adanya angsa hitam di Australia tahun 1697.

No comments:

Post a Comment