Tuesday, October 19, 2010

GOALLL......!!!

Kamu lebih suka berlarian diantara kedua sayap,membuka ruang, melebarkan pandangan lalu meluncurkan bola-bola silang. Sementara dia, teman kita pandai sekali mengoptimalkan trik-trik rahasia dibalik permainan paling adiktif ini, ruwet..!!!! Sedang temanku yang baru kau kenal kemarin itu malah sebaliknya. Dia bermain begitu sederhana, pencet X , X lagi lalu tanda segitiga dan akan sampailah dia di depan gawang (pikirnya)....

Aku...??

Aku suka sekali mengumpan, keeping posession...

patiently moving forward, finding that perfect pass though many times its so vulnerable against counterattacking..

Gaya kita memang berbeda kawan, representasi diri mungkin..

Tapi toh pada akhirnya kita mencetak gol dengan tombol yang sama

KOTAK... KOTAK...!!!!

Thursday, October 14, 2010

Misinterpret

*****

Jauh sekali ternyata sungai idealisme yang harus didayungi.

Tinggi sekali pagar yang harus kulompati.

Diterus-teruske kok sirahe tambah bundet lan atine ruwet koyok dawet...

Tapi jangan khawatir, saya tidak akan menyia-nyiakan keringat yang kadung keluar, dengan keluhan. Tidak akaan...!!! Bahkan seandainya kita akan berakhir di bangku taman seperti Tom Hansen dan Summer Fin. Atau seandainya scene terakhir layar menampilkan adegan dimana saya harus bisa berkata "i'll always around", seperti ujar Kent pada Lane...

Because i know from the very start...

Even the best-laid plans have a tendency to waver and buckle

Let alone our sudden dream... So its ok,

If history shall reveal, that our keenan and kugy-like stories,

ends at chapter 44,

not 46...

Karena saya adalah perencanaan dan anda anggaran..

the script wont go our way eventually…

****

(in this world)



@beruang: this is not about us loh ya, not a chance.. hehe...

Wednesday, October 13, 2010

Tambal Ban

Hujan besar kemarin sore dan setelah menunggu beberapa lama, saya akhirnya memutuskan untuk nekat saja pulang kantor. Mendung terlalu gelap untuk ditunggu mencerah. Namun belum sampai gerbang keluar kompleks kantor, roda depan motor mendadak bocor sehingga mau tak mau saya harus menuntunnya. Seratus dua ratus meter, air mulai menyusup masuk ke balik jas hujan yang berlubang disana sini, dan tak ada satupun tambal ban yang terlihat.

Hari itu saya memang masih sedikit emosional. Saya merasa telah disalahkan dalam serentetan peristiwa yang berdampak pada perubahan ritme kerja di kantor. “..Kalo bisa diperlambat kenapa dipercepat..”, begitu lelucon tentang lingkungan pekerjaan saya, sesuatu yang sayangnya memang jamak, walaupun saya tidak berminat terinstitusi didalamnya. Andy Dufresne tak mau menyerah pada kekangan jeruji besi dan justru menghadirkan nuansa edukasi didalamnya. Saya mau seperti dia, dan hari itu saya sadar, itu tidak semudah yang saya kira.

Saya menunggu seharian untuk kesempatan bertukar pendapat tentang tuduhan yang telah tersebar kemana-mana. Tapi diskusi urung terjadi. Mungkin para penyebar isu tak berani beradu bukti. Maka akhirnya ban bocor pun terasa seperti taburan gula diatas croissant. “Perfectt..!!!” pikir saya sedikit menggerutu.

Dan bantuan untuk saya rupanya datang kemudian sebuah warung rokok dengan hiasan ban bekas diatapnya. Sepasang suami istri didalamnya tanggap menawarkan jasa dengan logat daerah yang kental saya kenal. Sempat terlintas keraguan melihat kelengkapan alat yang mereka miliki, namun akhirnya pasrah saja, daripada nuntun lebih jauh pikir saya. Lalu saya pun segera mencari posisi berteduh dibawah pohon, memandangi suami istri pemilik warung itu bekerjasama menambal ban motor saya.

Lamat-lamat terdengar percakapan mereka tentang hidup yang semakin keras, berdebat kebijakan pemerintah. Kadang saya tersenyum dibuatnya, logika-logika mereka sederhana sekali kala mendefinisikan arti kata sejahtera. Sejahtera buat mereka bukan setiap hari memandangi dunia dari balik kaca mobil yang berkilat-kilat, bukan tentang bekerja di gedung yang nyaman dan aman, bukan pula tentang liburan setiap bulan. Sejahtera hanya tentang bagaimana anak-anak mereka bisa lebih baik dari sekedar mewarisi keterampilan penambal ban.

Semakin basah keduanya diantara air hujan yang mengalir deras dari atap warung mereka. Dan hati saya perlahan mendingin.

Tuesday, October 5, 2010

It Is More About The Manner, Not The Result!!!

Aku tidak punya masalah dengan kekalahan, ini hidup pada akhirnya.

Tapi caramu menyerah yang membuatku terganggu.

Dimana energi yang kucintai?....

Mengapa yang tampak hanya letargi?....


"...kamu terlalu jauh dariku untuk bisa mengambil kesimpulan secepat itu..." , katamu


Kamu tahu? Aku sungguh berharap kamu benar

Bahwa aku yang salah menafsirkan keadaanmu

Bahwa aku yang ternyata tak mengerti sepenuhnya siapa dirimu

Tapi kita bukan lagi kawan kemarin sore

Bukan lagi rasa yang tertimbang dari satu dua adu pandang

dan Kita telah jauh-jauh hari mengerti dengan ekspektasi tinggi.

Ini takdir kita. Yang seharusnya membedakan aku dan kamu dengan lainnya.


Lalu kenapa kamu menjadi biasa?

Aku mau kau yang sempurna,

yang kadang dibenci karenanya...


"...see my limitation!!!.." , you said


Sekarang aku mulai melihatnya memang...

walau sekali lagi aku berharap aku yang salah

dan kamu belum luntur, hanya sekedar kabur...

Wednesday, September 22, 2010

even crowe made wrong turn

Sodoran cara pandang yang berbeda seharusnya membuat sesuatu yang telah basi terlihat kembali menarik. Apalagi jika cara pandang itu disampaikan oleh seorang yang lebih ahli dari kita. Tapi sayang, niat menghadirkan perspektif baru itu justru kadang menjadi terlalu politis. Robin Hood (2010) adalah salah satunya.

Nama Ridley Scott, Russel Crowe dan Cate Blanchett (juga Brian Grazer) seharusnya menjadi jaminan bahwa Robin Hood akan tidak berbeda jauh dari Gladiator. Namun ternyata yang saya dapat adalah sebuah filem yang secara aneh berisi konsep intrik semacam The Sopranos, dialog Star Wars, dan Crowe yang sering terjebak menjadi Maximus. Russel Crowe is A Beautiful Mind, He also a fantastic Gladiator, but for sure he failed to be Robin.


"Steal from the rich, and give to the poor…"


Adalah kredo yang populer dari legenda seorang pencuri baik hati yang berkeliaran di sekitar Nottingham. Setidaknya sebelum Ridley Scott mencoba menunjukkan Robin dalam perspektif persona lain, "Don't retreat, reload."


Bagi saya, ini seperti sebuah rencana menanti pagi dengan paket Alanis morisette, Gerimis yang membentuk alur halus di kaca, dan secangkir kopi pahit, yang mendadak buyar karena sebuah telepon berita duka. Oh ya, satu lagi, anda juga mungkin akan mengalami dejavu adegan pendaratan kapal perang dalam Saving Private Ryan. Semuanya harus anda alami dalam 2 jam 20 menit film yang mungkin justru akan terlihat lebih menarik dengan selingan tarian india didalamnya.


Tapi tetap ada yang bisa disyukuri bukan dari setiap kejadian buruk sekalipun?


Cate Blanchett ga buruk-buruk amat dan yang utama, saya sangat bersyukur ini adalah film pertama dari enam keping yang akan saya tonton. And it wont get worst I guess.. Hehe…

Tuesday, September 21, 2010

HUJAN HARI RABU

Hujan turun lagi kemarin walau tak seganas hujan hari minggu.

Di sebuah bagian utara kota, dalam sebuah warung, sekelompok orang yang tak semuanya saling kenal, datang dengan tujuan yang sama, semangkuk kehangatan.

Sepasang kekasih berdiri paling depan, memegang kendali atas gerobak bakso bakar yang dikerumuni beberapa orang lainnya. Sang wanita memilihkan satu-persatu menu untuk pasangannya, pria yang begitu awas pada sekitarnya. Tampak ingin memastikan tak satu lelaki pun dalam kerumunan itu menyentuh wanita itu. Mungkin pria itu sadar, perbedaan kadar cinta diantara mereka kasat mata.

Tapi akhirnya ia tak bisa berbuat apa-apa, ketika mendadak dari arah dalam warung berlarian dua orang anak kecil. Menyeruak sambil memamerkan suara mereka yang menggelegar, berat layaknya pria yang sudah lama menghadapi kerasnya hidup, kedua anak itu segera mengambil alih kekuasaan atas gerobak bakso itu.

Pasangan itu menyingkir, masuk kedalam warung. Sementara orang-orang hanya bisa tertawa walaupun tak lama sebagian dari mereka berkerut mendengar diksi anak-anak tambun itu yang berubah dari lucu menjadi kasar. Hidup sepertinya terlalu mencukupkan segalanya bagi keduanya, lalu mereduksi tata krama kedalam urutan yang kesekian.

Lalu datang seorang ibu dan anaknya mendesak kedepan. Tinggi besar perawakan wanita paruh baya dengan outfit mahal itu, yang sejurus kemudian berteriak-teriak pada tiga orang karyawan, meminta pesanannya dipercepat seolah ia telah menanti dalam hitungan jam. Entah kampungan atau memang belum semua orang kaya pernah merasakan bakso bakar.

Di sudut belakang gerobak, seorang lelaki dalam pakaian coklat yang setengah basah berdiri terpojok. Raut mukanya yang masih menyimpan kesal pasca perdebatan bodoh dengan atasannya lambat laun semakin cerah. Sementara aroma daging terbakar menghangatkan tubuhnya, hujan badai dan kerumunan itu berkonspirasi mendinginkan kepalanya yang tak henti menangkap pikiran disekitaran. Keinginan-keinginan memang sungguh memabukkan, sumber penderitaan kata bang iwan...

Tuesday, September 14, 2010

Premonition

“…..Tak peduli aku sepakat atau tidak, hirau atau tidak, hidup tetap mengirimkan pertanda padaku seperti sahabat pena satu arah yang bersikeras mengirim surat meski aku tak ingin membalas, apalagi meminta….. (dee)”

******


Telah kusiapkan kata-kata yang mulai terfikir beberapa waktu yang lalu. Tapi hari ini tidak satupun kata yang keluar. Mungkin firasat tentang hari ini telah mengambil porsi terlalu banyak. Pada akhirnya aku menyerah, terdiam, lalu meraih tubuhnya yang bergetar pelan. Mengikuti alur yang seakan memutar ulang mimpi dua minggu kemarin. Tak lagi mencoba membelokkan adegan, although it feels like watching sixth sense, already knowing bruce willis is a ghost.

Menolak firasat kupikir hanya akan mereduksi fungsinya untuk menghindari dalil “timbangan cinta baru terukur ketika kita kehilangan”. Menerimanya, mungkin bisa membuatku tak perlu menunggu selama itu...

Maka lima menit sakral itu pun lenyap dalam pelukan erat. Kami saling menitipkan pesan pada udara yang perlahan menghangat karena emosi. Kusandarkan wajahku di tulang selangka-nya yang tampak. Giliran aku yang bergetar memeluk pinggangnya yang berkurang drastis semenjak pertemuan terakhir kami.

Seperempat abad cukup untukku mengenal banyak adegan perpisahan.

It tends to be like this, but still, it never happened like today.

Tuhan pasti tahu aku mencintainya tanpa pesaing…

Dan kurasa dia juga tahu…

*****

selamat hari raya temans, jangan sia-siakan waktu…