Dua hari yang lalu, saya memutuskan melakukan sesuatu dengan akun twitter yang sudah lama saya buat dan biarkan begitu saja, tanpa perubahan apapun. Alasan saya melakukan sesuatu terhadapnya sebenarnya muncul dari pengalaman visual menonton Social Network untuk kedua kalinya, tiga malam yang lalu. Dan salah satu bagian paling penting di film itu adalah ketika Mark Zuckerberg menanyakan pada Winklevoos bersaudara, apa bedanya ide harvardconnection dengan friendster dan myspace. Sesuatu yang akhirnya dijawabnya sendiri melalui kode-kode penyusun facebook.
Dari situ saya penasaran, dan akhirnya ingin memastikan apa twitter bisa menawarkan sesuatu yang berbeda buat saya, ketimbang blog, facebook atau messenger, tiga jejaring sosial yang lazim saya gunakan.
Layaknya orang yang baru memasuki lingkungan baru, dua hari yang lalu saya sejujurnya bingung bagaimana cara memakai twitter yang baik dan benar.. :p. Maka saya mencoba bertanya tentang aturan (tertulis dan tidak tertulis) di twitter pada beberapa kawan hingga akhirnya saya cukup mengerti fungsinya, 'berhasil' menjadi pengikut bagi 58 orang, diikuti oleh 6 orang yang dua diantaranya saya curiga cuma spam, dan sukses mengetikkan beberapa patah kata di kolom dengan tombol afirmasi bertuliskan 'tweet'. Dalam dua hari, ini Pencapaian yang tidak buruk bukan?
Tapi dalam dua hari itu saya terus terang masih belum menemukan apa yang saya cari.
Teman saya berkata, "...dengan twitter, aku rasanya lebih jujur ketimbang saat bermain facebook..''. Lalu saya pikir, jika memang seseorang ingin jujur di twitter, sementara dia memiliki jejaring lain atas namanya, maka bukankah sama artinya dia jujur dan tidak jujur pada saat bersamaan? Atau katakanlah saja itu benar, tapi dari apa yang saya lihat sementara ini, begitu banyak tweet yang terlihat mulia sekali atau sama tidak pentingnya dengan apa yang kita tuliskan ketika facebook bertanya '...What's on your mind?...'.
Jadi, selain berondongan celoteh publik figur, benarkah saya sedang melihat sesuatu yang berbeda ketika membuka halaman bergambar burung biru itu?
I guess i'm gonna give 'em a few more times to prove... :))
Tuesday, April 5, 2011
Sunday, April 3, 2011
Stupidity
is when you spend two hours in a midnite call, talking about almost everything the world could offer, yet you couldn't remember that the person you call is having a birthday to celebrate in the morning.. :))
*bad dream*
*bad dream*
Monday, March 21, 2011
#5 | Dangdut
Untuk menjadi sukses dalam pergaulan di dunia seragam coklat, ada dua hal yang paling menentukan. Pertama, kemampuan mengendalikan idealisme. Kedua, seberapa luas penguasaan anda terhadap musik Dangdut... :p
Wednesday, March 9, 2011
#4 | Mitos
Aku terpekur sejenak menatap tulisan di papan jadwal kegiatan diklat. Beberapa teman dibelakangku juga mulai bergumam membahas nama yang tertera sebagai widyaiswara untuk kelasku esok. Ahmad Ismail, sebuah nama yang terlanjur dicitrakan dengan mitos yang mungkin tidak diinginkan para peserta diklat.
Maka seperti yang telah dipesankan banyak kawan, hari itu kami memasuki salah satu ruang kelas paling nyaman di Islamic Center dengan hati-hati. Tak seperti hari-hari lalu, kali ini sebagian besar terdiam, mengetuk pintu dan mengucapkan salam pada sosok yang duduk didepan kelas. Salam yang dibalas pelan dengan tatapan tajam, sedikit menyelidik dan suasana kaku pun menyergap, persis seperti yang dibayangkan. Kursi kayu terasa sempit, dihimpit oleh kecemasan yang mendominasi kepala sebagian besar teman disekitarku. Lalu sebuah suara berat dan lantang menyeruak di udara, mendesak emosi kami ke sudut.
Komunikasi adalah persoalan menyampaikan pesan dan mempengaruhi. "..A Whole process used to reach other minds.." (Dennis Murphy). Sesuatu yang dalam wujud langsung, artinya tak jauh dari kemampuan berbicara dan kecerdasan bahasa tubuh. Dan Ahmad Ismail, pria 60 tahunan yang masih terlihat tampan dibalik gurat-gurat kehidupan di wajahnya itu menggunakan pengaruh suaranya dengan baik. Ia juga menggerakkan jari telunjuknya ke segala penjuru ruangan, dengan raut dingin yang menekan setiap persona untuk mengungkapkan pendapat tentang hal-hal yang dibicarakannya pagi itu. Beberapa topik yang belum kami pahami dan beberapa hal lagi yang sebenarnya mudah dalam situasi komunikasi tanpa tekanan gaya bicara yang (terkesan) intimidatif.
Anda tahu kenapa saya tidak yakin pria itu bermaksud mengintimidasi?
Karena semua hal yang dibicarakannya, semua pengalaman yang diceritakannya, nada suaranya yang keras dan lantang, bagi saya, hanyalah sebuah refleksi kebangsaannya yang tinggi dari seorang yang di tubuhnya mengalir semangat khas darah Madura. Bahwa Ahmad Ismail menuntut fokus penuh dari orang-orang disekitarnya, maka siapa sih yang tidak ingin dihargai?
Ini adalah pria yang tidak ingin hidupnya terlihat loyo hanya karena by-pass jantung yang belum lama harus dijalaninya. Ahmad Ismail hanyalah sebuah produk yang dilahirkan dari disiplin, berbeda dengan kita yang berkembang dalam sesuatu yang katanya demokrasi. Sesuatu yang terlihat kentara sekali ketika dia memberikan argumentasinya tentang pernyataan Dipo Alam beberapa waktu lalu yang menolak tiga media yang dianggapnya tak lagi proporsional dan cenderung provokatif dalam melaksanakan tugasnya sebagai penyampai kabar. Sebuah pandangan yang kuamini dengan fakta kekuatan sosial politis media yang memang semakin besar mempengaruhi perilaku kehidupan kekinian.
Dan di akhir hari, diantara tepukan apresiasi di dalam ruangan untuk wajah tampan yang mulai menyunggingkan senyumnya, kepala saya perlahan menghapus mitos tentangnya...
****
*Widyaiswara :
adalah pegawai negeri sipil (PNS) yang diangkat sebagai pejabat fungsional oleh pejabat yang berwenang dengan tugas, tanggung jawab, wewenang untuk mendidik, mengajar, dan/atau melatih pegawai negeri sipil (PNS) pada lembaga pendidikan dan pelatihan (diklat) pemerintah.
*Mitos:
adalah sesuatu yang kita percayai dan telah diangap sebagai sebuah kebenaran sejak dahulu tapi sebenarnya tidak selalu benar. Seperti keyakinan di eropa yang lama dianggap sebagai standar ilmiah bahwa seluruh angsa adalah berwarna putih. Keyakinan yang baru terpatahkan oleh fakta tentang adanya angsa hitam di Australia tahun 1697.
Maka seperti yang telah dipesankan banyak kawan, hari itu kami memasuki salah satu ruang kelas paling nyaman di Islamic Center dengan hati-hati. Tak seperti hari-hari lalu, kali ini sebagian besar terdiam, mengetuk pintu dan mengucapkan salam pada sosok yang duduk didepan kelas. Salam yang dibalas pelan dengan tatapan tajam, sedikit menyelidik dan suasana kaku pun menyergap, persis seperti yang dibayangkan. Kursi kayu terasa sempit, dihimpit oleh kecemasan yang mendominasi kepala sebagian besar teman disekitarku. Lalu sebuah suara berat dan lantang menyeruak di udara, mendesak emosi kami ke sudut.
Komunikasi adalah persoalan menyampaikan pesan dan mempengaruhi. "..A Whole process used to reach other minds.." (Dennis Murphy). Sesuatu yang dalam wujud langsung, artinya tak jauh dari kemampuan berbicara dan kecerdasan bahasa tubuh. Dan Ahmad Ismail, pria 60 tahunan yang masih terlihat tampan dibalik gurat-gurat kehidupan di wajahnya itu menggunakan pengaruh suaranya dengan baik. Ia juga menggerakkan jari telunjuknya ke segala penjuru ruangan, dengan raut dingin yang menekan setiap persona untuk mengungkapkan pendapat tentang hal-hal yang dibicarakannya pagi itu. Beberapa topik yang belum kami pahami dan beberapa hal lagi yang sebenarnya mudah dalam situasi komunikasi tanpa tekanan gaya bicara yang (terkesan) intimidatif.
Anda tahu kenapa saya tidak yakin pria itu bermaksud mengintimidasi?
Karena semua hal yang dibicarakannya, semua pengalaman yang diceritakannya, nada suaranya yang keras dan lantang, bagi saya, hanyalah sebuah refleksi kebangsaannya yang tinggi dari seorang yang di tubuhnya mengalir semangat khas darah Madura. Bahwa Ahmad Ismail menuntut fokus penuh dari orang-orang disekitarnya, maka siapa sih yang tidak ingin dihargai?
Ini adalah pria yang tidak ingin hidupnya terlihat loyo hanya karena by-pass jantung yang belum lama harus dijalaninya. Ahmad Ismail hanyalah sebuah produk yang dilahirkan dari disiplin, berbeda dengan kita yang berkembang dalam sesuatu yang katanya demokrasi. Sesuatu yang terlihat kentara sekali ketika dia memberikan argumentasinya tentang pernyataan Dipo Alam beberapa waktu lalu yang menolak tiga media yang dianggapnya tak lagi proporsional dan cenderung provokatif dalam melaksanakan tugasnya sebagai penyampai kabar. Sebuah pandangan yang kuamini dengan fakta kekuatan sosial politis media yang memang semakin besar mempengaruhi perilaku kehidupan kekinian.
Dan di akhir hari, diantara tepukan apresiasi di dalam ruangan untuk wajah tampan yang mulai menyunggingkan senyumnya, kepala saya perlahan menghapus mitos tentangnya...
****
*Widyaiswara :
adalah pegawai negeri sipil (PNS) yang diangkat sebagai pejabat fungsional oleh pejabat yang berwenang dengan tugas, tanggung jawab, wewenang untuk mendidik, mengajar, dan/atau melatih pegawai negeri sipil (PNS) pada lembaga pendidikan dan pelatihan (diklat) pemerintah.
*Mitos:
adalah sesuatu yang kita percayai dan telah diangap sebagai sebuah kebenaran sejak dahulu tapi sebenarnya tidak selalu benar. Seperti keyakinan di eropa yang lama dianggap sebagai standar ilmiah bahwa seluruh angsa adalah berwarna putih. Keyakinan yang baru terpatahkan oleh fakta tentang adanya angsa hitam di Australia tahun 1697.
Thursday, March 3, 2011
#3 | Ideally Dynamic
Ketika pertama kali saya memutuskan menyerahkan hidup untuk bekerja dalam sistem kepegawaian negara, tidak sedikit memang yang bertanya... Pertanyaan-pertanyaan semacam "Ga rugi ta?", "Bukannya lebih enak kerja bebas di konsultan?", "Yakin mau masuk sistem yang terlanjur di-cap buruk?"...
Pertanyaan semacam yang pertama sebenarnya debatable, sedangkan pertanyaan yang kedua sebenarnya tergantung seberapa pandai kita membebaskan diri dalam menghadapi rutinitas. Dan beruntungnya, pegawai negeri seperti saya punya dua hari penuh untuk berkeliling, mencari obyek foto yang menarik, dan melupakan rutinitas lima hari kerja.
Tentang model pertanyaan ketiga-lah yang sejujurnya memang saya sadari tidak mudah untuk dijawab. Pegawai Negeri di Daerah memang masih banyak yang terkungkung dalam sebuah sistem organisasi yang terlalu gemuk. Dan seperti layaknya orang yang mengalami obesitas, organisasi yang terlalu gemuk pun sulit untuk bergerak secara dinamis.
Tapi tidak, saya tidak ingin mengorek lembar-lembar masalah tersebut. Saya hanya ingin berbagi optimisme, bahwa jika anda yang bukan pegawai negeri/calon pegawai negeri mengerti apa saja yang ditawarkan oleh kurikulum pendidikan pra jabatan pegawai negeri, maka rasanya anda akan memahami bahwa sistem prajabatan sesungguhnya sangat dinamis. Ketika para calon pegawai negeri, orang-orang yang diharapkan menjadi pemimpin perubahan citra, disambut dengan serangkaian pemahaman psikologis tentang karakter mereka, kemudian dikumpulkan dalam kelompok-kelompok yang didorong untuk menyatu menjadi sebuah tim, sebelum mulai menjalankan amanah berat mereka sebagai pelayan masyarakat. Maka benarlah idiom "berilmu-lah sebelum beribadah"..
Secara keseluruhan, saya sebenarnya terkejut dengan betapa diluar dugaannya format prajab. Ini adalah sebuah format kehidupan kerja yang ideal, dengan sebuah rangkaian aktivitas persiapan yang dimulai sejak dini hari dan dilanjutkan dengan pelaksanaan tugas dengan sistem pertanggungjawaban yang riil hingga petang menjelang malam.
Berat memang rasanya hari-hari pertama ini...
Tapi saya pelan-pelan mengerti alasan mengapa sarapan diatur begitu pagi dan mengapa jadwal kegiatan yang menguras pikiran diletakkan di jam-jam yang berat bagi fisik yang tak terlatih.
Ah, seandainya saja prajabatan dilakukan tanpa menunggu para calon pegawai yang hebat ini bekerja satu dua tahun terlebih dahulu...


Pertanyaan semacam yang pertama sebenarnya debatable, sedangkan pertanyaan yang kedua sebenarnya tergantung seberapa pandai kita membebaskan diri dalam menghadapi rutinitas. Dan beruntungnya, pegawai negeri seperti saya punya dua hari penuh untuk berkeliling, mencari obyek foto yang menarik, dan melupakan rutinitas lima hari kerja.
Tentang model pertanyaan ketiga-lah yang sejujurnya memang saya sadari tidak mudah untuk dijawab. Pegawai Negeri di Daerah memang masih banyak yang terkungkung dalam sebuah sistem organisasi yang terlalu gemuk. Dan seperti layaknya orang yang mengalami obesitas, organisasi yang terlalu gemuk pun sulit untuk bergerak secara dinamis.
Tapi tidak, saya tidak ingin mengorek lembar-lembar masalah tersebut. Saya hanya ingin berbagi optimisme, bahwa jika anda yang bukan pegawai negeri/calon pegawai negeri mengerti apa saja yang ditawarkan oleh kurikulum pendidikan pra jabatan pegawai negeri, maka rasanya anda akan memahami bahwa sistem prajabatan sesungguhnya sangat dinamis. Ketika para calon pegawai negeri, orang-orang yang diharapkan menjadi pemimpin perubahan citra, disambut dengan serangkaian pemahaman psikologis tentang karakter mereka, kemudian dikumpulkan dalam kelompok-kelompok yang didorong untuk menyatu menjadi sebuah tim, sebelum mulai menjalankan amanah berat mereka sebagai pelayan masyarakat. Maka benarlah idiom "berilmu-lah sebelum beribadah"..
Secara keseluruhan, saya sebenarnya terkejut dengan betapa diluar dugaannya format prajab. Ini adalah sebuah format kehidupan kerja yang ideal, dengan sebuah rangkaian aktivitas persiapan yang dimulai sejak dini hari dan dilanjutkan dengan pelaksanaan tugas dengan sistem pertanggungjawaban yang riil hingga petang menjelang malam.
Berat memang rasanya hari-hari pertama ini...
Tapi saya pelan-pelan mengerti alasan mengapa sarapan diatur begitu pagi dan mengapa jadwal kegiatan yang menguras pikiran diletakkan di jam-jam yang berat bagi fisik yang tak terlatih.
Ah, seandainya saja prajabatan dilakukan tanpa menunggu para calon pegawai yang hebat ini bekerja satu dua tahun terlebih dahulu...
Wednesday, March 2, 2011
#2 | Petang
Di sudut ruang yang terasa gamang
Dalam keringat yang lekat setelah terjerang
Dan wajah-wajah asing yang lamat-lamat terekam, terbilang
Ingin kutahan air wudlu yang mengucur pelan
bersama bayanganmu di larik petang
*****
Dalam keringat yang lekat setelah terjerang
Dan wajah-wajah asing yang lamat-lamat terekam, terbilang
Ingin kutahan air wudlu yang mengucur pelan
bersama bayanganmu di larik petang
*****

Tuesday, March 1, 2011
#1 | Pintu
Matahari kota ini memang tak pernah bersahabat dengan kulit-kulit yang terbiasa didekap embun di sudut-sudut kota peninggalan Karsten. Peluh yang mulai menetes dibalik kain batik yang kukenakan seperti menjadi refleksi apa yang akan terjadi beberapa waktu ke depan. Lalu sebuah suara tinggi, kental dan keras dari sesosok tegap berkumis tebal menyeruak di hadapan wajah kami yang lamat-lamat menghangat, “Selamat datang di Surabaya….”.
Suasana ini, ritme asing disekitaran, dan pikiranku melayang membayangkan pria tegap itu menjadi Herman Boone, sementara aku adalah si hitam Justin. Bedanya Justin dengan canggung harus masuk kedalam bus bersama orang-orang berbeda ras dalam Remember The Titans, sementara aku, kendaraanku lebih kecil, hanya sebuah kotak 4 x 6 meter yang tiga minggu kedepan akan kunikmati bersama 7 orang asing, kawan-kawan baruku.
Prajabatan kata banyak orang adalah cerita yang akan banyak dikenang…
For me, this was just about to began…
Suasana ini, ritme asing disekitaran, dan pikiranku melayang membayangkan pria tegap itu menjadi Herman Boone, sementara aku adalah si hitam Justin. Bedanya Justin dengan canggung harus masuk kedalam bus bersama orang-orang berbeda ras dalam Remember The Titans, sementara aku, kendaraanku lebih kecil, hanya sebuah kotak 4 x 6 meter yang tiga minggu kedepan akan kunikmati bersama 7 orang asing, kawan-kawan baruku.
Prajabatan kata banyak orang adalah cerita yang akan banyak dikenang…
For me, this was just about to began…
Subscribe to:
Posts (Atom)