Wednesday, July 8, 2009

MADAKARIPURA

Minggu kemaren, setelah dua jam berpanas-panas ria di rute Pasuruan-Probolinggo, saya akhirnya sampe juga di air terjun MADAKARIPURA yang katanya dulu jadi tempat Patih Gajah Mada menjalani tapa brata setelah kekalahan di Perang Bubat. Gajah Mada sendiri dalam legenda tersebut akhirnya diceritakan "moksa" atau menghilang ke nirwana setelah bertapa dibalik air terjun ini.

Dari tempat parkir agar bisa sampai ke lokasi kami harus berjalan kaki sekitar 1 km melewati sungai dan jalan setapak, ditemani oleh seorang pemandu (Pak Siplin) dan soal jalan kaki ini ada sedikit penyesalan.....

Pertama, saya lupa sudah ga makan nasi selama 24 jam jadi batere saya sebenernya udah tipis. Nah, kesalahan kedua adalah saya ga pake alas kaki yang lebih pantas buat jelajah medan, or at least sandal jepit ijo saya yang tentunya lebih affordable dicari penggantinya kalo sewaktu-waktu takdir menentukan Si Jepit Ijo harus berpulang di tempat ini...hehe...

Hari itu saya justru pake Si Coklat, sendal kulit yang seharusnya hanya saya pake buat aktivitas normal, seperti nemenin si Medium Heels kondangan... (Kalo high heels lebih jodoh ma sepatu kulit saya), alhasil saya pun memutuskan untuk melanjutkan jalan dengan nyeker saja... Dan sakit juga ternyata melewati batu-batu yang cukup tajam di sepanjang perjalanan dan lingkar perut yang lebih dari normal juga terbukti tidak membantu di saat-saat seperti ini.

Sementara itu, dua orang temen saya yang berukuran pas-pas an itu lebih mencemaskan dampak penumpukkan nikotin yang sudah bertahun-tahun mereka lakukan itu keluar lewat setiap dengusan napas mereka.... ngossh... ngosshh... hehe... SAATNYA MENGURANGI ROKOK KAWAN-KAWAN...

Tapi semua kelelahan itu kami anggap sebagai ujian dan pemanasan yang lumayan sebelum kami melaksanakan rencana besar KEMPING DI SEMPU bulan depan. Toh masih untung juga, diantara kami yang masih sesama jenis ini masih bisa menjaga harga diri sehingga ga ada yang perlu merengek.. "gendongen kemana-mana... gendongen kemana-mana"...

Akhirnya setelah cukup berpeluh, kami sampai juga di lokasi air terjun dan ... wooowww.... INDAHHH, ENDANG BAMBANG, MAKNYUS MAK LEGENDHERRR TENAN.....
and suddenly it taste much better than facebook.. hehehe.... Oya precisely ada 5 air terjun tapi yang ada di sisi wilayah Probolinggo hanya 3, sementara 2 air terjun lainnya ada dibalik bukit, masuk wilayah Kecamatan Lumbang, Pasuruan.

Yang menarik bukan gemuruh debur airnya, tapi lebih pada keindahan tirai air yang terbentuk di dua air terjun pertama dan keunikan air terjun utama yang mengalir di cekungan cadas berbentuk setengah lingkaran setinggi lebih dari 10 meter. Kolam air yang terbentuk dibawah air terjun utama katanya cukup dalem, sekitar 6-7 meter, sayang ga ada satupun temen saya yang punya rasa ingin tau cukup tinggi untuk membuktikannya.... (lain kali kalo ada yang penasaran, silahkan dicoba.. hehe...)

Setelah puas mengagumi keindahan karya-NYA selama 1 jam plus mengabadikannya dalam beberapa pose yang menggemaskan, maka kami pun beranjak dari lokasi air terjun. Dalam hati, saya yakin bahwa pelajaran utama yang saya dapat saat ini adalah untuk bersyukur,

ketika mata kembali diperlihatkan betapa nyata kuasa-Nya,
ketika setiap percik air yang mendarat di badan menyusup lebih dalam,
merengkuh hati dan pikiran yang sedikit menghangat
dan menggantinya menjadi embun....
i wish you were here friends,
sharing this grace with me....

Tapi ternyata..eh ternyata, pelajaran yang bisa saya ambil disini bukan cuma itu, karena Pelajaran kedua justru muncul di akhir perjalanan, dan ini tentang pentingnya Budaya Positif dalam Pengembangan Wisata....!!!!

Ceritanya, ketika saya bersiap untuk beranjak, ada kejadian antara beberapa wisatawan asing dengan sekelompok pemandu jalan yang baru saja mengantar mereka ke air terjun. Perlu diketahui pangkalnya adalah soal uang jasa pandu. Kalo tarif jasa pemandu yang kami bayar adalah 20 ribu untuk tiga orang, maka para pemandu yang menemani rombongan bule itu yang juga berjumlah 3 orang rupanya meminta bayaran 50 ribu/orang, jadi total 150 ribu. Tarif khusus untuk bule dan rombongan besar memang biasa dibikin beda kata Pak Siplin, pemandu kami itu. Dan jelas, dari raut mukanya, orang bule itu terlihat terkejut (mungkin kecewa) dengan mahalnya tarif jasa pandu itu, tapi sepertinya rombongan wisatawan asing itu memilih tidak terlalu lama berdebat dengan kelompok pemandu itu sehingga memutuskan membayar sebanyak yang mereka minta.

Well, dalam hati saya, terus terang langsung berpikir, betapa sayangnya...keindahan potensi pariwisata air terjun ini masih saja tereduksi oleh perilaku sebagian orang itu yang melihat keuntungan sesaat. Saya berandai-andai, apakah iya ini karakter orang pedesaan disana....?? apa sudah sedemikian dalam kah pengaruh konsumerisme memaksa mereka menunjukkan ciri-ciri kapitalis....?? atau ini hanya sekedar urusan perut yang masyarakat kelas bawah yang tak tercukupi.....??. Bayangkan betapa ruginya jika nantinya kabar kurang mengenakkan ini tersebar ke luar, saya yakin citra positif keramahan orang sekitar tentunya akan berkurang karenanya.

Saya sendiri memandang bahwa pemerintah perlu mengadakan sosialisasi, dialog, dan transfer pemahaman pada para pemandu wisata ini tentang pentingnya citra kawasan yang tak terlepaskan dari keindahan obyeknya itu sendiri....

Love Indonesia..

No comments:

Post a Comment