Wednesday, October 13, 2010

Tambal Ban

Hujan besar kemarin sore dan setelah menunggu beberapa lama, saya akhirnya memutuskan untuk nekat saja pulang kantor. Mendung terlalu gelap untuk ditunggu mencerah. Namun belum sampai gerbang keluar kompleks kantor, roda depan motor mendadak bocor sehingga mau tak mau saya harus menuntunnya. Seratus dua ratus meter, air mulai menyusup masuk ke balik jas hujan yang berlubang disana sini, dan tak ada satupun tambal ban yang terlihat.

Hari itu saya memang masih sedikit emosional. Saya merasa telah disalahkan dalam serentetan peristiwa yang berdampak pada perubahan ritme kerja di kantor. “..Kalo bisa diperlambat kenapa dipercepat..”, begitu lelucon tentang lingkungan pekerjaan saya, sesuatu yang sayangnya memang jamak, walaupun saya tidak berminat terinstitusi didalamnya. Andy Dufresne tak mau menyerah pada kekangan jeruji besi dan justru menghadirkan nuansa edukasi didalamnya. Saya mau seperti dia, dan hari itu saya sadar, itu tidak semudah yang saya kira.

Saya menunggu seharian untuk kesempatan bertukar pendapat tentang tuduhan yang telah tersebar kemana-mana. Tapi diskusi urung terjadi. Mungkin para penyebar isu tak berani beradu bukti. Maka akhirnya ban bocor pun terasa seperti taburan gula diatas croissant. “Perfectt..!!!” pikir saya sedikit menggerutu.

Dan bantuan untuk saya rupanya datang kemudian sebuah warung rokok dengan hiasan ban bekas diatapnya. Sepasang suami istri didalamnya tanggap menawarkan jasa dengan logat daerah yang kental saya kenal. Sempat terlintas keraguan melihat kelengkapan alat yang mereka miliki, namun akhirnya pasrah saja, daripada nuntun lebih jauh pikir saya. Lalu saya pun segera mencari posisi berteduh dibawah pohon, memandangi suami istri pemilik warung itu bekerjasama menambal ban motor saya.

Lamat-lamat terdengar percakapan mereka tentang hidup yang semakin keras, berdebat kebijakan pemerintah. Kadang saya tersenyum dibuatnya, logika-logika mereka sederhana sekali kala mendefinisikan arti kata sejahtera. Sejahtera buat mereka bukan setiap hari memandangi dunia dari balik kaca mobil yang berkilat-kilat, bukan tentang bekerja di gedung yang nyaman dan aman, bukan pula tentang liburan setiap bulan. Sejahtera hanya tentang bagaimana anak-anak mereka bisa lebih baik dari sekedar mewarisi keterampilan penambal ban.

Semakin basah keduanya diantara air hujan yang mengalir deras dari atap warung mereka. Dan hati saya perlahan mendingin.

No comments:

Post a Comment