Friday, August 26, 2011

Beautiful Boy

Suatu malam, dalam sebuah pertengkaran di hotel, jerat basa-basi yang membebat fakta sesungguhnya tentang kondisi rumah tangga Bill dan Kate, akhirnya lepas juga. Bagi Kate, perasaan terdalamnya adalah bahwa Bill ternyata lelaki yang "such an emotionally absent cliche of a father". Bill membalas bahwa ia tak tahan dengan cara Kate mengatur rumah tangga, bahwa ia adalah "a mother who pick every and everything he had".

Pernikahan -kata teman-teman saya yang sudah menikah tentunya- adalah persoalan menyatukan dua karakter yang terbentuk dalam dua dunia yang berbeda. Dan akan menjadi rumit ketika keduanya tidak dapat mencapai konsensus mengenai bagaimana rumah tangga, termasuk pendidikan anak nantinya dijalankan.

Rasulullah SAW bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang imam adalah pemimpin dan dia akan ditanya tentang kepemimpinannya, dan seorang laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya dan dia akan ditanya akan kepemimpinannya” (Muttafaq ‘alaih).

Saya misalnya, dilahirkan dan dididik oleh seorang ayah dan ibu yang jangankan main tangan, mengeluarkan kata-kata kotor pun tak pernah. ayah saya adalah seorang yang irit bicara, sementara ibu saya walaupun lebih vokal, toh tak pernah nyaman berbincang terlalu lama dengan sesama ibu-ibu di lingkungan rumah misalnya. Teman saya yang lain, dididik dalam lingkungan yang lebih keras -Ayah yang kelewat tegas dan ibu yang banyak ingin tahu anaknya-, kadang merasa iri dan berpikir skema keluarga saya lebih ideal. Saya tidak menolak bahwa Ayah dan Ibu saya memang juara dunia, tapi toh seiring bertambahnya usia, saya lambat laun memiliki konsep yang sama namun akan dieksekusi dengan cara berbeda tentang keluarga dan pendidikan anak nantinya. Ya, benar, masih konsep, karena saya belum 'sah' laku. :D

Sementara itu, Bill dan Kate adalah contoh sepasang orang tua yang karena kesibukan dan karakter, lamat-lamat tak sadar bahwa mereka tidak sepenuhnya mengerti siapa Sammy, anak semata wayang mereka. Maka akhirnya, Sammy tumbuh sebagai seorang anak yang sangat pemalu dan pendiam. Sedang Bill dan Kate terlalu sibuk dengan versi masing-masing tentang ayah dan ibu, lalu tidak mengerti bahwa anak-anak pendiam berpotensi mewakili kesulitan ekspresi emosi. Sesuatu yang jika dipendam bisa meledak menjadi tindakan ekstrim diluar dugaan.

Yang tersisa selanjutnya adalah bahwa dalam situasi mulai meruaknya kerenggangan rumah tangga, mereka harus menghadapi salah satu skenario terburuk. Sammy, "their sole beautiful boy", menjadi pelaku penembakan mahasiswa dan dosen di kampusnya. Sebanyak tujuh belas orang tewas dalam peristiwa itu , termasuk Sammy menembak kepalanya sendiri.

Beautiful Boy memang secara eksplisit menjadi sebuah gugahan bahwa dalam sebuah situasi buruk, ada pihak lain selain korban yang kadang terlupakan untuk dimengerti. Kita terfokus berempati pada korban, padahal ada pihak-pihak lain yang kadang terjebak didalamnya dan harus menghadapi tekanan yang tak kalah berat.

Toh sepanjang durasi, kita akan melihat sesuatu yang lebih dari sekedar itu. Ini adalah tentang bagaimana efek kualitas interaksi orang tua-anak dan betapa Bill dan Kate harus menghadapi konsekuensi kebimbangan yang lazim terjadi pada orang tua ketika seorang anak memilih jalan yang salah. Kadang, mereka hanya bisa terus bertanya mengapa, sekadar karena mereka ingin mencari seseorang yang memberikan jawaban "kalian sudah melakukan yang terbaik, kejadian ini bukan kesalahan kalian. Pada kesempatan lain lagi, mereka justru memilih menghindar dan tidak bertanya, hanya karena mereka berasumsi kejadian ini memang kesalahan dan tanggung jawab orang tua.

Sebagian penonton mungkin akan kesulitan merasuk dalam emosi yang diapungkan Beautiful Boy. Adegan penembakan seperti yang dilakukan Sammy memang terkesan jauh dari angan-angan masyarakat di Indonesia. Lain soal misalnya jika kasus yang diambil adalah anak-anak yang keliru menafsirkan makna jihad dalam wujud bom-bom bunuh diri. Toh ada stereotip yang sama, bahwa kita seringkali tidak sempat mengamati situasi perilaku keluarga kita yang terdiri dari beragam karakter. Atau kita mengerti jika ada 'keunikan' dalam salah satu anggota keluarga, namun tidak mampu berbuat sesuatu karena kita tidak membekali diri dengan cukup pengetahuan.

Ibnu Qayyim al-Jauziyah telah menyatakan tentang besarnya tanggung jawab mendidik anak, yaitu : “Barang siapa yang melalaikan pendidikan anaknya, yakni dengan tidak mengajarkan hal-hal yang bermanfaat, membiarkan mereka terlantar, maka sesungguhnya dia telah berbuat buruk yang teramat sangat”. Mayoritas anak yang jatuh dalam kerusakan tidak lain karena kesalahan orang tuanya dan tidak adanya perhatian terhadap anak-anak tersebut. Juga tidak mengajarkan kepada mereka kewajiban agama dan sunnah-sunnahnya, mereka terlantarkan anak semenjak kecil, sehingga mereka tidak dapat memberikan manfaat kepada diri sendiri dan orang tuanya.

Lucu memang seorang bujang lapuk membicarakan pendidikan anak. Tapi kadang pelajaran datang disaat kita tidak sedang berada dalam situasi yang memungkinkan pengalaman serupa. Maka pelajaran itu akhirnya tersimpan menjadi sebuah pengetahuan untuk masa depan. Jadi walaupun 'pahit', Beautiful Boy adalah salah satu contoh manis itu untuk saya, bujang bahagia ini... :D



*******

"...Hai orang-orang yang beriman; peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan ?..."
(QS. At-Tahriim: 6)


No comments:

Post a Comment