Monday, August 15, 2011

Last Chance Harvey: Menyoal Usia dan Hubungan Kedua

"....Do you really think that the older you get,
the more you understand love?..."

********



********

Freud mengatakan bahwa dasar kepribadian seseorang dibentuk pada masa lima tahun pertama dalam kehidupan seseorang. Oleh karena itu masa balita ini adalah masa yang sangat penting. Kejadian-kejadian yang dialami pada masa kecil seorang individu akan menjadi bagian dari ketidaksadaran dan mempengaruhi tahap-tahap selanjutnya dalam kehidupan individu. Sebaliknya, Jung lebih menekankan pentingnya tahap usia dewasa pertengahan (40-60 tahun) daripada tahap-tahap lainnya. Pada masa-masa ini mulai terjadi transisi dan perubahan yang banyak. Kehidupan seseorang menurut Jung, sangat ditentukan bagaimana ia mengatasi midlife crises-nya ini.

Pada usia paruh baya, banyak peristiwa besar yang dapat menimbulkan masa-masa penuh stress dan depresi seperti meninggalnya orang yang dicintai (orang tua ataupun pasangan hidup), kemunduran dalam karir, anak-anak yang mulai meninggalkan rumah (untuk hidup mandiri), gejala penuaan secara umum (munculnya keriput, uban, kulit berkurang elastisitasnya, berkurangnya vitalitas, menopause, dan lain-lain). Akibatnya, menurut satu kajian, 15% dari mereka akan mengalami “midlife turnmoil” yang mungkin saja berupa keinginan untuk membuat perubahan yang signifikan dalam berbagai aspek kehidupan seperti karir, perkawinan, atau hubungan romantis.

Ada banyak contoh kegamangan ketika orang-orang yang sudah tak bisa lagi dikatakan muda, didorong atau menghadapi situasi dimana mereka harus menjalin hubungan serius kedua dalam hidup. Cerita lucu antara Bang Jack dan Mama-nya Azzam yang selama bulan puasa ini tayang di sebuah televisi swasta adalah salah satu skema dan eksekusi yang paling menarik. Sementara kemarin, saya melihat versi lain tentang pasangan seumuran yang dimainkan dengan apik oleh Dustin Hoffmann dan Emma Thompson.

Terjepit schedule rapat penting yang menentukan kelangsungan karirnya, Harvey memilih tetap terbang ke London agar bisa menghadiri pernikahan putrinya. Susan, putri cantiknya itu kini memang tinggal bersama Jean, ibunya dan Brian, ayah tirinya. Begitu terburu-buru, ia sampai bertindak kurang sopan pada seorang perempuan paruh baya sesaat sesampainya di bandara.

Setibanya di London, Harvey harus menghadapi kekecewaan berat, menghadapi kenyataan pahit bahwa setelah peluk cium sambutan selamat datang yang hangat, Susan nyatanya mengutarakan keputusan memilih Brian sebagai wali nikah dan orang pertama yang memberikan sambutan dalam acara resepsi pernikahannya. Plot pernikahan putrinya yang sempat terbayang indah, buyar dalam satu bagian awal saja.

Di sudut London yang lain, di sebuah bar, seorang perempuan single berumur empat puluhan sedang berurusan dengan tekanan lingkungan yang mendorongnya untuk menjalin rumah tangga. Selalu ada rasa canggung ketika seseorang yang sudah terlalu lama hidup mandiri mendadak harus berkomunikasi dengan tujuan yang jelas mengarah pada hubungan percintaan. Kate pun tidak jauh berbeda. Lalu acara kencan dengan teman pria sahabatnya makin kacau dengan telpon berkali-kali dari sang ibu yang begitu yakin bahwa tetangga mereka adalah seorang pembunuh berantai dari Ceko.

Lalu takdir pun bekerja. Harvey, yang sekuat tenaga berusaha menyembunyikan kekecewaannya, akhirnya memutuskan untuk kembali ke New York lebih awal agar bisa mengikuti rapat penting di perusahaan tempat ia bekerja. Tapi ia ketinggalan pesawat dan diberhentikan saat itu juga ketika ia berusaha menjelaskan duduk permasalahannya pada sang boss. Sementara Kate yang tidak lagi merasa nyaman dengan acara kencan memilih kembali ke Heathrow, bandara tempatnya bekerja.

Wajah kusut keduanya akhirnya bertemu di sebuah kantin bandara. Dan itu adalah pertemuan kedua mereka. Ya, Harvey ingat betul perempuan dihadapannya adalah sosok yang sama yang dimakinya di Bandara kemarin.

Setelahnya adalah tentang rentetan dialog dan pencocokan diri yang menarik antar dua orang yang sudah tak muda lagi itu, tak saling kenal, namun sekali lagi menunjukkan betapa menyenangkannya menjadi pribadi yang mampu berkomunikasi dengan baik. Tidak sebaik Before Sunrise memang, tapi dialog cerdas di Last Chance Harvey memang memberinya kekuatan tersendiri. Ada banyak dialog dalam film ini, tapi memang favorit saya adalah dialog di kantin bandara itu walaupun dialog dalam acara resepsi pernikahan Susan rasanya sama menariknya.

Dalam kekuatan dialognya, toh Last Chance Harvey mau tidak mau memang terlihat lebih cocok untuk segmentasi kelompok 'pasca muda'. Sebagian besar dipengaruhi oleh setting usia tokoh utamanya. Lain soal jika kita mengesampingkan faktor tersebut dan hanya murni menilik jalan ceritanya dan bagaimana ia diceritakan, maka sebenarnya kita akan bisa melihat fenomena replikasi layaknya cerita romantis yang tersegmentasi untuk kelompok usia lebih muda.

Ya, ada banyak replikasi sebagai bukti sebuah situasi seringkali 'menjebak' orang-orang untuk bereaksi terhadapnya. Salah satu contoh nyatanya adalah ketika kita sering mendapati fotografi berita tentang antrian BBM atau bahan pokok. Jika kita jeli, akan sering ditemukan bahwa banyak fotografer 'terjebak' untuk mengambil point of interest yang identik semacam ekspresi wajah anak kecil atau mata sayu orang tua renta yang kelelahan terhimpit diantara antrian tersebut. Memang situasi tersebut memberikan drama yang sempurna, tapi menghadirkan sesuatu yang tak serupa sejatinyalah afirmasi untuk kelas yang berbeda.

Replikasi yang sama seringkali terjadi dalam sebuah film drama. Berapa banyak petualangan cinta yang kemudian berujung di simpul transportasi berbagai moda. Stasiun, Terminal dan tentu saja, yang paling banyak dipakai sebagai set, Bandara. Last Chance Harvey adalah sebuah kisah cinta yang tak muda, dimulai dengan indah, namun sayang, diakhiri terburu-buru dalam stereotip yang tak jauh beda.



Pada akhirnya ini adalah cerita satu dari sekian banyak masalah yang dihadapi dalam perjalanan usia kita. Tak peduli berapapun, setiap usia memiliki tantangannya tersendiri. Toh sesungguhnya masalahnya adalah bagaimana kita menghadapi masalah tersebut dan menjadi lebih bijak, lebih dewasa dan lebih bersyukur atas nikmat yang telah diberikan selama ini. Dengan begitu, kita dapat meneruskan perjalanan hidup kita dengan lebih bermakna....


2008, Dustin Hoffmann, Emma Thompson
Picture taken from:media.theiapolis.com

No comments:

Post a Comment