Saturday, August 1, 2009

Goin Where The Wind Blows!!!

Sadar ga sadar selama saya meniti perjalanan panjang bernama Kehidupan ini ternyata entah berapa kali saya mencoba bertahan dengan sekotak norma dan nilai or whatever u call it, tanpa sadar bahwa kehidupan itu sendiri adalah sebuah evolusi.

Saya kadang terjebak menganggap nilai saya itu tersebut sebagai ‘kebenaran mutlak’ karena itulah yang sudah saya genggam bertahun-tahun. Bahkan, tidak jarang saya menganggap mereka yang berseberangan dengan saya sebagai pihak yang ‘salah’ – semata-mata karena apa yang mereka percayai tidak sejalan dengan saya. Akhirnya, ketika saya menasehati/berusaha meyakinkan seseorang untuk menerima apa yang saya anggap benar (dengan mengatasnamakan kebaikan orang yang bersangkutan), sesungguhnya itu hanyalah upaya untuk mengonfirmasi apa yang bersarang di benak saya sekian waktu lamanya; bahwa saya masih benar, bahwa saya masih bisa menggenggam prinsip tersebut, bahwa saya masih dapat mempercayainya.

Padahal jangankan nilai, wong hal-hal sepele seperti acara tivi, lelucon, atau pakaian yang digilai dan dianut mayoritas orang dan dijadikan konsep ideal massa saat ini saja, bisa tidak laku lagi 10 tahun mendatang, atau bahkan mungkin 1 tahun lagi seperti lagu-lagu murahan yang diidolakan sekarang ini. Apa yang dianggap tren terkini bisa menjadi usang dalam hitungan waktu, dan apa yang disebut ‘nggak banget’ sangat mungkin berubah menjadi ‘saya banget’.

Intinya, lepas dari apapun yang diyakini sebagai kebenaran mutlak (DIA), saya percaya bahwa kebenaran sejati hanya bisa diperoleh dari kehidupan yang terus berevolusi. Dari pengalaman-pengalaman otentik yang mendekatkan setiap orang pada realitas dirinya yang sejati. Kenapa relatif? Karena proses evolusi setiap orang tidak sama; layaknya proses tumbuh-kembang manusia secara fisik (ada anak yang umur setahun sudah bisa berlari, ada yang baru belajar berjalan. Ada yang sudah pandai cuap-cuap ketika berusia 2 tahun, ada yang baru belajar bicara, dan sebagainya), atau seperti faktor penyebab kebahagiaan yang sangat beragam. Nggak usah jauh-jauh ngomong bahagia, dari hal-hal terkecil yang biasa ditemui dalam hidup sehari-hari saja, banyak contoh kasus yang bisa dijadikan analogi.

Salah satunya dulu saya tidak terlalu suka kopi, lebih suka pahitnya teh. Tapi sekarang saya sangat membutuhkan kopi. Saya menikmati kehangatannya yang membuat saya bisa begadang semalaman memburu deadline kerjaan dan menghargai kehadiran kopi di setiap gelak tawa dan pertukaran cerita dengan komunitas orang-orang dalam lingkaran persahabatan saya.

Atau contoh yang lebih gathel, dulu saya menganggap cinta itu harus diperjuangkan sekuat tenaga. tapi sekarang saya lebih percaya bahwa cinta itu mudah dan seharusnya memudahkan, tak perlu usaha berlebihan dan tak perlu lah menunggu terlalu lama hanya untuk meluluhkan sebuah cinta. Masa inkubasi cinta itu tidak lama, akan menginfeksi saya dalam jangka waktu yang dekat, satu dua senyuman yang diiringi satu dua pembicaraan mendalam yang akan mengukur seberapa jauh saya dan dia bisa melangkah...
[YOU'VE INFECTED ME AT HELLO]

Masih banyak lagi sih perubahan yang menjadi contoh bahwa saya terus berproses bersama kehidupan. Sederhana saja. Saya mungkin telah menemukan inti dari siapa saya beberapa waktu lalu, tapi faktanya itu tidak mencegah seorang individu untuk terus beradaptasi bahkan berevolusi.

Dan suka tidak suka, cepat atau lambat, kita akan berhadapan dengan momen dimana kita harus memilih: melepaskan apa yang selama ini kita genggam, atau terus menyimpannya sampai berkarat. Tidak mempertahankan apa yang sudah usang, atau memeluknya sampai mati. Meninggalkan "sofa kenyamanan" untuk meneruskan perjalanan, atau bergelung dan menutupi wajah dengan selimut hangat yang terkadang melenakan?? Ikut berevolusi bersama kehidupan, atau tinggal dalam kondisi yang sama selamanya??

Siapkah kita, jika suatu saat kita berhadapan dengan realitas bahwa apa yang selama ini kita pegang erat-erat telah berubah menjadi ‘kebenaran usang’ yang tak lagi beriringan dengan proses evolusi kehidupan?

Siapkah kita, jika dihadapkan dengan momen dimana kita diharuskan untuk memilih, meski kita tak ingin menetapkan satu di antara dua (atau tiga, bahkan empat)?
Siapkah kita, jika ‘tanggal kadaluarsa’ itu tiba?

Apa yang akan kita lakukan?

Saya? Saya hanya punya satu harapan, simple, jika tuntutan itu datang lagi, maka Mungkin memang sudah waktunya dan semoga hati ini bisa semakin diperluas untuk terus beradaptasi dengan setiap proses evolusi kehidupan, apapun wujud dan caranya.

Jika tiba saatnya saya harus melonggarkan jari untuk melepas, biarlah hal itu terjadi dengan natural, sebagaimana mestinya, karena memang sudah saatnya.

Jika tiba waktunya untuk berubah, biarlah saya melepas semua yang selama ini saya jalani dengan lapang dada; nyaman tidak nyaman, suka tidak suka.

Ketika tiba saatnya berhadapan dengan realitas dari kehidupan yang senantiasa bergerak dinamis ini, biarlah saya memiliki kebesaran jiwa untuk menerimanya... dan bergerak bersamanya...
*go with the flow kata temen saya*

Someone said life is for the taking
Here I am with my hand out
waiting for a ride

I've been living on my great expectations
What good is it when I'm stranded here
And the world just passess by

Where are the signs
to help me get out of this place

If I should stumble on my moment in time,
How will I know
If the story's written on my face,
does it show

Am I strong enough to walk on water
Smart enough to come in out of the rain
Or am I a fool going where the wind blows

Here I sit halfway to somewhere
Thinking about what's in front of me
and what I left behind

On my own, supposed to be so easy
Is this what I've been after
Or have I lost my mind
Maybe this is my chance coming to take me away

"-Goin Where The Wind Blows, Mr Big"

No comments:

Post a Comment