Tuesday, January 17, 2012

The Ides of March

"..I'm not a Christian. I'm not an Atheist. I'm not Jewish. I'm not Muslim. My religion, what I believe in is called the Constitution of United States of America...."

Itulah kalimat pembuka film ini yang spontan membuat saya tertawa lalu geleng-geleng. 

Saya tertawa karena rupanya film Amerika satu ini jujur sekali tentang posisi agama dan politik di negeri mereka.   Dan saya geleng-geleng karena yang namanya kepercayaan pada konstitusi, yang lebih tinggi dari agama itu, memang cuma di film.  Di dunia nyata, Amerika bukan negeri yang menawarkan kebebasan, mereka adalah pemerintahan yang memaksakan kebenaran.  Pemerintahan yang dari kelakuannya seperti anak kecil dan mainannya.  Jadi tak perlu lagi lah mempertanyakan alasan mengapa Amerika ngotot menginvasi Irak, memorakporandakan Afghanistan, dan menuduh Iran.      

Jadi, kalimat pembuka yang berat bukan?


Tapi jangan khawatir, setelah kalimat itu, anda masih akan mengalami tiga puluh menit pertama yang membosankan membuat saya (dan sebagian anda) 'sangat termotivasi' untuk mencari alternatif lain ketimbang meneruskan mengikuti alur The Ides of March.   Tigapuluh menit yang hampir menjustifikasi segmentasi Ides of March sebagai sekadar cerita politik praktis nan rumit dan membosankan.


Saya, walaupun pernah mengalami beragam situasi organisasi di sekolah menengah maupun kampus, pada prinsipnya adalah satu dari sekian orang yang sangat tidak berminat tentang politik.  Politik  (rasanya) akan selamanya kejam, riweuh, dan pada tataran tertentu busuk.   Selain itu saya juga tidak pandai mengolah kata dan mencari-cari ragam maknanya, sesuatu hal yang sepertinya menjadi syarat untuk berbicara politik.   Itu sebabnya ketika saya paling 'hobi' absen dalam acara-acara organisasi yang berbau politik.    Saya lebih suka praktis, tanpa kata politik. Politik tingkatan 'tertinggi' yang berani saya jamah ya hanya ketika berniat mendapatkan restu calon mertua.  Lain itu, ecek-ecek....

Untungnya, setelah tigapuluh menit awal itu, muncul sosok perempuan dua puluhan tahun bernama Molly (Evan Rachel Wood).  Perempuan itu adalah pekerja magang dalam kampanye pra pilpres yang diikuti Gubernur Mike Morris (George Clooney).  Dan dari awal perkenalan perempuan itu dengan Stephen Meyers (Ryan Gosling), arsitek kampanye sang gubernur itulah cerita Ides of March berhasil menawarkan sesuatu yang lebih ketimbang intrik politik.  Sesuatu yang lebih mudah saya cerna dan akhirnya membuat saya memutuskan membiarkan keping DVD Ides of March ini terus berjalan sampai akhir dalam pemutar DVD di kamar tidur.

Rupanya, cinta dengan muara cerita yang beragam memang selalu ada dimana saja, dalam cerita politik nan serius sekalipun.   Ides of March adalah drama tentang pertarungan antara kepercayaan dan persahabatan.  Dan akhirnya, Ides of March memberi scene berharga tentang dua kemungkinan respon dari seseorang yang sedang menghadapi tekanan luar biasa, semacam terancam hancur leburnya nama baik yang sudah terlanjur dikenal orang. 

Kemungkinan pertama, ia kalut, tak sanggup menghadapi situasi tersebut dan memilih jalan pintas. 

Kemungkinan kedua, ia tersengat, dan membalas dengan berpikir cerdas. 

Jadi, kemungkinan yang mana kita...?


image taken from: www.imdb.com

No comments:

Post a Comment