"..I'm not a Christian. I'm not an Atheist. I'm not Jewish. I'm not Muslim.
My religion, what I believe in is called the Constitution of United
States of America...."
Itulah kalimat pembuka film ini yang spontan membuat saya tertawa lalu geleng-geleng.
Saya
tertawa karena rupanya film Amerika satu ini jujur sekali tentang
posisi agama dan politik di negeri mereka. Dan saya geleng-geleng
karena yang namanya kepercayaan pada konstitusi, yang lebih tinggi dari
agama itu, memang cuma di film. Di dunia nyata, Amerika bukan negeri
yang menawarkan kebebasan, mereka adalah pemerintahan yang memaksakan
kebenaran. Pemerintahan yang dari kelakuannya seperti anak kecil dan
mainannya. Jadi tak perlu lagi lah mempertanyakan alasan mengapa
Amerika ngotot menginvasi Irak, memorakporandakan Afghanistan, dan
menuduh Iran.
Jadi, kalimat pembuka yang berat bukan?
Tapi jangan khawatir, setelah kalimat itu, anda masih akan mengalami tiga puluh menit pertama yang membosankan membuat saya
(dan sebagian anda) 'sangat termotivasi' untuk mencari alternatif lain ketimbang meneruskan
mengikuti alur The Ides of March. Tigapuluh menit yang hampir
menjustifikasi segmentasi Ides of March sebagai sekadar cerita politik
praktis nan rumit dan membosankan.
Saya, walaupun pernah mengalami beragam situasi
organisasi di sekolah menengah maupun kampus, pada prinsipnya adalah
satu dari sekian
orang yang sangat tidak berminat tentang politik. Politik (rasanya)
akan
selamanya kejam, riweuh, dan pada tataran tertentu busuk. Selain itu
saya juga tidak pandai mengolah kata dan mencari-cari ragam maknanya,
sesuatu hal yang sepertinya menjadi syarat untuk berbicara politik.
Itu sebabnya ketika saya paling 'hobi' absen dalam acara-acara
organisasi yang berbau politik. Saya lebih suka praktis, tanpa kata
politik. Politik tingkatan 'tertinggi' yang berani saya jamah ya hanya
ketika berniat mendapatkan restu calon mertua. Lain itu, ecek-ecek....
Untungnya,
setelah tigapuluh menit awal itu, muncul sosok perempuan dua puluhan
tahun bernama Molly (Evan Rachel Wood). Perempuan itu adalah pekerja
magang dalam kampanye pra pilpres yang diikuti Gubernur Mike Morris
(George Clooney). Dan dari awal perkenalan perempuan itu dengan Stephen
Meyers (Ryan Gosling), arsitek kampanye sang gubernur itulah cerita
Ides of March berhasil menawarkan sesuatu yang lebih ketimbang intrik
politik. Sesuatu yang lebih mudah saya cerna dan akhirnya membuat saya
memutuskan membiarkan keping DVD Ides of March ini terus berjalan sampai
akhir dalam pemutar DVD di kamar tidur.
Rupanya,
cinta dengan muara cerita yang beragam memang selalu ada dimana saja,
dalam cerita politik nan serius sekalipun. Ides of March adalah drama
tentang pertarungan antara kepercayaan dan persahabatan. Dan akhirnya,
Ides of March memberi scene berharga tentang dua kemungkinan respon dari
seseorang yang sedang
menghadapi tekanan luar biasa, semacam terancam hancur leburnya nama
baik yang sudah terlanjur dikenal orang.
Kemungkinan pertama, ia kalut, tak sanggup menghadapi situasi tersebut
dan memilih jalan pintas.
Kemungkinan kedua, ia tersengat, dan membalas
dengan berpikir cerdas.
Jadi, kemungkinan yang mana kita...?
|
image taken from: www.imdb.com |