Friday, October 23, 2009

Inside Avanza

Kulirik casio beside di tangan kiriku, hampir setengah delapan malam ketika Avanza Silver yang kutumpangi melewati deretan ruko di pasar lawang, cepat sekali kupikir, terlalu cepat. Wanita paruh baya di depanku mungkin sedikit menyesali keputusannya memilih duduk di jok depan.
Seorang lelaki keturunan yang duduk di sampingku berusaha tidur sambil sesekali men-cek telepon selulernya. Sama sepertiku, keduanya memilih diam, tak menyangka bahwa bapak tua dibalik kemudi itu sering lupa bahwa mobil ini punya teknologi bernama "rem" selain pedal gas. Kacamata dan keriput di wajah pak tua seakan menjadi bonus ketegangan semalam. Masihkah penglihatan dan staminanya mampu mengimbangi jarum speedometer yang selalu tinggi.

Mungkin ia juga lupa kalau menumpangi mobil berbodi ringan ini akan terasa sama dengan roller coaster bagi penumpang di belakang sepertiku. Hampir tak ada lagi skor kenyamanan yang bisa kuberikan, tapi sudah terlanjur juga kupikir. Lantas kucoba membuang kecemasan dengan bernyanyi kecil, mengikuti lirik-lirik menghentak simple plan yang kemarin kujejalkan kedalam pemutar musik kecilku. Tapi tak lama, sebuah adegan salip menyalip dengan sebuah truk tronton, mendorong pak tua yang makin tak sabar itu mengambil lajur kiri yang sejatinya terlalu sempit, tanpa sadar di tepi persis jalan ada motor yang sedang menepi, pelan.... Crriiiiiiiitttttt.... Badanku terdorong cepat, hampir kucium jok depan. Ketenangan yang kubangun hilang tak bersisa, walau kupikir masih beruntung juga pak tua tak terlambat mengerem. Lalu lirih kudengar ia menggerutu, mengutuki motor yang terlalu pelan saat menepi dan posisi tronton yang menyulitkannya, entah apa lagi dan siapa lagi yang salah pikirnya....


Kita seringkali menghujat polisi yang tampak inkompeten dalam beberapa kasus. Tapi lucunya kecerdasan yang membuat kita bisa mengendus aroma konspirasi korupsi seringkali tak cukup banyak untuk membuat kita sadar untuk lebih bijak dalam perjalanan, bahwa jalan raya bukan hanya milik kita. Pak tua sopir travelku tadi malam hanya satu dari sekian banyak "keanehan" yang menghinggapi orang-orang di jalanan. Menyalip dari kiri, Asyik memencet HP sambil naik motor, Memacu kendaraan dengan kecepatan yang tak bisa dipertanggungjawabkan, Tak memakai lampu di malam hari, Tetap jalan ketika lampu persimpangan sudah merah, adalah sedikit dari contoh dosa yang mungkin kita anggap kecil.

MAAF, TAPI ANDA YANG SEPERTI ITU, SEKAYA DAN SETINGGI APAPUN GELAR ANDA, SUNGGUH MENYEDIHKAN.... Sungguh, semua perilaku itu adalah KEGOBLOKAN yang bersumber dari ketidakdewasaan mereka yang tak tahu susahnya mengumpulkan uang untuk beli kendaraan sendiri. Tinggal pakai hasil jerih payah orang tuanya. Dan, oh ya, Pelampiasan bodoh dari mereka yang berpura-pura menjadi seorang "valentino rossi" untuk lari dari kehidupan mereka yang sepi. Tak ada yang menanti saat pulang, sehingga rayuan maut di jalan pun mereka jadikan teman.

Yah, Logika memang seakan mudah sekali hilang, menguap bersama panas jalan yang menyengat, atau tenggelam bersama kantuk yang sering menjadi alasan. Dan semua kendaraan lain pun sontak jadi lawan yang harus dikalahkan. Aku memang bukan penganut kecepatan, dan mungkin sebagian kalian akan menertawakan. Tapi menjadi bertanggung jawab dan menghormati orang lain di jalan sungguh adalah sebuah parameter kedewasaan diri dan bagian refleksi karakter bangsa. jadi, JANGAN BIKIN MALU JADI ORANG INDONESIA....

Tuesday, October 20, 2009

surat yang (mungkin) tak sampai

Assalaamu'alaikum Wr. Wb.

Bapak, pertama-tama, selamat atas hari ini. Prosesi yang lancar semoga menjadi pertanda baik bahwa lima tahun ke depan adalah masa-masa yang lebih baik dari kemarin.

Seperti yang Bapak sampaikan dalam pidato 18 menit tadi pagi, maka saya setuju bahwa tantangan ke depan akan semakin besar. Ekonomi, Birokrasi, dan Hukum adalah sektor yang akan membutuhkan perhatian terbesar, kerjasama dari semua elemen yang masih mengaku Indonesia dan tentu saja kepemimpinan yang kuat dari Bapak.

Saya bangga punya presiden yang pintar, dan orang bilang cermat dalam pengambilan keputusan. Tapi saya juga percaya bahwa setiap pemimpin akan selalu dihadapkan pada beragam momen yang mengharuskannya mengambil keputusan sulit dengan cepat. Itu pula kenapa saat pilpres kemarin saya jatuh hati pada Pak Jusuf Kalla, pendamping Bapak kemarin yang di mata saya sungguh figur yang menyegarkan. Dan terus terang tadi pagi, beberapa hari ini saya merasa kehilangan beliau.

Namun apapun perasaan itu, yakinlah Pak, saya juga terus berusaha menjaga keyakinan bahwa Bapak juga seorang yang kapabel menjadi pemimpin yang cermat dan cepat memutuskan. Bukan begitu Pak??? Karena sungguh, disitulah saya pikir salah satu parameter kebesaran sejati seorang pemimpin. Maka jadilah Pemimpin Besar Indonesia. Tak perlu sesempurna Muhammad jika itu terlalu muluk. Cukup menjadi sebesar Gandhi, Mandela, dan Sukarno dan itu akan sungguh membanggakan. Jadilah seperti mereka yang menjadi panutan dan kebanggaan bangsa. Masuklah kedalam golongan pemimpin besar yang melindungi jati diri, budaya, dan integritas ekonomi tanpa meninggalkan HAM, Lingk.hidup, dan nilai-nilai universal lainnya.

Saya yakin Bapak memiliki cukup pengalaman dan pengetahuan untuk menuju kesana. Lima tahun kedepan yang semoga tak lagi diwarnai dengan berita diinjak-injaknya teritori negara kita, melangitnya utang ke lembaga-lembaga "rentenir" dunia, dirampoknya karya-karya besar budaya bangsa, disakitinya para prajurit penyumbang devisa, dicabulinya moral bangsa oleh pengaruh global, digerusnya sumber daya alam kita, hutan kita. JANGAN LAGI..

Pilih pembantu-pembantu yang kredibel, jujur dan mendukung Bapak. Jangan jadikan balas budi sebagai kriteria dengan bobot tertinggi. Lantas pimpin mereka dengan tegas dan penuh wibawa. Jangan biarkan satu orang pun memanfaatkan kelembutan hati Bapak untuk kepentingan akal bulus mereka. Jangan, jangan sampai itu terjadi!!!! Bersihkan dan tata kembali birokrasi negeri yang masih berbelit-belit ini dengan keberanian layaknya seorang Jenderal Tertinggi. Hancurkan saja setiap antek korupsi, tikus-tikus yang menggerogoti kami sekian lama. Mereka tak pantas hidup disini, di negeri yang Bapak dan saya cintai ini. Lumpuhkan juga ideologi terorisme di negeri ini dan jangan hanya tembak mati orang-orang bodoh yang melakukannya.

Bapak, tolong pimpin kami dengan cinta, jangan hanya angka. Angka pertumbuhan ekonomi yang terus positif memang benar keberhasilan Bapak kemarin. Tapi jangan menutup mata dan hati akan deretan pengemis dan antrean pencari kerja yang bersliweran dimana-mana. Angka hanya berguna untuk elit. Terkadang angka juga hanya citra untuk mata dunia. Rakyat kebanyakan takkan tahu apa itu inflasi, sentimen pasar modal, atau tetek bengek istilah lainnya. Mereka rasanya tak peduli bagaimana apresiasi media-media asing terhadap keberhasilan kita menjaga angka pertumbuhan. Rakyat cuma tau makan cukup. Mereka cuma ingin bekerja dengan bahagia.

Perhatikan kami, lalu hasilkan keputusan-keputusan yang memihak kami. Mudahkan pendidikan, Mudahkan kesehatan, Buka lapangan pekerjaan, juga lindungi Petani dan Nelayan. Lakukan semuanya dengan kebijakan yang Bapak miliki agar jangan lagi ada teriak ketidakadilan dari saudara-saudara kami di daerah-daerah tertinggal. Seimbangkan timbangan kemajuan Timur dan Barat.

Saya percaya semua hal di dunia akan mudah jika diawali dengan cinta dan saya yakin Bapak tahu benar apa itu cinta. Lebih banyak dari saya yang hanya tahu bahwa cinta dimulai dan bertahan dengan kontinuitas pencarian kebahagiaan di dalam dan bukannya terjebak pada apa yang pihak luar pikirkan.

Bapak, maaf jika nantinya kami tidak sabar menagih janji. Maaf juga jika bukti cinta kami tak hanya berwujud kata setuju tapi juga teriak lantang dan (mungkin) sedikit caci maki. Bukankah cinta juga butuh perbedaan dan riak untuk membuatnya semakin kuat?? Bukankah bebek goreng takkan nikmat tanpa sambal?? Maka anggap saja setiap kritik sebagai cermin buat Bapak, bukti cinta kami pada Indonesia. Ya, begitulah kami. Rakyat yang Bapak pimpin ini sudah terlalu lama mendambakan cita-cita bangsa. Pembukaan UUD 1945 adalah mimpi kami, mimpi Bapak juga rasanya. Maka jangan biarkan kami kehilangan keyakinan ini.

Akhirnya selamat bekerja Bapak. Cintai kami lebih dari 5 tahun yang lalu dan kami pasti mencintai Bapak lebih besar lagi. Perjuangkan kami lebih kuat lagi dan kami pasti akan mencatat Bapak dalam memori-memori indah kami. Sekarang, besok, selamanya.

BISA KAN PAAKK???

Salam hangat dan doa dari saya, salah satu rakyat

Wassalam


Sang Saka

Saturday, October 10, 2009

SEBUAH TITIK PERJALANAN LAIN

...Kulayangkan pandangku melalui kaca jendela
dari tempatku bersandar Seiring lantun kereta
Membawaku melintasi tempat-tempat yang indah
Membuat isi hidupku penuh riuh dan berwarna....

Pemutar musik digital kecil itu renyah mendendangkan sederetan lagu, hingga suara berat fadly yang melantunkan lirik-lirik "perjalanan ini" mengetuk saya dalam perjalanan ke Kuala Tungkal, sebuah kota pelabuhan di Jambi. Mobil SUV merah yang saya tumpangi melaju cepat, melintasi deretan kebun sawit dan bukit-bukit lempung yang sebagian menggundul, menyusuri aspal jalanan yang basah karena hujan sejak semalam. Didalam mobil, dua orang di depan berbincang tenang dalam logat daerah yang sesekali tak saya mengerti artinya. Saya sendiri tenggelam dalam keasyikan di jok belakang, larut dalam perenungan akan "jawabannya" tentang kebuntuan yang sempat mengaburkan logika namun tidak lagi. Debu menghilang tercabik rintik yang mulai menerjang dan inspirasi datang begitu saja setelah adanya penerimaan diri akan sebuah titik baru perjalanan panjang.

Dan kalau sudah sampai pada kesimpulan bahwa hidup ini adalah pilihan antara menerima atau tidak menerima, pertanyaan alamiah selanjutnya adalah apakah usaha masih diperlukan dalam hidup?.

"....Sesungguhnya tidak akan berubah nasib suatu kaum,
kecuali mereka sendiri mengubahnya...."

Begitu kira-kira arti salah satu firman Tuhan yang membuat saya mudah menjawab bahwa usaha masih diperlukan. Tapi pertanyaan selanjutnya adalah sampai mana?? Bagaimana berusaha yang bisa merubah kehidupan??

Sebagai orang yang tidak terlalu yakin pada adanya konsep keberuntungan di dunia, jelas bahwa saya tidak anti pada konsep usaha dan upaya. Namun akhir-akhir ini saya juga merasa bahwa kadang usaha, apalagi sampai ngoyo’, yang tidak diimbangi dengan kepasrahan, seringkali membawa rasa frustrasi dan kepedihan. Takdir itu sama seperti halny cinta, mudah dan memudahkan. Ya, saya bisa bilang bahwa saya telah menjalani beberapa pengalaman itu dalam kehidupan saya dan semakin lama saya semakin percaya bahwa jalan keluar yang paling enak ketika ingin mengubah kenyataan atau menyelesaikan suatu masalah adalah mengingat bahwa kenyataan tidak semata-mata tergantung pada usaha kita, dan ada jalan lain yang tidak selalu lazim untuk memulai.

Reza Gunawan bilang jalan itu “ABC”. Singkatan dari “Acceptance Before Change”. Jalan ini adalah ketika kita bisa mengerti bahwa perubahan pasti terjadi, dengan maupun tanpa usaha. Langkah pertamanya adalah menerima tanpa syarat apa pun kenyataan yang ada saat ini, apa pun perilaku dan sikap orang yang terlibat saat ini, apa pun pikiran dan perasaan kita saat ini.

Sementara om Mario bilang perjalanan adalah sebuah proses perpindahan dari satu pemberhentian ke pemberhentian berikutnya. Dan kita hanya akan segera sampai, jika kita menyegerakan sebuah pemberangkatan untuk setiap pemberhentian.

Maka mereka yang mencapai hasil yang banyak dan yang besar dan yang tinggi, adalah mereka yang berhenti saat mereka harus berhenti - tetapi yang segera memulai lagi. Sebaliknya, mereka yang lambat dalam mencapai haknya untuk berhasil, adalah biasanya orang-orang yang memperlakukan tempat-tempat berhenti – sebagai pemberhentian, atau bahkan betul-betul sebagai penghentian.

"Sebuah pintu keluar adalah pintu masuk ke ruangan yang lain"

Yang jelas, saya percaya, apa pun perubahan yang hadir di setiap momen perjalanan yang kita alami, jauh lebih mudah untuk menyambutnya dengan pikiran jernih dan hati yang lapang. Menerima bahwa tidak semua terwujud seperti doa kita, bahkan tetap positif ketika ada yang membenci kita. Saya sudah pernah melihat orang yang didera penyakit mematikan, mengalami sendiri jungkir balik cinta yang parah, hingga kesulitan rezeki yang membuat saya harus bertahan hidup dengan uang lima ribu perak selama seminggu. Semuanya bisa berbalik secara ajaib ketika kita sudah mencapai titik 'menerima' keadaan. Ini sungguh sulit untuk ditulis. Kita perlu keberanian untuk mengalaminya sendiri.

Dan pemutar musik itu kembali berjalan.
....
I know, i know, i know part of me says let it go
everything must have it reason
round and round it goes
and every day is a one before
but this time, this time
i^m gonna try anything to just feel better...

| inspired by reza gunawan

Untuk beruang, mungkin tiga kalimat favorit itu terlalu sering dipakai sehingga Tuhan kembali mengujinya dalam realita. Entah kalimat-kalimat itu hanya deretan kata atau memang sudah menjadi pondasi yang kuat, jawabannya akan ada nanti. Yang jelas tetap tegar ya walaupun uang saku pas-pasan, and be stronger than ever... :D

Wednesday, October 7, 2009

Buntu

Akhir-akhir ini saya sepertinya sulit sekali menuangkan ide untuk bertanya dan menulis tentang sebuah hal yang benar-benar menarik perhatian. Penyebab awalnya jelas karena saya memang masih menjadi penulis yang buruk, walaupun saya yakin Dewi Lestari juga pasti pernah buntu. hehe... Dan ketika logika macet, biasanya yang keluar malah masalah yang diluar logika, dan itu konyol bagi saya. Tapi hati memang kadang susah dikendalikan, jadi saya biarkan saja dia nyelonong diantara status-status ga jelas di dunia maya.

Penyebab kedua sepertinya menemukan momen menulis yang tepat dan cepat. Kemarin saya ingin menulis tentang DONITA, banci yang sempat "menemani" saya dalam perjalanan mudik kemarin, tapi sampai sekarang materi saya malah belum terisi dan kebodohan donita juga menjadi sedikit basi. Waktu 'merenung' tersita oleh agenda wisata kuliner dan silaturahmi tetangga kanan kiri yang masih saja terjadi. Lalu, terpikir juga untuk melanjutkan "cerpen bodoh" itu, tapi saya belum punya ide bagaimana kami akan menentukan ending-nya, menutupnya dengan akhir yang bahagia, atau melanjutkannya dengan tanya... Lantas semua ide pun tertunda, terhimpit deadline di dunia nyata, membuat sekarang ini saya malah mempertanyakan kembali idenya. Tapi saya percaya, setidaknya semangat itu masih ada, the spirit carries on. Dan waktu yang sepertinya terasa terbuang sia-sia ternyata juga menawarkan jeda untuk saya berpikir kembali...

"...Ada masanya aku ingin dan akan bicara tentang pertem(p)u(r)an dua hati yang masih saja berkejaran tiada henti seperti kuda-kuda penghuni komedi putar di pasar malam. Tapi konyol rasanya merangkai kata-kata itu ketika bumi bergolak, udara menghitam, dan saudara kita terkubur sekarang ini. Kita, jika kata itu hanya dimensi yang mewadahi aku dan kamu, maka sungguh kerdil bagiku sekarang.

Terpikir juga olehku menceritakan tentang remeh temeh kemarin, tapi aku kadung bercita-cita untuk menggantinya dengan sebanyak mungkin perbuatan hari ini dan harapan akan esok hari. Aku buntu, dan sedikit mengadu... cinta, kau bawa kemana wajah kaku yang padanya kusandarkan inspirasiku?? Kapan jemarimu kembali dalam genggamanku?? Aku bertanya karena aku percaya dengan banyak cara engkau selalu menjawab. Maka tampar saja jika itu bisa mengakhiri jeda, asal jangan diam seperti malam. ..."


[ sapi hadir kembali ]

Friday, September 18, 2009

Laskarku

Setahun yang lalu saya tidak pernah membayangkan akan mengalami satu lagi "perjalanan" yang menakjubkan. Ketika kini saya mencoba berpikir kembali, maka saya menemukan banyak hal, cerita tentang individu-individu yang saling mengingatkan atau bersama-sama mencoba.
Dan seperti saat pertama kita membuat origami sederhana, entah perahu atau pesawat kertas, maka semua dimulai dengan lipatan yang mempertemukan dua sisi yang tadinya berlawanan arah. Selanjutnya setiap kejadian, pahit, manis, aglomerasi dan friksi jelas adalah konsekuensi dari setiap pilihan kita yang memutuskan untuk terus melipat dan menekuk kertas kecil itu menjadi bentuk yang diinginkan.

"Seperti udara, aku mencintaimu, selalu terikat ruang. Seperti cuaca, aku menyayangimu selalu terikat waktu. Seperti hujan, aku membencimu, sewaktu-waktu."

Lantas ketika semua lipatan yang dibutuhkan sudah dilakukan, maka yang tampak takkan lagi semua, walau kertas kita tak berkurang. Hanya tekukan takdir yang menentukan bahwa sebagian harus ada di sisi yang lain, memainkan peran lain yang menguatkan namun tak lagi mengizinkan eksistensi fisik. Sama persis seperti yang kita akan hadapi entah besok, beberapa bulan, setahun, sewindu, atau mungkin tak perlu. Dan kita hanya akan punya satu pilihan untuk menerima. Seperti hati yang akan berusaha selalu menyimpan walau mata terkadang miskin tatapanmu dan kering akan senyummu. Then, thats simply what i hope, the reason we've met for, coz it takes forever than the moment we share....

Taqabalallaahu Minna Wa Minkum
Minal Aidin Wal Faidzin

"...selamat melahap jamuan terakhir ramadhan tahun ini, selamat berhari raya esok nanti, dan maafkan saya teman, sahabat, saudara, adik, kakak, inspirasi hidup...."

Friday, September 11, 2009

Wartel Dewi dan Kejujuran

Tahukah bahwa dua hal itu ternyata memiliki persamaan?? Yepp... sama-sama makin susah dicari!!!. Wartel, yang dulu seolah menjadi entitas simbol kejayaan telekomunikasi era 2000-an memang sudah kena gusur sama outlet-outlet isi ulang pulsa seluler. Sebuah hal yang sama sebenernya ketika wartel-wartel itu "merubuhkan" kotak-kotak telepon umum yang dulu menjadi saksi bisu kisah cinta bermodal recehan gambar wayang jaman SMP/SMA. Jaman itu, ngantri setengah jam demi 10 menit didalam "kotak keramat" itu pun dibela-belain, hahaha..mengakulah kalian!!!.

Beberapa tahun lalu, ketika wartel makin menjamur, saya mengalami kesulitan mencari telepon umum yang berfungsi normal di Indonesia, i mean: pesing, suka nelen receh, dan ada iklannya semacam "...budi was here...", "...adi sayang arif...(lho?!*%)", ato "..telpon aq ya 64 73 80 (tomi)...". hehehe.... Dan ya, ternyata kemaren saya mengalami kesulitan yang identik pas nyari wartel!!! Lima wartel di Kerto-kertoan (daerah kosan mahasiswa brawijaya) yang di awal-awal kuliah menjadi tempat andalan saya mengadu nasib dengan jodoh, ternyata semuanya sudah berubah fungsi. Yang dua masih ada plang wartel tapi begitu saya deketin, eh lha koq ruangannya penuh dengan mesin cuci. Jangan-jangan ini inovasi baru box telepon yap?? wangi euy.. hehe...
Trus dua wartel selanjutnya yang saya datangi, baru dilihat dari kejauhan saja udah keliatan almarhum. Dan yang satunya lagi malah jadi kos-kosan.. (lho?!*%) hehehe, maksud saya wartel yang terakhir ada tulisannya "TERIMA KOS PUTRA". Yaa, masih mendingan lah daripada jadi WC umum kan?!. Beruntung, akhirnya, di ujung sebuah jalan saya menemukan guna lahan wartel yang belum mengalami deviasi dan masih berfungsi sebagaimana mestinya, namanya WARTEL DEWI...!!! *bukan anaknya pak haji*

Lantas kenapa saya kemaren repot-repot nyari wartel padahal ada HP?? Alasannya rumit dan panjang ceritanya, tapi intinya semua berawal dari masalah pulsa HP..!!! :D. Kenapa rumit, karena teman baik (dan sedikit aneh) yang ingin saya hubungi itu hanya punya telepon rumah dan HP yang beda operator dan dari yang sudah-sudah pembicaraan kami dijamin bakal ngelantur. Jadi nelpon lama ke HP-nya bakal jadi salah satu cara bunuh diri paling efektif.. Hehe, Penurunan tarif interkoneksi antar operator yang sempat heboh kapan hari itu memang masih belum terasa nyata dalam beberapa kondisi tertentu. Mungkin operator lebih fokus bikin macem-macem trik telpon dan sms murah tapi kadang ribet, plus promosi tarif gprs, nebeng kesuksesan fesbuk mobile dan messenger.

Nah, sama seperti nyari wartel, mencari kejujuran ternyata juga makin sulit. Yang lucu kadang orang seringkali yakin bahwa dirinya terpaksa berbohong karena itu demi kebaikan, Just like what Adam Sandler did against his meanmachine team in the longest yard movie. Dalam skala kejadian nyata, kebetulan temen saya belum lama ini sempat cerita mau bikin SP3 buat pegawainya. Entah sudah keberapa kalinya dia bikin SP3 sampe-sampe saya heran. Ketika saya tanya kenapa, dia bilang "...aku bisa ngajarin dia jadi lebih pinter, tapi aku ga bisa ngajarin orang jadi jujur...". Yepp, ada benarnya juga sih, kejujuran memang tidak bisa diajarkan semudah membuat orang mengerti bahwa se-relatif apapun cara pandang kita, 64 tetap tidak akan sama dengan 65 dan lampu merah itu artinya berhenti bukan?!.
*Uppss, yang terakhir agak sulit juga si diajarin buat sebagian orang hehe...*

Intinya, walaupun setiap orang saya yakin fitrahnya suka dengan kejujuran, tapi hal tersebut sebagaimana nilai-nilai penting lainnya harus ditumbuhkan dari awal. Kadang bahkan dengan cara-cara yang keras namun tetap penuh kasih sayang, terus menerus, dan tentunya dicontohkan dalam perbuatan yang mendidiknya. Memang, pendidikan dari awal toh juga belum tentu menjamin mereka ga bakal berubah menjadi figur yang 180 derajat berbeda ketika mereka dewasa. Figur polisi yang bersih tetap bisa lahir dari sebuah lingkungan masa kecil yang buruk. Sementara orang-orang yang lahir terdidik kemudian tumbuh menjadi pribadi yang terkenal, bahkan memegang amanah orang-orang disekitarnya atau memenangkan kontes kecantikan, lantas menafikan hati kecil mereka terhadap sesuatu yang benar dan berlindung dibalik logika yang mereka tempatkan dalam porsi yang terlalu besar. Tapi secara umum saya percaya akan jauh lebih sulit mendidik orang yang sudah ngerti "uang bisa memudahkan banyak hal" dibandingkan membangun fondasi sebuah rumah yang kokoh.

Jack Nicholson dalam Departed pun membentuk Matt Damon menjadi anteknya sejak kecil, dimulai pada detik ketika dia bilang pada si collie sullivan kecil, ".....A man decide who he'll be. No one will give it to you. So you have to take it....."

And the same thing, will do with honesty....

Walaupun mungkin tidak seratus persen sama, karena bibit kejujuran disemai bukan saat mereka sudah menjadi pria atau wanita, bukan pula ketika bayi sudah bisa memanggil ibunya, tapi saat setiap tetes rizki yang halal menyusun wujud kita dalam rahim mulia seorang ibu, lantas disambung dengan lantun "panggilan Tuhan" dari seorang ayah untuk pertama kalinya...


ini contoh, bukan wartel dewi yang sebenernya..

Sunday, September 6, 2009

Gudeg

Haruskah pintar memasak untuk menulis tentang masakan??

Uhmm... kalo iya, maka sepertinya tulisan saya yang satu ini bakal banyak salahnya karena saya memang tidak pintar memasak walaupun saya tidak asing dengan aroma dapur sejak saya mulai jatuh cinta dengan mixer dan oven roti. Ya saya, lebih tahu cara bikin brownies (eh, tapi jangan ragu-ragu untuk meragukan rasanya ya..hehe..) dibanding bikin sayur sawi dan telur bumbu yang enak banget seperti yang temen saya biasa bikin buat sahur . Intinya kalo soal masakan sampai saat ini saya lebih suka menjadi penikmatnya saja, entah itu karena rasanya atau suasananya. Dan kalo ditanya makanan apa yang paling saya pengen saat ini, maka jawabannya adalah GUDEG JOGJA!!!

Ya, ternyata selama apapun saya tinggal di Jawa Timur dan secinta apapun saya sama yang namanya rawon pasuruan, nasi goreng kediri, pecel madiun, atau bakso malang, rupanya lidah saya masih menyimpan kerinduan yang luar biasa pada setiap masakan yang manis, termasuk gudeg. Mungkin ini yang namanya pepatah "Lidah tak pernah lupa pada kulitnya" hehehe.... Dan entah kebetulan ato enggak, kemarin sore ada acara kuliner di tivi yang isinya cerita tentang warung gudeg di pinggir-pinggir jalan Malioboro. *Hummm..... ces.. ces.. ces...*
Pikiran saya pun langsung jalan-jalan ke tempat yang terakhir saya datangi beberapa waktu lalu. Waktu itu, dua tempat jual gudeg jogja yang sempat saya dan teman saya cicipi adalah Gudeg di Wijilan dan Gudeg kaki lima di Deket Pasar Beringharjo.

Menyandingkan keduanya ibarat membandingkan minum secangkir cappucino almond di cafe dengan meneguk kopi instan yang diseduh dalam potongan botol bekas air mineral sambil duduk di tepi pantai. Wijilan, kampung di sebelah timur Alun-alun Utara Keraton Yogya ini sudah bertransformasi menjadi kampung wisata kuliner. Oleh karenanya wajar jika penyajiannya gudeg disini sudah dikemas sedemikian rupa, termasuk harganya yang "dikemas" menjadi harga turis. Beda dengan gudeg kaki lima di deket pasar beringharjo, yang cenderung lebih "lepas aturan".

Nah, secara subjektif harus saya akui bahwa saya lebih suka makan gudeg yang di depan Pasar Beringharjo. Bukan semata karena harga gudeg-nya yang seakan menantang hukum ekonomi "ada uang ada barang", tapi saya menikmati interaksi yang terjadi antara saya dan mbok penjualnya yang terjalin lebih hangat dibanding saat saya ada di Wijilan. Saya memandangnya sebagai hasil sebuah sistem relasi sosial khas warung nasi gudeg "monggo kerso" (silahkan milih), yang tercipta secara dinamis melalui karakter khas masyarakat disana, penuh kolegialitas, hangat, akrab, dan tenang.
Walaupun ya, memang bagi sebagian orang makan makanan yang ga diatur posisi brokolinya, jamurnya, dagingnya, nasinya, dan segala tetek bengek table manner akan terasa ga gaul. Tapi bagi saya jauh lebih nikmat ketika kita bisa memilih lauk dan porsi sesuai yang kita inginkan dibanding membaca daftar menu bergambar yang dicetak diatas kertas-kertas mahal.

Overall, keberadaan gudeg dalam berbagai ragamnya di Jogja adalah satu bentuk keindahan budaya negeri. Butuh setidaknya dua hari untuk mengolah nangka muda agar mencapai rasa yang "pantas" untuk dijadikan Gudeg. Sebuah proses yang merefleksikan pandangan orang Jawa bahwa, kesempurnaan hidup bisa muncul lewat sebuah proses, muda menjadi dewasa, kuli menjadi bos, puasa ragawi menuju puasa ruhani. THATS BEAUTIFUL ISN'T IT... Lantas bandingkan dengan ayam goreng warisan kolonel sanders yang super gurih dan bisa matang hanya dalam waktu 5-10 menit dengan bantuan lemak trans. Sebuah cermin kenikmatan instan a'la ekonomi "kartu kredit" (red.kapitalis) yang seringkali mengaburkan ekses dibaliknya....

Lantas diakhir pagi ini pikiran saya pun kembali ke pertanyaan pas saya lagi ngiler-ngilernya gudeg di acara "Kamus Kuliner" itu.. ada ga ya gudeg jogja yang enak di Malang?? Yang bayarnya ga pake "kartu kredit" pastinya!!!"

Kalo emang ga ada..
Then, JOGJA, get ready, i'm comin soon yaa!!!
siapkan gudegmu...!!!
semoga kau masih seperti dulu..
kala tiap sudut menatapku bersahabat dan penuh selaksa makna....