Tuesday, September 20, 2011

M I N I

Ada banyak hal yang akan selalu kita pandang berbeda dalam hidup.  Kita manusia biasa yang hidup dalam relativitas.  Para ulama masih tidak bisa menyatukan Hisab dan Rukyat.  Para pejabat sering ragu memilih antara meningkatkan PAD atau memenuhi tanggungjawab RTH.   Kita hampir setiap hari merasa terusik dengan sesuatu yang menjadikan kita obyek, sementara kita gampang terlena ketika menjadi subyek.  Terlalu banyak, hingga kita terkadang sulit memilih mana beda yang harus kita samakan persepsi dan mana yang seyogyanya kita jadikan sebagai warna yang kaya.

Adam tertipu 'khuldi', lalu Qabil membunuh Habil juga karena hasratnya terhadap kecantikan Iqlima, sang adik kembarnya.   Perkosaan hampir sama tuanya dengan pembunuhan, keduanya berakar dari dorongan yang sama, nafsu.   Sebuah kenyataan yang karenanya tidak akan terselesaikan dengan melarang perempuan mengenakan rok mini di tempat umum.  Saya pun termasuk salah satu yang meyakini hal tersebut.   Laki-laki yang kadung memiliki masalah mengendalikan nafsu bisa jadi takkan memandang pakaian apapun yang dikenakan perempuan, entah terbuka atau tertutup sekalipun.  Bahkan di Arab Saudi pun perkosaan – termasuk pelecehan seksual terhadap TKW – marak terjadi.    Perempuan tetaplah korban dalam hal ini.

Tapi keyakinan saya ini bukan didasari pada persetujuan saya pada keberadaan rok mini.   Rok mini, semenarik apapun tampilan yang didasarkan pada perkembangan mode, bagi saya (pribadi) tetap tidak bisa mengalahkan keindahan makhluk yang terbungkus rapi dan lebih tertutup.   Buat saya ini lebih pada persoalan menemukan solusi yang tak setengah-setengah.  Dan adalah penting untuk kita senantiasa terbuka terhadapnya,  sekaligus menghindari pernyataan-pernyataan yang tidak memberikan ruang untuk berlangsungnya proses komunikasi dua arah. 

Bagi saya semata mengemukakan usul melarang perempuan mengenakan rok mini tanpa memberikan solusi lain memang wajar jika akhirnya memicu tendensi gender atau faktor diferensial lain dalam lingkungan yang terlanjur plural ini.   Komentar Neng Dara, Komisioner Komnas Perempuan nyata mengungkapkan fakta apa yang ada di pemikiran banyak perempuan .modern.

."Orang terbiasa memakai blazer dan rok pendek, apalagi di kota besar yang heterogen seperti Jakarta. Melarang menggunakan rok pendek menyelewengkan kebiasaan yang sudah menjadi kelaziman. Setiap orang berhak memakai pakaian selama dalam batas kesopanan. Rok mini bukan menjadi alasan atas terjadinya pemerkosaan. Karena tindak kejahatan terjadi bukan karena rok mini, tetapi karena iklim dan mindset."

forumkompas

Jika benar apa yang saya baca, maka Neng Dara pun tidak menjelaskan apakah rok mini termasuk batas kesopanan karena ia banyak menggunakan kata rok pendek yang tentu saja berbeda dengan rok mini.  Lagipula apa itu batas kesopanan? lakukan saja survey dan hasilnya pasti akan memunculkan minimal tiga prosentase pilihan responden yang sama sumirnya dengan pertanyaaan yang diajukan.. 

Saya pikir hal ini menjadi besar karena sang pencetus pun berstatus pemimpin Lain soal misalnya kalau saya yang berbicara, rasa-rasanya maksimal teman debat saya hanya 628 orang.  Iya, cuma segitu teman fesbuk saya yang potensial meluangkan waktu membaca tulisan ini.  Yang kedua, tentu saja karena pemimpin itu berkelamin laki-laki.  Laki-laki dalam strata apapun memang seringkali terjebak dalam ide logis simpel.  Yang karenanya 'memancing' respons sensitif yang secara naluriah memang lebih banyak dimiliki perempuan.   Saya lalu membandingkan situasi ini -maaf jika terlalu jauh- dengan ketidaknyamanan serupa ketika Harry Potter terakhir dan Transformer 3 terancam tak tayang di Indonesia, rasanya semua gender mengeluhkan hal serupa.

Saya yakin ada solusi kreatif lain yang akan secara signifikan mereduksi perkosaan, semacam: menyeleksi benar tayangan televisi, merevitalisasi peran keluarga dalam pendidikan seks, meng-endorse perempuan untuk menambah pengetahuan tentang pertahanan diri dan memberikan ancaman hukuman “kreatif” yang berefek jera seperti memandulkan/mengebiri para pelaku perkosaan juga patut dimunculkan.  Jika disepakati bahwa perilaku kita, entah itu pria atau wanita, terlahir karena kelaziman, maka tentunya merubah sebuah kelaziman pun adalah sebuah pilihan yang tak bisa dikesampingkan..  

Pada akhirnya, tentu saja, saya masih laki-laki dan tak pernah menjadi perempuan atau memiliki kemampuan mengetahui apa yang ada di dalam benak perempuan.  Maka jika opini ini di mata sahabat-sahabat perempuan akhirnya memang akan tetap terdengar seperti seorang lelaki, mungkin memang begitulah adanya.    Toh saya yakin penuh, saya menulis ini mencintai dan menghormati mereka sebagai makhluk paling indah, interestingly complicated, dan tentu saja paling kuat yang pernah diciptakan Tuhan.   Tapi bahkan seorang makhluk terkuat sekalipun perlu melindungi diri dan mendapat perlindungan.  Menghindari rok mini bagi saya adalah sebuah anjuran, pilihan yang baik untuk mereduksi kejahatan yang terbangkitkan kesempatan.  Tapi ada banyak hal lain yang harus pula ditindaklanjuti….

Untuk perempuan Indonesia…  

3 comments:

  1. ngangguk2, mengernyitkan jari, berucap "hmmmm...", "iya banget...", ngangguk2, geleng2....

    entah....kami memang complicated...
    dan tanggapan saya atas permasalahan ini juga complicated....haha... *ngguyu sambil mikir*

    ReplyDelete
  2. betewe mengernyitkan dahi, bukan jari....
    maklum #jamotakjebot

    ReplyDelete
  3. tapi aku yakin sih, walaupun somehow kamu bilang masih complicated nanggepinnya -mungkin karena kita memang berusaha memikirkan orang lain- toh secara prinsip kamu cukup cerdas untuk ga make rok mini dan hot pants diluaran... :D

    ReplyDelete