Saturday, September 17, 2011

Everything Must Go



Mata lelahnya menatap kosong ke kaca depan.  Antrian panjang sore ini terasa seperti tamparan ringan saja baginya.   Kaleng Budweiser yang tinggal setengah ada di genggamannya.  Baginya, isi kaleng itulah yang sekarang ini paling bisa menemaninya mengingat pahitnya pemecatan mendadak oleh direksi kantor pemasaran tempat ia enambelas tahun terakhir ini mengais rejeki.  Dan tentang isi kaleng itu pula yang mengikis habis kesabaran mereka yang mempekerjakannya.  Ia tak peduli, sama seperti ketidakpeduliannya akan kemacetan yang menjebaknya itu.  Ia telah terlalu lama berteman dengan sang kaleng....  

Kemacetan pun menyerah dan akhirnya melepaskannya pergi....

Ford Taurus itu kembali ia kemudikan pelan, sampai akhirnya mobil pinjaman kantor itu diparkirnya di depan rumah.  Lalu, setengah tak percaya ia menatap pemandangan baru di halaman rumahnya.  Begitu banyak barang berserakan di halaman, semuanya barang-barang pribadinya.  Dalam pikirannya yang setengah mabuk, ia masih bisa mencerna, harinya baru saja bertambah buruk.

Dengan gontai ia berjalan menuju pintu rumah.  Sepucuk surat di daun pintu mengafirmasi apa yang sudah diperkirakannya.  Dan sepucuk surat itu saja yang ditinggalkan sang istri.  Kunci rumah telah diganti, demikian pula sandi pintu samping rumah.  Ia tertolak di rumahnya sendiri.

Ia akhirnya berjalan kembali ke halaman, menemui benda-benda yang dikenalnya dan dipahaminya betul sebagai bagian sejarah hidupnya.    Diraihnya sebuah bola baseball yang penuh tandatangan pemain tim favoritnya, lalu dipandanginya setumpuk Piringan Hitam milik sang ayah sebelum ia melangkah menuju kursi malasnya.  Tiga benda itu adalah hal-hal yang paling menarik perhatiannya.   Benda-benda yang sedikit banyak telah dan nantinya akan menentukan kehidupannya. 


Menyerah dengan apa yang dihadapinya hari ini, dihempaskannya tubuh lelah itu ke kursi malas kesayangannya.  Kaleng budweiser baru diletakkannya dekat.  Tak ingin rasanya ia jauh sedetikpun dari benda yang dipikirnya memainkan peran sebagi sahabat terbaiknya.  Ia pun terlelap begitu saja bersamanya, berharap esok akan membangunkannya dari hal-hal yang dipikirnya sekedar mimpi buruk ini...

Harapannya tidak terwujud.  Semprotan air dari kran otomatis di taman rumah  membangunkannya di hari berikutnya.  Ia masih di halaman, jobless, dan tak lama kemudian mendapati telepon dan kartu kreditnya telah diblokir oleh sang istri.   Hal yang berbeda adalah bahwa hari itu ia dipertemukan dengan dua orang baru.  Pertama, seorang tetangga baru, perempuan yang tengah hamil muda dan baru saja pindah dari sebuah kota metropolitan.  Yang kedua, adalah seorang anak kulit hitam tambun yang ingin sekali bisa bermain baseball.  Dua orang itulah yang rupanya akan terlibat banyak dalam hidupnya tiga hari ke depan. 


Ya, tiga hari kedepan itu saja yang dimilikinya untuk 'menyelesaikan' masalah ia dan barang-barangnya yang berserakan.  Hukum di kotanya memang menilai ketidak mampuan mengelola barang pribadi sebagai sebuah gangguan ketertiban umum.    Sebuah puncak kekacauan hidup yang menghampirinya, semenjak tujuh tahun lalu ia menerima sang kaleng sebagai pasangannya.


Walaupun bukan berasal dari keluarga santri, ayah dan ibu berhasil mendidik saya untuk menjauhkan diri dari setetespun minuman yang tidak hanya akan membuat Shalat seorang muslim tidak diterima hingga 40 hari setelahnya, namun juga mendorong banyak cerita tersesatnya orang-orang dalam hidup.  Lingkaran pertemanan saya pun tidak cukup jauh menjangkau hingga dunia mereka yang menderita karena salah mempercayakan hidupnya pada gelas-gelas berisi air bening atau merah.   Maka bisa dikatakan bahwa saya sejauh ini tidak pernah memiliki cukup pengalaman personal terhadap situasi ketergantungan alkohol seperti apa yang dialami Nick Halsey itu. 

Tapi pelajaran yang saya bawa dari Nick Halsey akhirnya menuntun saya pada refleksi yang lebih luas.  Refleksi yang seperti biasa, sebagian diantaranya terpikirkan di kamar mandi.  Bahwa banyak hal yang sama memabukkannya di dunia selain khammr.   Saya telah melihat bagaimana game online mempengaruhi hidup teman saya, konsumsi rokok yang berlebihan membuat sejumlah orang yang saya kenal mengalami kesulitan finansial, dan riuh rendah media sosial seringkali menjebak saya dan banyak kawan untuk berdiam terlalu lama didalamnya. Saya masih sering lupa aplikasi bahwa sesungguhnya manusia akan berada dalam aktivitas merugikan kecuali mereka yang memahami pesan-pesan kebenaran dan bersabar didalamnya..

Tentang Nick, ia pada akhirnya ia masih beruntung.... 

"....Even lost is tend to be a good place to find ourself.... "

Pertemuannya dengan kedua orang baru dalam hidupnya adalah katalis yang membuatnya mengingat masa-masa kecilnya yang bahagia.  Kecerian bersama kedua orang tuanya yang bisa dipandanginya lagi lewat sebuah proyektor tua yang ia temukan diantara tumpukan barang di halaman rumahnya.  Ia juga beruntung, ia hidup sebagai seorang lelaki bermasalah namun sejatinya tidak kehilangan modal kebaikan dalam dirinya.  Kebaikan yang terlihat nyata dari bagaimana ia mengerti makna setiap barang yang dipunyainya.  Ia menghargai benar setiap sejarah pencapaiannya.  Dan ketika tiba saatnya, barang-barang itu rupanya akan memberikan imbal balik yang tak ternilai baginya.   ..

Saya jadi ingat bahwa kadang saya terlalu malas mencuci motor, membersihkan rumah ~ kontrakan tentu saja :D ~, dan merawat benda-benda lain yang bisa saya dapatkan baik dari keringat sendiri ataupun pemberian orang lain.   Hal-hal yang seringkali baru saya sadari ketika benda-benda itu rusak ketika dibutuhkan, atau bahkan lepas karena mungkin Tuhan tidak lagi menganggap saya sebagai yang paling laik untuk memilikinya...

Memang benar pepatah, don't get too attached to things, tapi selama hal-hal titipan itu ada di kamar, di badan atau di rumah, maka sudah seharusnya saya memperlakukannya lebih baik. 

Because when Everything Must Go, It might save my life someday...   


   

*****

No comments:

Post a Comment