Wednesday, January 4, 2012

Dua Tangis Ribuan Tawa

Dulu ketika pertama kali saya masuk birokrasi, perbedaan mimpi penempatan dan realita seringkali membuat saya bertanya-tanya.  Kadang saya 'menyalahkan' sistem yang membuat penempatan kerja seorang staf tidak banyak memperhatikan latar belakang keahliannya.  Lambat laun saya paham, saya justru beruntung.  Setiap pemimpin dan calon pemimpin tak boleh menghimpit diri dalam kotak berlabel 'latar belakang pendidikan'.  

Konflik kapasitas SDM dan demand service, keputusan-keputusan berat yang harus diambil dalam ancaman konsekuensi 'like and dislike' dengan pimpinan maupun antar staf,  pembelajaran bahasa komunikasi dalam lingkungan birokrasi yang kata orang (dan sepertinya) memang 'masih mbulet'.  

Banyak sekali problem yang harus dihadapi oleh staf dalam lingkungan birokrasi seperti sekarang ini.   DUA TANGIS DAN RIBUAN TAWA (Dahlan Iskan), buku pertama yang saya selesaikan di awal tahun baru ini, menunjukkan bahwa problem yang harus dihadapi pimpinan akan lebih besar dan luas konsekuensinya.  Tidak semua aplikatif memang, seperti keputusan membuat bulan puasa SPPD yang kadang menuntut pimpinan 'nombok' biaya perjalanan yang kadung direncanakan, hehe....  

Tapi pada intinya jika benar saya (dan mungkin rekan-rekan sesama PNS) tersinggung ketika ada seseorang berkata tentang pekerjaan PNS, "..ah, itu kan cuma main-main..", maka problem-problem harian selama dua tahun ini seharusnya memang menjadi lebih kecil.    Ya, sekali lagi jika benar saya berniat menantang diri membuktikan, PNS bukan, dan tak boleh jadi main-main.  

Sombong?  

Yang penting saya tahu pasti saya bukan orang suci...


".....Empat-empatnya merupakan elemahan pada umumnya BUMN, namun lebih khusus lagi di PLN.

Pertama, tidak nyambungnya proses pengadaan dengan tuntutan pelayanan sehingga prinsip customer oriented hanya menjadi doktrin formal yang tidak bisa diimplementasikan dengan sesungguhnya.  

Kedua, perlakuan yang kurang adil terhadap sebuah ide.  Ide-ide besar cenderung diperlakukan sama dengan ide-ide kecil sehingga jarang sekali terobosan besar bisa dilakukan.

Ketiga, tidak diperhitungkannya secara nyata prinsip opportunity losses dalam action program.  Inilah yang membuat gerak BUMN, termasuk PLN sangat lamban.

Yang keempat, tidak di-value-kannya damages.  Yang keempat inilah yang membuat kita sulit membangun citra yang bagus untuk PLN.  Saya menjadi maklum mengapa citra PLN begitu "hancur beras kencur".  Ini karena pembangunan citra hanya menjadi program bagian pembangun citra, yang dengan cepat terusakkan oleh bagian lainnya...."
~ Damage (s) itu!, Dua Tangis Ribuan Tawa ~

           NOTE: Bagaimana kalo PLN diganti PNS :)






2 comments:

  1. aku wis maca bukune sing liyane..apik dan inspiratif mantan bosku...

    ReplyDelete
  2. pasti menarik pernah jadi bawahannya, memang menawarkan aroma yang berbeda si bapak...

    ReplyDelete